PPK di Desa: Beban Berat di Sumber Daya Minim

Pendahuluan

Pengadaan barang/jasa di tingkat desa menghadirkan tantangan unik bagi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Dengan sumber daya manusia terbatas, infrastruktur teknologi yang belum memadai, dan kompleksitas regulasi nasional, PPK di desa memikul beban berat menjalankan proses sesuai Perpres 46/2025. Artikel ini membahas konteks peran PPK di desa, hambatan utama, serta strategi praktis untuk mengatasi keterbatasan sumber daya sambil menjaga akuntabilitas dan mutu pengadaan.

1. Latar Belakang: Peran PPK di Desa dengan Sumber Daya Terbatas

1.1. Signifikansi Pengadaan di Desa

Dana desa yang besar (misalnya ratusan triliun per tahun) dialokasikan untuk program pemberdayaan dan infrastruktur lokal. PPK di desa bertanggung jawab memastikan anggaran ini digunakan tepat sasaran melalui pengadaan barang/jasa yang memenuhi kebutuhan masyarakat.

1.2. Kompleksitas Regulasi PBJ di Desa

Perpres 46/2025 mengharuskan PPK bersertifikat, penggunaan e-Pengadaan, preferensi PDN/UMKM, dan audit trail digital. Di desa, PPK sering kali belum familiar dengan regulasi ini, sementara pelanggaran dapat menimbulkan temuan audit atau sanksi.

1.3. Kesenjangan Sumber Daya

Aparat desa umumnya memiliki latar belakang non-teknis PBJ, infrastruktur TI minim (koneksi internet tidak stabil, perangkat komputer terbatas), dan akses pelatihan sulit. Hal ini memperberat beban PPK yang harus menguasai banyak aspek teknis dan administrasi dalam waktu singkat.

2. Dasar Regulasi dan Kebijakan Pengadaan di Desa

2.1. Perpres 46/2025 dan PBJ Desa

Perpres 46/2025 berlaku juga untuk pengadaan di desa, meski dengan adaptasi tertentu. PPK desa wajib sertifikasi kompetensi PBJ sesuai tipologi pekerjaan, mengunggah dokumen di e-Pengadaan jika infrastruktur memungkinkan, serta mengutamakan preferensi PDN/UMKM sesuai porsi minimal.

2.2. Panduan LKPP dan Peraturan Turunan

LKPP mengeluarkan pedoman teknis pelaksanaan PBJ di desa, termasuk verifikasi TKDN, metode pengadaan sederhana (swakelola), dan tata cara digitalisasi bertahap. Namun, sosialisasi ke desa masih belum menyeluruh, sehingga banyak PPK desa bingung menerapkan aturan secara tepat.

2.3. Swakelola sebagai Alternatif

Pengadaan melalui swakelola (melibatkan partisipasi masyarakat) dianjurkan untuk menyesuaikan kondisi desa: memanfaatkan tenaga lokal, meningkatkan keterlibatan warga, dan mengurangi ketergantungan pada penyedia eksternal ketika kapasitas pasar terbatas.

3. Tantangan Utama bagi PPK di Desa

3.1. Keterbatasan SDM dan Sertifikasi

Banyak PPK desa belum memiliki pelatihan formal dalam penyusunan spesifikasi teknis, evaluasi penyedia, atau penggunaan sistem elektronik. Skema sertifikasi kompetensi belum terstruktur untuk menjangkau desa terpencil, menimbulkan beban belajar yang berat bagi aparat desa.

3.2. Infrastruktur Teknologi Terbatas

Koneksi internet sering tidak stabil atau tidak ada, perangkat komputer jarang atau usang, dan minimnya dukungan teknis lokal membuat PPK sulit mengakses e-Pengadaan. Beberapa desa harus mencatat manual lalu sinkronisasi saat ada akses, menambah beban waktu dan risiko kesalahan data.

3.3. Kendala Koordinasi dan Sosialisasi

Panduan teknis PBJ di desa kadang belum tersosialisasi secara memadai. Pendamping desa dan dinas kabupaten memiliki pemahaman yang bervariasi, sehingga PPK desa kebingungan menentukan prosedur mana yang harus diikuti.

3.4. Beban Administratif Berlebih

Verifikasi TKDN, analisis HPS, persetujuan internal, dan dokumentasi audit trail memerlukan waktu dan keahlian; PPK desa acapkali mengerjakan sendiri tanpa staf pendukung memadai.

3.5. Keterbatasan Pasar Lokal

Tidak semua barang/jasa tersedia di pasar desa; harus mencari penyedia di kecamatan/kabupaten terdekat, menambah waktu dan biaya. Hal ini bertentangan dengan preferensi PDN/UMKM jika produsen lokal belum memenuhi standar.

4. Peran PPK di Desa: Beban Berat, Tanggung Jawab Ganda

4.1. Multitasking di Tingkat Lokal

PPK desa sering bertindak sebagai perencana, teknisi amatir, administrator, dan operator TI sekaligus. Mereka harus merancang RUP, menghitung HPS, mengevaluasi penawaran, menandatangani kontrak, serta memantau pelaksanaan-all dalam lingkungan minim dukungan profesional.

4.2. Adaptasi Prosedur Pengadaan

PPK perlu menyesuaikan prosedur standar agar realistis di desa: misalnya melakukan pengadaan swakelola dengan dokumentasi partisipatif masyarakat, atau melakukan e-Pengadaan di kantor kecamatan jika koneksi desa tidak memadai. Namun, adaptasi ini harus dicatat dan mendapat persetujuan atasan agar sah secara regulasi.

4.3. Menjaga Akuntabilitas di Tengah Kekurangan

Walaupun sumber daya minim, PPK wajib memastikan jejak audit: dokumentasi manual atau elektronik yang terekam, bukti rapat musyawarah desa untuk swakelola, dan bukti verifikasi teknis. Kegagalan menjaga ini dapat menimbulkan temuan audit dan risiko sanksi.

4.4. Pengelolaan Risiko Spesifik Desa

Kondisi geografis (akses sulit), iklim, dan karakter masyarakat lokal memengaruhi pelaksanaan proyek. PPK perlu mengantisipasi risiko ini dengan rencana mitigasi: misalnya jadwal pelaksanaan menyesuaikan musim, atau alokasi anggaran cadangan untuk logistik.

5. Strategi Mengatasi Beban dan Minimnya Sumber Daya

5.1. Model Pelatihan Hybrid dan Pendekatan Modular

  • Pelatihan Tatap Muka Regional: Pemerintah kabupaten/provinsi menyelenggarakan sesi pelatihan intensif di lokasi terdekat, mengumpulkan beberapa desa sekaligus agar biaya efisien.
  • Modul E-Learning Offline: Materi sertifikasi atau panduan PBJ disediakan dalam format dapat diunduh saat koneksi ada, lalu dipelajari offline. Sinkronisasi laporan hasil belajar dilakukan ketika akses memungkinkan.

5.2. Tim Pendukung Terpadu

  • Bentuk tim lintas desa atau di tingkat kecamatan: operator TI untuk membantu akses e-Pengadaan, staf administrasi untuk menyiapkan dokumen, dan teknisi lapangan untuk inspeksi. PPK desa fokus pada keputusan substansi.

5.3. Penggunaan Swakelola dan Partisipasi Masyarakat

  • Terapkan pengadaan melalui swakelola: melibatkan kelompok tani atau kelompok usaha lokal untuk pekerjaan ringan, disertai dokumentasi musyawarah desa sebagai bukti perencanaan dan pengawasan langsung. Swakelola menurunkan beban mencari penyedia eksternal dan memberdayakan warga lokal.

5.4. Kolaborasi Antardesa dan Pooling Sumber Daya

  • Desa-desa di satu wilayah bergabung dalam pembelian kolektif untuk volume yang cukup menarik penyedia lokal; berbagi perangkat TI (misalnya hotspot bersama) untuk mengakses e-Pengadaan di kantor kecamatan.

5.5. Jadwal Fleksibel dan Delegasi Tugas

  • PPK menetapkan waktu khusus mingguan untuk urusan PBJ, dengan dukungan kepala desa merealokasi tugas rutin lain. Delegasi sebagian tugas administratif ke perangkat desa atau relawan terlatih.

5.6. Pendampingan Teknis oleh Dinas dan LKPP

  • Instansi kabupaten/provinsi dan LKPP menyediakan helpdesk teknis jarak jauh (telepon, chat) serta kunjungan periodik untuk pendampingan penyusunan dokumen, verifikasi TKDN, dan penggunaan sistem e-Pengadaan.

6. Kolaborasi dan Dukungan Pemangku Kepentingan

6.1. Peran Dinas/Kabupaten/Provinsi

  • Fasilitasi pusat pelatihan regional, alokasi anggaran pendukung TI (perangkat, koneksi), serta tim pendamping untuk desa terpencil. Koordinasi ini penting agar PPK desa tidak bekerja sendirian.

6.2. Kemitraan dengan Asosiasi Lokal dan Perguruan Tinggi

  • Libatkan perguruan tinggi lokal untuk menyediakan workshop teknis PBJ atau menjadi mentor magang. Asosiasi UMKM membantu mengidentifikasi produsen lokal sesuai TKDN.

6.3. Pendampingan Masyarakat dan Lembaga Swadaya

  • Lembaga sosial atau LSM lokal mendukung pelibatan masyarakat dalam swakelola, serta memantau transparansi pengadaan di desa melalui partisipasi publik.

6.4. Dukungan Teknologi dari Pihak Ketiga

  • Kerja sama dengan penyedia layanan internet lokal atau organisasi nirlaba untuk menyediakan akses gratis atau murah di desa. Aplikasi ringan yang dapat berjalan di smartphone untuk input data dapat membantu ketika komputer tidak tersedia.

7. Teknologi dan Digitalisasi di Desa

7.1. Alternatif Akses e-Pengadaan

  • Jika koneksi di desa buruk, PPK dapat memanfaatkan kantor kecamatan atau fasilitas publik (balai desa dengan satelit/hotspot) untuk melakukan input ke sistem. Catat jadwal agar beberapa desa dapat bergantian.

7.2. Aplikasi Mobile atau Offline-First

  • Pengembangan aplikasi PBJ yang bisa dioperasikan di smartphone dengan mode offline dan sinkronisasi otomatis saat koneksi tersedia, memudahkan PPK di desa memproses dokumen.

7.3. Dashboard Sederhana untuk Pemantauan

  • Visualisasi progres pengadaan di desa melalui dashboard lokal (misalnya spreadsheet terintegrasi) yang diupdate manual, lalu diunggah ke sistem pusat untuk audit trail.

7.4. Keamanan Data dan Privasi

  • Pastikan data pengadaan desa disimpan dengan aman, terutama saat menggunakan jaringan publik; pelatihan singkat keamanan TI bagi PPK dan operator diperlukan.

8. Studi Kasus Ilustratif

Kabupaten X: Pelaksanaan PBJ Desa di Wilayah Terpencil

  • Konteks: Desa A dan B di daerah pegunungan dengan koneksi minimal. PPK desa awalnya kesulitan sertifikasi dan akses e-Pengadaan.
  • Langkah Intervensi:
    1. Pelatihan Regional: Dinas kabupaten mengadakan lokakarya seminggu di kecamatan terdekat untuk PPK beberapa desa sekaligus.
    2. Tim Pendamping Kecamatan: Dibentuk tim TI yang membantu input e-Pengadaan; staf administrasi kecamatan menyiapkan draft dokumen berdasarkan masukan PPK.
    3. Swakelola Terstruktur: PPK menginisiasi musyawarah desa, menetapkan kelompok tani sebagai pelaksana perbaikan jalan setapak, dengan pendampingan teknis dari dinas. Dokumen musyawarah dicatat sebagai bukti perencanaan dan pengawasan.
    4. Pooling Perangkat: Desa bergiliran menggunakan satu laptop dan hotspot desa untuk sinkronisasi data setiap minggu.
    5. Monitoring dan Evaluasi: Dinas kabupaten memonitor capaian pengadaan desa melalui dashboard gabungan; rapat evaluasi triwulanan mengidentifikasi hambatan dan merumuskan solusi.
  • Hasil: Pengadaan berjalan sesuai target mutu sederhana, audit desa berjalan lancar dengan dokumentasi yang memadai, dan warga merasa terlibat langsung. PPK desa lebih percaya diri mengelola PBJ walau sumber daya terbatas.

9. Rekomendasi Kebijakan dan SOP untuk PPK Desa

9.1. SOP Pengadaan Desa yang Adaptif

  • Buat prosedur terukur: kombinasi swakelola dan e-Pengadaan dengan opsi offline-first. Cantumkan alur input di kantor kecamatan jika koneksi desa bermasalah.

9.2. Skema Sertifikasi Terjangkau

  • Skema sertifikasi PBJ khusus desa: modul singkat, pelatihan regional, ujian terjadwal berkala di kecamatan/kota kabupaten.

9.3. Alokasi Anggaran Dukungan TI Desa

  • Dana khusus untuk infrastruktur dasar: hotspot portabel, laptop bersama, atau subsidi data seluler bagi PPK desa.

9.4. Pembentukan Tim Pendamping Kecamatan/Provinsi

  • Tim lintas fungsi (TI, administrasi, teknis) di kecamatan atau provinsi siap membantu desa, dengan target waktu respons yang disepakati.

9.5. Platform Mobile-Friendly

  • Dorong pengembangan aplikasi pengadaan ringan yang mendukung input offline dan sinkronisasi otomatis saat online untuk desa terpencil.

9.6. Pelibatan Masyarakat dalam Pengawasan

  • Mekanisme publikasi rencana pengadaan dan laporan progres di papan desa atau grup chat komunitas, meningkatkan transparansi dan akuntabilitas lokal.

9.7. Evaluasi dan Insentif Kinerja PPK Desa

  • Dashboard capaian pengadaan desa, dengan indikator: waktu penyelesaian, kualitas hasil sederhana, penggunaan swakelola, dan kepuasan masyarakat. Berikan penghargaan atau insentif bagi PPK desa berprestasi.

9.8. Kolaborasi dengan LKPP untuk Modul Khusus Desa

  • LKPP menyediakan modul pedoman elektronik khusus desa, termasuk basis data penyedia lokal dan template dokumen yang disederhanakan.

10. Kesimpulan

PPK di desa menghadapi beban berat karena sumber daya manusia dan infrastruktur minim, tetapi peran mereka krusial dalam mewujudkan pengadaan yang akuntabel dan berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat. Dengan model pelatihan hybrid, tim pendamping terpadu, penggunaan swakelola, pooling sumber daya, dan teknologi offline-first, PPK desa dapat mengatasi keterbatasan. Dukungan kebijakan dari dinas/kabupaten/provinsi dan LKPP-melalui SOP adaptif, sertifikasi terjangkau, serta infrastruktur TI dasar-menjadi kunci keberhasilan. Dengan demikian, meski beban berat, PPK di desa tetap dapat menjalankan PBJ secara profesional, transparan, dan berkelanjutan.