Pendahuluan
Perpres 46/2025 bukan hanya sekadar revisi teknis; ini adalah transformasi besar yang mengubah kerangka kerja pengadaan publik di seluruh Indonesia. Di tengah tuntutan percepatan program prioritas pemerintah, efisiensi penggunaan anggaran, dan pemberdayaan ekonomi lokal, regulasi ini menyelaraskan fungsi Pengguna Anggaran (PA), Kuasa PA (KPA), dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam satu ekosistem digital. Salah satu inovasi terpentingnya adalah memberikan opsi bagi KPA bersertifikat PBJ untuk merangkap sebagai PPK. Keputusan strategis ini bertujuan menutup celah kekosongan pejabat teknis, terutama di daerah-daerah terpencil yang kekurangan PPK bersertifikat.
Namun, memusatkan dua fungsi kritis-penetapan anggaran dan pengikatan kontrak-pada satu orang membawa risiko yang tidak bisa diabaikan. Mulai dari konflik kepentingan, kelelahan kerja, hingga potensi penyimpangan administrasi, semuanya harus diantisipasi. Artikel ini membedah landasan hukum, mekanisme pelaksanaan, dan terutama dampak serta risiko yang muncul ketika KPA mengambil alih tugas PPK. Pemahaman mendalam tentang konsekuensi ini mutlak diperlukan agar fleksibilitas yang diberikan Perpres 46/2025 dapat menambah nilai kecepatan dan akuntabilitas, bukan sebaliknya menimbulkan lubang integritas.
1. Latar Belakang Perubahan Peran KPA
Sebelum munculnya Perpres 46/2025, struktur pengadaan publik menerapkan prinsip pemisahan tugas:
- PA bertugas menyusun dan menyetujui pagu anggaran, sekaligus menentukan garis besar kebijakan pengadaan.
- KPA menjalankan fungsi administratif, seperti memverifikasi anggaran yang diajukan PPK dan memberi persetujuan akhir sebelum kontrak ditandatangani.
- PPK fokus pada aspek teknis pengadaan-mulai menyusun Rencana Umum Pengadaan (RUP), mengevaluasi penawaran, hingga menandatangani kontrak dan memantau pelaksanaan.
Pembagian ini menjamin adanya cek and balance: PA menetapkan kerangka besar, KPA memastikan kepatuhan administratif, dan PPK bertanggung jawab atas kualitas teknis. Namun, dalam praktiknya, terutama di wilayah terpencil dan unit kerja kecil, jumlah PPK bersertifikat sering kali terbatas. Proses sertifikasi PBJ memerlukan waktu, biaya, dan infrastruktur pelatihan yang belum merata jangkauannya, sehingga menghambat kelancaran pengadaan.
Perpres 46/2025 merespon tantangan ini dengan memberi jalan keluar: apabila KPA telah memiliki sertifikat kompetensi PBJ sesuai tipologi pekerjaan, maka KPA dapat diberi wewenang untuk merangkap tugas PPK. Dengan demikian, satu individu yang memahami anggaran dan regulasi administratif juga dapat langsung memproses RUP, memilih metode pengadaan, dan menandatangani kontrak-menghapus jeda birokrasi di tengah kekurangan sumber daya manusia teknis.
Meskipun solusi ini memangkas alur birokrasi dan berpotensi mempercepat pelaksanaan program, penggabungan dua peran yang sejatinya terpisah rentan menimbulkan tantangan baru. Beban kerja ganda dapat menurunkan fokus pada detail teknis maupun administratif, sementara akumulasi wewenang meningkatkan risiko konflik kepentingan. Oleh karena itu, pemahaman mendalam dan langkah antisipatif menjadi krusial agar fleksibilitas ini memperkuat-not malah melemahkan-integritas proses pengadaan.
2. Dasar Regulasi Merangkap PPK dalam Perpres 46/2025
Perpres 46/2025 secara tegas membuka opsi bagi Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) untuk merangkap fungsi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam kondisi tertentu. Hal ini diatur dalam Pasal 12 Ayat 3 yang menyatakan:
“KPA dengan sertifikat kompetensi PBJ dapat diberikan kewenangan mengikat kontrak sebagai PPK, dengan syarat memenuhi tipologi pekerjaan dan persetujuan PA.”
Beberapa poin penting dari ketentuan ini adalah:
- Kewenangan Legal: Pasal ini menegaskan bahwa pelimpahan wewenang tidak sekadar keputusan ad hoc, tetapi berdasar klausul yang diundangkan secara resmi, sehingga memiliki kekuatan hukum yang sama dengan ketentuan penunjukan PPK biasa.
- Ruang Lingkup Tipologi: ‘Tipologi pekerjaan’ merujuk pada klasifikasi pengadaan (konstruksi, barang, jasa konsultansi, jasa lain) yang tercantum dalam Lampiran Perpres 46/2025. Artinya, KPA hanya boleh merangkap PPK untuk paket pekerjaan yang sesuai dengan sertifikat kompetensinya. Misalnya, KPA bersertifikat jasa konsultansi tidak dapat merangkap PPK untuk kontrak konstruksi gedung.
- Persetujuan PA sebagai “Control Gate”: Meskipun Pasal 12 memberi kewenangan merangkap, pasal selanjutnya (Pasal 13) mengharuskan adanya Surat Keputusan PA yang memuat ruang lingkup dan batas kewenangan PPK yang dirangkap. Persetujuan PA ini berfungsi sebagai mekanisme pemisahan fungsi (segregation of duties) paling minimal-tanpa SK PA, semua tindakan PPK oleh KPA dinyatakan tidak sah.
Selain mensyaratkan sertifikasi dan persetujuan PA, Perpres 46/2025 juga mengingatkan pada prinsip umum checks and balances yang diatur dalam Perpres 16/2018 dan Perpres 12/2021. Merangkap jabatan tidak boleh menggugurkan kewajiban KPA/PPK untuk:
- Mengikuti Prosedur e‑Pengadaan: Setiap kontrak yang diikat harus tercatat dalam sistem e‑Kontrak, dilengkapi dokumen RUP, HPS, dan SK Penunjukan PPK.
- Menjaga Transparansi: Semua dokumen pelimpahan kewenangan dan penandatanganan kontrak harus dipublikasikan di portal instansi, agar masyarakat dan auditor dapat memverifikasi prosesnya.
- Menghindari Penyimpangan: Karena peran administratif dan teknis berada di tangan satu orang, Perpres mengimbau instansi untuk menerapkan audit internal berkala dan membatasi nilai kumulatif kontrak yang bisa dirangkap dalam satu periode jabatan guna mengurangi risiko penyalahgunaan.
Dengan kerangka regulasi yang komprehensif ini, Perpres 46/2025 berupaya menyeimbangkan kebutuhan percepatan proses pengadaan dengan prinsip integritas dan akuntabilitas, memastikan fleksibilitas tidak berujung pada pelanggaran tata kelola.
3. Persyaratan KPA untuk Merangkap PPK
Agar seorang KPA dapat merangkap sebagai PPK dan menjalankan kedua fungsi tersebut secara sah, Perpres 46/2025 mensyaratkan terpenuhinya tiga kriteria utama berikut:
a. Sertifikat Kompetensi PBJ sesuai Tipologi Pekerjaan
Setiap KPA yang hendak merangkap PPK wajib memiliki sertifikat kompetensi Pengadaan Barang/Jasa yang relevan dengan tipologi paket pekerjaan yang akan ditangani. Tipologi terbagi menjadi: konstruksi, barang, jasa konsultansi, dan jasa lainnya. Misalnya, seorang KPA dengan sertifikat jasa konsultansi tidak dapat menandatangani kontrak konstruksi gedung-karena tidak memiliki landasan kompetensi teknis untuk memastikan mutu bangunan. Sertifikat ini harus dikeluarkan oleh lembaga terakreditasi (LKPP atau mitranya) dan terdaftar dalam sistem e‑Pengadaan, sehingga status “bersertifikat” dapat diverifikasi secara otomatis sebelum menandatangani kontrak.
b. Pengalaman Praktik Pengadaan Minimal Satu Tahun
Selain sertifikat formal, Perpres 46/2025 menekankan pentingnya pengalaman lapangan. KPA yang merangkap PPK harus memiliki sekurang‑kurangnya satu tahun pengalaman aktif dalam melaksanakan tugas pengadaan-baik sebagai KPA, anggota Pokja Pemilihan, maupun pejabat pengadaan lainnya. Pengalaman ini menjadi tolok ukur bahwa yang bersangkutan sudah terbiasa menghadapi dinamika tender, memahami fluktuasi harga pasar, serta mampu memitigasi risiko teknis dan administratif. Bukti pengalaman ini biasanya berupa salinan SK penugasan terdahulu, catatan RUP/kontrak yang pernah dikelola, atau sertifikat pelatihan lanjutan yang mencantumkan modul “praktik pengadaan”.
c. Persetujuan Tertulis dari Pengguna Anggaran (PA)
Meski telah memenuhi persyaratan kompetensi dan pengalaman, KPA hanya dapat merangkap PPK setelah mendapatkan persetujuan resmi dari PA. Persetujuan ini diformalkan melalui Surat Keputusan (SK) internal yang memuat:
- Nama dan NIP KPA yang dirangkap sebagai PPK.
- Ruang lingkup tipologi serta batas nilai kontrak yang diizinkan.
- Jangka waktu berlakunya pelimpahan kewenangan.
SK tersebut kemudian diunggah ke modul “Pelimpahan Kewenangan” di aplikasi e‑Pengadaan, sehingga setiap penandatanganan kontrak listrik, barang, atau jasa oleh yang bersangkutan tercatat dengan jelas sebagai PPK yang dirangkap.
Tanpa terpenuhinya ketiga syarat di atas-sertifikat kompetensi, pengalaman minimal, dan persetujuan PA-setiap tindakan pengikatan kontrak oleh KPA dianggap tidak sah, dan berpotensi dibatalkan atau dipersoalkan saat audit internal maupun eksternal. Oleh karena itu, instansi dituntut melakukan verifikasi administrasi ketat sebelum menerbitkan SK pelimpahan kewenangan.
4. Prosedur dan Mekanisme Merangkap
Agar pelimpahan fungsi KPA menjadi PPK berjalan lancar dan sah, instansi harus mengikuti rangkaian langkah administratif dan teknis berikut:
a. Penerbitan SK Pelimpahan Kewenangan
- PA menerbitkan Surat Keputusan (SK) Pelimpahan Kewenangan yang secara eksplisit menyebutkan bahwa KPA ditunjuk merangkap sebagai PPK.
- SK memuat:
- Nama lengkap dan NIP KPA.
- Tipologi pengadaan (konstruksi, barang, jasa, dsb.) serta batas nilai kontrak yang boleh ditandatangani.
- Rentang waktu pelimpahan (misalnya 1 tahun atau hingga SK dicabut).
- SK ini ditandatangani secara elektronik oleh PA dan diunggah ke modul “Pelimpahan Kewenangan” di aplikasi e‑Pengadaan, sehingga tercatat dalam sistem sebagai dasar legal setiap tindakan selanjutnya .
b. Registrasi dan Pengaktifan Fungsi PPK di e‑Pengadaan
- Tim IT atau administrator instansi memverifikasi status sertifikat kompetensi PBJ KPA di daftar terintegrasi LKPP, lalu mengaktifkan hak akses PPK pada akun e‑Pengadaan KPA.
- Setelah diaktivasi, KPA‑PPK dapat:
- Menyusun dan mengunggah RUP (Rencana Umum Pengadaan) sesuai pagu dan tipologi yang diizinkan.
- Memilih metode pengadaan (e‑Purchasing, tender terbuka, dsb.) dalam sistem.
- Menandatangani e‑Kontrak secara digital bersama penyedia terpilih.
- Aktivasi ini wajib dicatat dalam modul audit sistem, mencantumkan tanggal, nama operator, dan ID SK pelimpahan .
c. Pelaksanaan Proses Pengadaan oleh KPA‑PPK
- Input RUP dan HPS: KPA‑PPK memasukkan rincian kebutuhan, spesifikasi teknis, dan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) ke dalam sistem.
- Undangan Penawaran / e‑Purchasing: Untuk nilai di bawah batas tertentu, KPA‑PPK meluncurkan mini‑kompetisi; untuk nilai lebih tinggi, memproses tender terbuka.
- Evaluasi dan Penetapan Pemenang: Meskipun merangkap, KPA‑PPK harus tetap mengajak Pokja Pemilihan (jika diwajibkan) atau setidaknya mencantumkan hasil evaluasi teknis dan finansial dalam berita acara elektronik.
- Penandatanganan Kontrak Elektronik: Kontrak final-SPK atau Perjanjian Kerja-ditandatangani dengan tanda tangan elektronik KPA‑PPK dan penyedia. Semua perubahan atau adendum juga dicatat di e‑Kontrak.
d. Dokumentasi Jejak Audit (Audit Trail)
- Setiap tindakan KPA‑PPK dalam e‑Pengadaan direkam otomatis: input RUP, pemilihan metode, dokumen evaluasi, hingga penandatanganan kontrak.
- Log Persetujuan Internal: SK pelimpahan, persetujuan KPA‑PPK, dan nota persetujuan PA (jika ada revisi nilai) difile dalam sistem untuk memudahkan penelusuran.
- Backup dan Arsip Digital: Instansi wajib mengekspor secara periodik seluruh audit trail ke server lokal atau cloud pemerintah, sebagai cadangan jika terjadi gangguan sistem.
Dengan menerapkan prosedur ini secara disiplin, instansi dapat memanfaatkan fleksibilitas merangkap jabatan tanpa mengorbankan transparansi, akuntabilitas, maupun kepatuhan pada Perpres 46/2025 .
5. Risiko Konflik Kepentingan
Ketika fungsi KPA dan PPK dipadukan dalam satu orang, muncul potensi konflik kepentingan yang signifikan. Berikut beberapa skenario risiko utama:
- Objektivitas Pemilihan Metode
- Pemilihan “Jalur Ringan”: KPA‑PPK mungkin tergoda memilih metode pengadaan langsung atau e‑Purchasing meski nilai paket melebihi ambang, agar proses cepat-padahal metode lelang terbuka sebenarnya lebih tepat untuk menjaga persaingan.
- Pengabaian Prinsip Persaingan: Tanpa rekan sejawat yang memeriksa ulang keputusan metode, KPA‑PPK berisiko melewatkan prosedur mini‑kompetisi, menyebabkan hanya satu penyedia yang diundang. Ini merusak prinsip terbuka dan adil.
- Penentuan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) dan Pemilihan Mitra
- Overestimasi HPS: Dengan otoritas penuh, KPA‑PPK bisa menetapkan HPS di atas harga pasar wajar-memberi ruang negosiasi yang lebih longgar sehingga anggaran tidak teroptimalkan.
- “Penyedia Favorit”: Ketiadaan dual control memudahkan KPA‑PPK menasbihkan satu vendor tertentu sebagai mitra, baik karena kedekatan hubungan pribadi, pertimbangan “jaminan kecepatan”, atau bahkan iming‑iming imbal jasa di kemudian hari.
- Penugasan Subkontraktor dan Pengelolaan Uang Muka
- Penyalahgunaan Uang Muka: Untuk kontrak UMKM, uang muka 50% bisa dikawal KPA‑PPK untuk “dipercepat” cair, padahal UMKM belum siap, sehingga proposisi gagal dan proyek terhenti.
- Penunjukan Subkontraktor Khusus: KPA‑PPK dapat memaksa subkontraktor pilihan mereka tanpa melalui verifikasi kualifikasi, menimbulkan pertanyaan tentang “side deals” atau kickback.
- Pembebanan Biaya Tambahan
- Markup Layanan Teknis Internal: Karena merangkap PPK, KPA‑PPK bisa memasukkan biaya konsultansi internal atau biaya supervisi yang seharusnya gratis, sehingga anggaran membengkak tetapi manfaat publik tidak maksimal.
- Sulitnya Pengawasan Internal
- Audit Trail Terpusat: Meski sistem mencatat setiap langkah, tidak ada rekam jejak “setuju/tolak” atau komentar alternatif dari pihak lain. Auditor hanya melihat satu nama-KPA‑PPK-menandatangani semuanya.
- Beban Verifikasi Bertambah: Tim audit perlu menggali lebih dalam untuk memastikan bahwa setiap keputusan sudah melalui proses diskusi tim, bukan keputusan sepihak.
Tanpa langkah mitigasi, kombinasi dua peran ini menimbulkan keraguan publik dan potensi tuduhan kolusi, nepotisme, atau korupsi. Oleh karena itu, instansi perlu menyiapkan kebijakan pelengkap-seperti minimal dua tanda tangan elektronik untuk paket di atas nilai tertentu, serta rotasi jabatan berkala-agar fleksibilitas tidak berubah menjadi celah penyalahgunaan.
6. Beban Kerja Ganda dan Kelelahan
Menggabungkan dua peran yang sejatinya terpisah-KPA sebagai pengelola anggaran dan PPK sebagai penanggung jawab teknis-menciptakan beban kerja ganda yang sangat berat. Di bawah ini rincian tantangan dan dampaknya:
a. Volume Tugas yang Menumpuk
- Perencanaan dan RUP: KPA‑PPK tidak hanya menyetujui pagu anggaran, tetapi juga harus menyusun Rencana Umum Pengadaan secara detail-menetapkan spesifikasi barang/jasa, jadwal, dan sasaran kinerja.
- Survei Pasar dan HPS: Harus melakukan market sounding, mengumpulkan data harga dari berbagai penyedia, lalu menghitung Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang realistis.
- Proses Seleksi dan Evaluasi: Menyelenggarakan e‑Purchasing atau tender terbuka, mengundang penawaran, menilai aspek teknis dan finansial, hingga menyusun Berita Acara yang lengkap.
- Kontrak Elektronik & Monitoring: Menandatangani e‑Kontrak, memantau milestone, mengelola termin pembayaran, serta menindaklanjuti keluhan atau perubahan lingkup pekerjaan.
- Pelaporan dan Audit: Menyiapkan laporan realisasi anggaran, dokumentasi audit trail, dan menjawab pertanyaan auditor atau pengawas internal.
Totalnya, tugas-tugas ini bisa dengan cepat melampaui kapasitas satu individu, terutama saat ada beberapa paket pengadaan berjalan sekaligus.
b. Risiko Kealpaan dan Penurunan Kualitas
Dengan beban ganda, kelelahan dan stres menjadi ancaman nyata:
- Dokumen Terlewat: Surat Keputusan, persetujuan KPA, atau dokumen pendukung penunjukan langsung bisa terlupakan, mengakibatkan temuan audit.
- Tenggat Waktu Tak Terpenuhi: Keterlambatan input RUP atau penutupan tender dapat memunculkan denda waktu atau kehilangan kesempatan anggaran.
- Kesalahan Input Data: Angka pagu, harga satuan, atau jadwal bisa keliru dimasukkan ke sistem, memengaruhi seluruh siklus pembayaran dan pelaksanaan.
- Penurunan Quality Control: Monitoring mutu pekerjaan menjadi terburu‑buru, sehingga cacat teknis atau kualitas sub‑standar luput dari deteksi awal.
Kesalahan ini tidak hanya merugikan anggaran, tetapi juga menurunkan kepercayaan mitra dan pemangku kepentingan.
c. Manajemen Waktu dan Dukungan Tim
Agar beban ganda tidak merusak proses, instansi perlu:
- Mendelegasikan Tugas Non-Kritis: Misalnya, staf administrasi menyiapkan dokumen pendukung, sementara KPA‑PPK fokus pada pengambilan keputusan strategis.
- Memanfaatkan Template dan Checklist Digital: Borang RUP, format Berita Acara, dan modul e‑Kontrak sebaiknya di‑template sehingga input data lebih cepat dan konsisten.
- Jam Kerja Fleksibel dan Buffer Time: Beri ruang waktu untuk tugas tak terduga-seperti klarifikasi teknis atau perbaikan dokumen-agar tenggat tidak saling menumpuk.
- Pendampingan Senior atau Mentor: Untuk KPA‑PPK baru, adanya mentor dari UKPBJ atau Pokja Pemilihan membantu meringankan beban dengan berbagi praktik baik dan tips efisiensi.
- Audit Internal Berkala: Menyelenggarakan review mingguan atas progres paket, sehingga potensi bottleneck dapat diidentifikasi dini dan dialokasikan ulang sumber daya.
Dengan strategi manajemen waktu dan dukungan tim yang terencana, beban kerja ganda menjadi lebih terkendali, kualitas pengadaan tetap terjaga, dan risiko kealpaan dapat diminimalkan.
7. Tantangan Kompetensi dan Keterampilan
Meskipun seorang KPA‑PPK telah memiliki sertifikat kompetensi PBJ, keberhasilan menjalankan kedua fungsi sekaligus sangat bergantung pada cakupan kompetensi dan keterampilan yang lebih luas. Berikut uraian mendalam setiap aspek:
- Regulasi PBJ dan Kebijakan Terkait
- Pemahaman Kontekstual: KPA‑PPK harus tidak hanya hafal pasal Perpres 46/2025, tetapi juga memahami bagaimana tiap ayat berinteraksi-misalnya bagaimana ketentuan alokasi UMKM berimplikasi pada HPS, atau kapan tepatnya pengecualian e‑Purchasing dapat diterapkan.
- Amandemen dan Peraturan Turunan: Selain Perpres induk, terdapat Peraturan LKPP, Surat Edaran Menteri Keuangan, dan pedoman teknis masing‑masing lembaga. KPA‑PPK perlu update rutin melalui bulletin resmi atau forum diskusi LKPP agar tidak ketinggalan kelonggaran maupun tambahan ketentuan.
- Interpretasi Kasus-Spesifik: Banyak situasi pengadaan bersifat “abu‑abu”-misalnya apakah suatu program masuk kategori prioritas nasional atau sekedar program daerah biasa. KPA‑PPK dituntut mampu menafsirkan kualifikasi tersebut dengan argumentasi hukum yang kuat, bukan sekadar teks regulasi.
- Teknis Aplikasi Digital e‑Pengadaan
- Kecepatan dan Ketelitian: Mengelola e‑Catalog, e‑Purchasing, dan e‑Kontrak secara bergantian menuntut KPA‑PPK mahir beralih antar‑modul tanpa mengabaikan detail. Salah satu kesalahan input tanggal atau nilai kontrak pada satu sistem bisa berdampak pada seluruh siklus pembayaran.
- Troubleshooting Dasar: Sistem kadang mengalami downtime atau bug; KPA‑PPK perlu tahu prosedur melapor ke helpdesk LKPP, serta mengetahui workaround-seperti mengunggah dokumen melalui format alternatif-agar proses tidak tersendat.
- Integrasi Data: KPA‑PPK harus memastikan data RUP dan HPS yang diinput ke e‑Catalog konsisten dengan data yang masuk ke e‑Purchasing dan e‑Kontrak, sehingga tidak terjadi perbedaan angka yang menimbulkan permasalahan audit.
- Manajemen Risiko dan Kontrol Internal
- Identifikasi Risiko Sejak Awal: Sebelum memulai proses pengadaan, KPA‑PPK perlu memetakan titik kerawanan-misalnya potensi konflik kepentingan, fluktuasi harga pasar, atau risiko force majeure. Pemetaan ini dibuat dalam dokumen Risk Register yang diintegrasikan ke modul e‑Pengadaan.
- Strategi Mitigasi: Setelah risiko diidentifikasi, harus ada rencana mitigasi yang terukur-seperti melibatkan pihak ketiga untuk review HPS, menerapkan double‑check pada paket dengan nilai tinggi, atau menetapkan klausul force majeure di kontrak.
- Monitoring dan Review Berkala: Menggunakan dashboard e‑Kontrak untuk meninjau secara rutin status paket-termasuk progress fisik, cash flow, dan penyelesaian klaim. Hasil monitoring dikompilasi dalam laporan bulanan yang menjadi bahan rapat koordinasi internal.
- Keterampilan Komunikasi dan Negosiasi
- Koordinasi Antar‑Tim: KPA‑PPK harus mampu menjembatani antara PA (yang menetapkan kebijakan), tim teknis (yang merumuskan spesifikasi), dan Pokja Pemilihan (yang menilai penyedia). Kemampuan menyusun notulen rapat, menjelaskan regulasi, dan menegosiasikan tenggat waktu sangat krusial.
- Pendampingan Penyedia: Terutama untuk UMKM, KPA‑PPK perlu memberikan arahan tentang cara melengkapi dokumen elektronik, memahami skema kontrak elektronik, dan memitigasi kesalahan teknis-sebuah fungsi “customer service” yang menuntut kesabaran dan empati.
- Pelaporan kepada Stakeholder: Menyajikan hasil pengadaan-dari capaian kuota UMKM hingga efisiensi anggaran-dalam format yang mudah dipahami pimpinan dan publik, baik melalui dashboard online maupun presentasi visual.
Kekurangan dalam salah satu dari empat pilar kompetensi ini dapat menimbulkan temuan audit, memicu keberatan penyedia, atau bahkan penundaan hingga pembatalan kontrak. Oleh karena itu, KPA‑PPK perlu terus melakukan self‑assessment, pelatihan ulang, dan peer review untuk menjaga kualitas eksekusi pengadaan publik.
8. Implikasi Akuntabilitas dan Transparansi
Merangkapnya KPA sebagai PPK mengubah pola dasar akuntabilitas dalam pengadaan publik. Berikut uraian mendalam tentang bagaimana perubahan ini memengaruhi sistem pengawasan dan mengapa transparansi data digital menjadi sangat penting:
a. Satu Titik Tanggung Jawab
- Kejelasan Penanggung Jawab– Dengan fungsi administratif dan teknis dipusatkan pada satu individu, seluruh keputusan-mulai penetapan pagu, pemilihan metode, hingga penandatanganan kontrak-dapat ditelusuri langsung ke nama dan NIP yang sama. Hal ini mempermudah penelusuran tanggung jawab ketika ada kendala atau temuan audit.
- Risiko Beban Kesalahan Terpusat– Sebaliknya, bila terjadi kesalahan (misalnya input nilai HPS keliru atau kelalaian dokumen pendukung), tidak ada lapisan kontrol independen untuk menyeimbangkan kesalahan tersebut, sehingga satu orang menanggung seluruh konsekuensi. Akibatnya, instansi rentan kehilangan “buffer” pemeriksaan silang yang biasanya diberikan oleh adanya pejabat terpisah.
b. Kebutuhan Pengawasan Eksternal Lebih Ketat
- Audit Trail yang Komprehensif– Auditor-baik internal unit kerja maupun eksternal (BPK, LKPP)-harus memeriksa secara detail semua jejak digital (log) yang mencatat setiap klik, unggah dokumen, persetujuan, dan tanda tangan yang dilakukan KPA‑PPK. Ini mencakup:
• SK pelimpahan kewenangan• Input RUP dan HPS• Berita acara evaluasi dan kontrak elektronik• Dokumentasi perpanjangan atau pencabutan kewenangan jika ada
- Verifikasi Dokumen Pelengkap– Selain audit digital, auditor wajib memastikan tersedianya dokumen fisik/artifak pendukung: surat persetujuan PA, notulen rapat internal, dan bukti komunikasi resmi. Hal ini mencegah “log speak”-situasi di mana sistem menunjukkan persetujuan yang sebenarnya tidak pernah terjadi.
- Pemisahan Tugas Minimal untuk Kontrak Nilai Tinggi– Untuk paket melebihi ambang nilai tertentu (misalnya >Rp 5 miliar), instansi dapat mewajibkan dual‑sign off (dua tanda tangan elektronik) atau peer review sebelum kontrak diikat, guna menambah lapisan verifikasi.
c. Transparansi Data Digital sebagai Kunci Integritas
- Akses Publik Terbatas– Walau tidak semua data dapat dipublikasikan, ringkasan status pengadaan-paket, nilai, pemenang, dan SK pelimpahan-dapat ditampilkan di portal instansi. Dengan demikian, masyarakat dan pelaku usaha dapat memantau apakah penunjukan PPK sejalan dengan regulasi.
- Dashboard Pemantauan Real‑Time– Sistem e‑Pengadaan idealnya menyediakan dashboard yang menampilkan:
• Jumlah paket yang ditangani KPA‑PPK• Persentase alokasi UMKM• Jumlah nilai kontrak merangkap• Notifikasi paket yang memerlukan dual‑sign offData real‑time ini memungkinkan atasan langsung memantau beban dan temuan sejak dini.
- Whistleblower Digital Channel– Instansi dapat menambahkan fitur pelaporan anonim di platform pengadaan, memungkinkan staf atau masyarakat melaporkan dugaan penyalahgunaan kewenangan KPA‑PPK secara aman. Laporan ini otomatis akan masuk ke unit pengawas internal untuk ditindaklanjuti.
d. Rekomendasi untuk Memperkuat Akuntabilitas
- Rotasi Jabatan Berkala– Batasi durasi merangkap (misalnya maksimal satu tahun). Setelah periode tersebut, KPA‑PPK wajib melepas salah satu jabatan dan digantikan oleh pejabat lain bersertifikat.
- Kode Etik dan Sanksi Spesifik– Tambahkan klausul pada SK pelimpahan yang mencantumkan sanksi administratif dan disipliner spesifik jika ditemukan penyalahgunaan wewenang.
- Peer Review dan Mentoring– Bentuk tim kecil (dua hingga tiga orang) yang bertugas melakukan peer review atas dokumen RUP dan kontrak untuk setiap paket di atas nilai ambang tertentu.
- Pelaporan Berkala ke PA– KPA‑PPK wajib menyampaikan laporan triwulan tentang pelaksanaan kewenangan, termasuk capaian target UMKM, temuan kendala teknis, dan ringkasan audit trail.
Dengan memperkuat mekanisme pengawasan eksternal, menerapkan transparansi digital, dan menambah lapisan kontrol internal, fleksibilitas merangkap jabatan tetap dapat dijaga dalam koridor akuntabilitas dan integritas yang tinggi.
9. Temuan Audit dan Sanksi Potensial
Ketika KPA merangkap PPK, tim audit-baik dari LKPP maupun BPK-akan menaruh perhatian ekstra pada beberapa area kunci. Berikut contoh temuan audit dan konsekuensinya:
a. Dokumen SK Merangkap Tidak Lengkap
- Kasus Umum: SK pelimpahan kewenangan hanya mencantumkan nama KPA tanpa menjelaskan secara rinci tipologi pekerjaan, nilai ambang maksimum, atau periode berlakunya kewenangan PPK.
- Dampak Audit: Auditor akan mencatat bahwa dasar legal pelimpahan tidak cukup kuat untuk mendukung semua kontrak yang ditandatangani.
- Sanksi Potensial:
- Peringatan tertulis kepada PA dan KPA‑PPK atas kelalaian administratif.
- Pembatalan sebagian atau seluruh kontrak yang ditandatangani di luar lingkup SK.
- Rekommendasi perbaikan SOP dan kewajiban mengulang proses pelimpahan dengan SK lengkap.
b. Tidak Ada Jejak Persetujuan PA di Sistem
- Kasus Umum: Kontrak elektronik (e‑Kontrak) muncul dengan tanda tangan digital KPA‑PPK dan penyedia, tetapi tidak ada catatan bahwa PA telah memberi persetujuan nilai atau metode pengadaan di modul “Persetujuan Anggaran” e‑Pengadaan.
- Dampak Audit: Laporan audit akan menyatakan bahwa kontrak tersebut diikat secara tidak sah, karena melanggar prosedur pelibatan PA yang seharusnya menjadi kontrol administratif awal.
- Sanksi Potensial:
- Kontrak dinyatakan batal demi hukum hingga persetujuan PA dipenuhi.
- Pemotongan anggaran pada program terkait untuk menanggung kerugian negara.
- Rekomendasi pembekuan hak akses e‑Pengadaan kepada KPA‑PPK hingga perbaikan proses tercatat.
c. Proses Pengadaan Tanpa Cek dan Ricek
- Kasus Umum: Auditor menemukan paket pengadaan yang pemenangnya ditetapkan langsung tanpa ada dokumen evaluasi teknis atau perbandingan harga, meski nilai paket di atas ambang e‑Purchasing.
- Dampak Audit: Proses ini dianggap mengabaikan prinsip ekonomis dan kompetisi sehat, membuka peluang mark‑up biaya atau kolusi.
- Sanksi Potensial:
- Temuan penyalahgunaan wewenang, yang bisa memicu audit forensik atas paket lain yang ditangani KPA‑PPK.
- Sanksi administratif berupa pemotongan tunjangan kinerja atau tunjangan jabatan sesuai Peraturan Kepegawaian.
- Rekomendasi pembentukan tim evaluasi independen untuk paket bernilai tinggi ke depan.
d. Kurangnya Dokumentasi Pendukung Lainnya
- Kasus Umum: Tidak tersedia dokumen market sounding, laporan quality control, atau notulen rapat internal sebelum penetapan pemenang.
- Dampak Audit: Auditor mencatat kekosongan bukti bahwa proses pengadaan telah melalui kajian mendalam serta diskusi tim.
- Sanksi Potensial:
- Peringatan keras dan kewajiban mengadakan retrospective review untuk setiap paket yang bermasalah.
- Sanksi disipliner ringan hingga sedang (teguran tertulis, penurunan pangkat secara non‑struktur) bagi KPA‑PPK yang telah lalai.
Secara keseluruhan, temuan audit ini menunjukkan bahwa merangkap jabatan memerlukan penguatan prosedur dokumentasi dan kontrol internal. Tanpa perbaikan, pejabat yang bersangkutan berisiko bukan hanya menanggung sanksi administratif, tetapi juga sanksi disipliner hingga pemberhentian tidak dengan hormat sesuai peraturan kepegawaian.
10. Strategi Mitigasi
Untuk memastikan fleksibilitas merangkap KPA‑PPK berjalan lancar tanpa menurunkan standar akuntabilitas dan integritas, instansi perlu menerapkan strategi mitigasi berikut:
a. Menyusun SOP Khusus Merangkap Jabatan
- Alur Proses Terintegrasi
- Gambarkan langkah demi langkah, mulai dari penerbitan SK pelimpahan, aktivasi fungsi PPK di sistem, hingga penandatanganan kontrak.
- Ceklis Dokumen Wajib
- Daftar minimal surat persetujuan PA, sertifikat kompetensi, bukti pengalaman, RUP, HPS, berita acara evaluasi, dan SK pelimpahan.
- Penentuan Batas Ambang
- Tentukan nilai kontrak batas atas yang masih boleh ditangani KPA‑PPK tunggal, serta nilai di atasnya memerlukan dual‑sign off atau peer review.
- Mekanisme Revisi SOP
- Jadwalkan tinjauan SOP setiap 6 bulan atau setelah perubahan kebijakan baru, untuk menyesuaikan dengan temuan audit dan kebutuhan lapangan.
b. Pelatihan Berkelanjutan dan Penguatan Kapasitas
- Workshop Regulasi dan Studi Kasus
- Sesi rutin membahas pembaruan Perpres 46/2025, peraturan turunan, serta analisis temuan audit terkini untuk mencegah pengulangan kesalahan.
- Simulasi Aplikasi Digital
- Pelatihan hands‑on e‑Catalog, e‑Purchasing, dan e‑Kontrak dengan scenario‑based drills-misalnya simulasi kegagalan upload dokumen atau revisi RUP mendadak.
- Program Mentoring
- Pasangkan KPA‑PPK baru dengan mentor berpengalaman dari UKPBJ atau tim Pokja, untuk bimbingan teknis dan etika pengadaan.
c. Dukungan Staf Pendukung dan Alokasi Sumber Daya
- Tim Verifikasi Dokumen
- Bentuk unit kecil (2-3 orang) yang fokus memeriksa kelengkapan SK, HPS, dan bukti pengalaman sebelum tiap kontrak ditandatangani.
- Spesialis Data Entry
- Tugaskan staf IT atau administratif khusus untuk input RUP, survei pasar, dan pelaporan berkala, sehingga KPA‑PPK lebih fokus pada pengambilan keputusan strategis.
- Fleksibilitas Waktu dan Beban Kerja
- Rancang jadwal kerja fleksibel dan buffer time saat tenggat pengadaan menumpuk, untuk mengurangi risiko kelelahan.
d. Audit Internal Rutin dan Peer Review
- Tim Audit Internal Berkala
- Lakukan pemeriksaan setiap bulan terhadap jejak audit (audit trail), SK merangkap, dan kontrak elektronik.
- Peer Review untuk Paket Besar
- Tetapkan mekanisme dual‑sign off atau panel kecil (2-3 orang) untuk mengevaluasi RUP dan kontrak bernilai tinggi, guna menambah lapisan verifikasi.
- Dashboard Kepatuhan
- Kembangkan dashboard internal yang menampilkan status pelimpahan kewenangan, jumlah paket merangkap, serta notifikasi jika ada batas nilai yang dilampaui.
Kesimpulan
Merangkap fungsi sebagai KPA dan PPK memberikan kecepatan dan efisiensi penting pada proses pengadaan, terutama di daerah dengan keterbatasan PPK bersertifikat. Namun, tanpa mitigasi yang tepat, fleksibilitas ini dapat membuka celah konflik kepentingan, beban kerja berlebih, dan temuan audit yang merugikan.
Dengan:
- SOP terperinci,
- Pelatihan berkelanjutan,
- Dukungan staf pendukung, dan
- Audit internal plus peer review,
instansi dapat menyeimbangkan kecepatan dan akuntabilitas, memaksimalkan manfaat merangkap jabatan, serta menjaga integritas dan transparansi pengadaan publik sesuai semangat Perpres 46/2025.