I. Pendahuluan
Pengadaan jasa konsultansi memegang peranan strategis dalam mendukung organisasi mencapai tujuan bisnis maupun pemerintahan. Mulai dari penyusunan kebijakan, perbaikan proses bisnis, hingga implementasi teknologi terkini, konsultan memberikan keahlian khusus yang seringkali tidak dimiliki tim internal. Namun, di balik potensi manfaat tersebut, terdapat berbagai risiko yang dapat menghambat kelancaran, menimbulkan pemborosan anggaran, dan mengurangi nilai tambah proyek.
Artikel ini membahas secara mendalam risiko-risiko umum yang sering muncul dalam pengadaan jasa konsultansi-mulai perencanaan, pemilihan penyedia, hingga pasca-implementasi-beserta strategi mitigasi yang dapat diterapkan. Dengan pemahaman risiko yang komprehensif, tim pengadaan dapat menyiapkan langkah antisipatif dan memastikan kolaborasi dengan konsultan berjalan efektif, efisien, dan berkelanjutan.
II. Pengertian Pengadaan Jasa Konsultansi
Pengadaan jasa konsultansi adalah proses memperoleh layanan berbasis keahlian khusus dari pihak luar (konsultan) yang ditujukan untuk membantu organisasi mencapai tujuan tertentu melalui advis strategis, analisis teknis, penyusunan kebijakan, pendampingan implementasi, atau pengembangan kapasitas. Tidak seperti pengadaan barang atau konstruksi, jasa konsultansi sangat bergantung pada kualitas intelektual, pengalaman, serta pemahaman mendalam terhadap konteks organisasi.
Ruang lingkup jasa konsultansi mencakup berbagai bidang seperti manajemen perubahan, perencanaan strategis, reformasi birokrasi, tata kelola TI, studi kelayakan proyek, audit operasional, hingga evaluasi dampak program pembangunan. Proyek konsultansi sering kali tidak hanya berfokus pada hasil fisik atau dokumen akhir, tetapi juga pada transformasi proses internal dan transfer pengetahuan.
Secara garis besar, proses pengadaan jasa konsultansi terdiri atas lima tahapan utama berikut:
1. Penyusunan Kerangka Acuan Kerja (KAK)
KAK berfungsi sebagai dokumen panduan teknis bagi calon penyedia jasa. Di dalamnya harus dijabarkan latar belakang proyek, permasalahan yang dihadapi organisasi, tujuan yang ingin dicapai, ruang lingkup pekerjaan, metodologi yang diharapkan, keluaran (deliverable), dan durasi pelaksanaan. Semakin rinci dan kontekstual KAK yang disusun, semakin tinggi peluang untuk mendapatkan proposal yang relevan dan berkualitas.
2. Proses Seleksi Penyedia Jasa
Pemilihan konsultan bisa dilakukan melalui beberapa mekanisme sesuai regulasi, seperti tender umum, seleksi terbatas, penunjukan langsung (untuk nilai kecil atau kondisi khusus), dan pengadaan langsung. Tahapan ini mencakup pengumuman pengadaan, penerimaan proposal teknis dan finansial, penilaian proposal, serta klarifikasi dan wawancara jika diperlukan.
3. Negosiasi dan Penandatanganan Kontrak
Setelah penyedia jasa terpilih, dilakukan proses negosiasi terkait lingkup pekerjaan yang lebih rinci, nilai kontrak, jadwal implementasi, serta detail administratif dan hukum. Kontrak harus mengatur dengan jelas hak dan kewajiban kedua belah pihak, termasuk skema pembayaran, jaminan mutu, penalti atas keterlambatan, penyelesaian sengketa, serta hak atas hasil kerja (intellectual property).
4. Pelaksanaan Proyek
Tahap ini mencakup kegiatan aktual konsultan dalam menjalankan proyek sesuai yang disepakati: mulai dari analisis situasi awal, pengumpulan data, perumusan rekomendasi, penyusunan dokumen teknis, hingga implementasi solusi. Tim pengadaan harus memonitor progres secara berkala melalui rapat koordinasi, laporan kemajuan, dan tinjauan hasil antara (milestone review).
5. Penutupan Proyek dan Transfer Knowledge
Setelah proyek selesai, penting dilakukan serah terima akhir, evaluasi kinerja, dan kegiatan transfer pengetahuan kepada tim internal. Tujuannya agar organisasi dapat melanjutkan atau mereplikasi solusi tanpa ketergantungan berlebihan pada pihak luar.
Namun demikian, setiap tahapan di atas menyimpan potensi risiko yang signifikan-baik dari sisi teknis, administratif, keuangan, maupun etika-yang dapat menggagalkan tujuan awal pengadaan jasa konsultansi jika tidak dikelola dengan baik.
III. Risiko Perencanaan dan Kebutuhan
Perencanaan yang buruk menjadi penyebab utama kegagalan dalam pengadaan jasa konsultansi. Berikut penjelasan mendalam untuk tiap risiko:
A. Kebutuhan Tidak Jelas atau Berubah-ubah
Masalah utama dalam tahap awal adalah kurangnya kejelasan mengenai apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh organisasi. Misalnya, sebuah instansi menginginkan sistem informasi manajemen baru tetapi belum menentukan apakah kebutuhan mereka adalah desain arsitektur TI, pelatihan SDM, atau digitalisasi proses. Akibatnya, proposal yang diajukan konsultan bisa sangat bervariasi dalam ruang lingkup, dan sulit dilakukan evaluasi yang adil.
Selain itu, perubahan kebutuhan secara tiba-tiba-karena pergantian pimpinan, penyesuaian kebijakan, atau perubahan prioritas program-dapat merusak stabilitas proyek. Konsultan menjadi bingung dan pekerjaan harus disesuaikan berulang kali tanpa prosedur formal.
B. Ruang Lingkup (Scope) yang Meningkat Tak Terbatas
Istilah “scope creep” mengacu pada fenomena bertambahnya pekerjaan secara bertahap di luar kesepakatan awal. Hal ini sering terjadi karena kurangnya disiplin dalam manajemen proyek, atau karena klien meminta penambahan kegiatan tanpa menyadari implikasinya pada biaya dan waktu.
Konsultan mungkin merasa tidak nyaman menolak permintaan tambahan tersebut, karena ingin mempertahankan hubungan baik dengan klien. Namun, dampaknya bisa serius: keterlambatan waktu, kelelahan tim, kualitas yang menurun, bahkan konflik kontraktual.
C. Anggaran dan Jadwal Tidak Realistis
KAK yang tidak didukung oleh riset biaya pasar sering kali menghasilkan HPS yang terlalu rendah. Akibatnya, hanya penyedia jasa berkualitas rendah yang mampu memenuhi harga tersebut, atau penyedia jasa menyesuaikan lingkup kerja agar sesuai dengan nilai kontrak, yang berarti kualitas akan dikompromikan.
Sementara itu, jadwal proyek yang terlalu singkat tidak memberi ruang yang cukup bagi kegiatan pengumpulan data, analisis mendalam, validasi solusi, dan pengujian. Tanpa buffer waktu, risiko keterlambatan akan meningkat signifikan.
Strategi Mitigasi:
- Libatkan perwakilan pengguna akhir, manajemen, dan pengambil kebijakan dalam workshop penyusunan KAK agar kebutuhan terdefinisi jelas.
- Terapkan teknik SMART (Specific, Measurable, Achievable, Relevant, Time-bound) dalam menetapkan tujuan proyek.
- Sisipkan prosedur perubahan ruang lingkup (Change Request) dalam kontrak dengan dampak biaya dan waktu yang terukur.
IV. Risiko Pemilihan Penyedia
Tahapan seleksi adalah titik kritis yang menentukan apakah penyedia jasa yang dipilih benar-benar mampu memberikan hasil terbaik. Namun, proses ini rentan terhadap berbagai kesalahan:
A. Kualitas Proposal yang Sulit Dibandingkan
Banyak proposal yang bersifat normatif-berisi janji umum tanpa data konkrit. Tanpa rubrik penilaian teknis yang rinci dan terukur, panitia evaluasi akan kesulitan membandingkan antar-proposal secara objektif. Misalnya, satu penyedia menulis “akan melakukan asesmen menyeluruh,” sementara lainnya menyebut “melakukan 5 FGD dengan stakeholder di lima wilayah”-mana yang lebih baik?
Tanpa evidence of delivery, panitia tidak bisa menilai kemampuan sesungguhnya. Risiko yang muncul: penyedia dipilih bukan berdasarkan kualitas, melainkan presentasi atau kesan umum belaka.
B. Konflik Kepentingan dan Nepotisme
Jika panitia seleksi tidak diwajibkan mengisi Conflict of Interest Form, maka terbuka peluang penyalahgunaan wewenang. Misalnya, seorang anggota tim seleksi merekomendasikan firma yang dipimpin oleh mantan koleganya, atau firma yang pernah bekerja sama secara informal dengan anggota organisasi.
Hal ini bukan hanya merugikan proyek, tetapi juga membuka risiko hukum dan reputasi bagi organisasi.
C. Kapasitas Penyedia Tidak Sesuai Janji
Beberapa penyedia jasa memasukkan nama-nama pakar senior di proposal sebagai “team lead”, tetapi saat kontrak berjalan, yang hadir adalah staf junior dengan pengalaman terbatas. Ini sering kali disebabkan karena tim seleksi tidak meminta klarifikasi atau wawancara personel utama yang akan terlibat langsung di lapangan.
Strategi Mitigasi:
- Gunakan metode evaluasi berjenjang: proposal teknis diseleksi dulu, lalu baru harga untuk peserta yang lolos teknis.
- Lakukan klarifikasi teknis dan wawancara untuk memastikan tim kunci sesuai dengan yang tertulis dalam proposal.
- Verifikasi portofolio dan minta surat pernyataan komitmen dari tenaga ahli yang dicantumkan.
V. Risiko Kontrak dan Syarat Hukum
Kontrak adalah jaminan hukum yang melindungi hak dan kewajiban kedua belah pihak. Sayangnya, banyak kontrak jasa konsultansi yang terlalu sederhana atau tidak spesifik, sehingga menyisakan ruang interpretasi ganda yang bisa berdampak negatif di kemudian hari.
A. Klausul Kontrak yang Tidak Komprehensif
Klausul standar saja tidak cukup. Kontrak harus secara eksplisit menyebutkan: batas waktu pekerjaan, indikator keberhasilan, konsekuensi keterlambatan, serta siapa yang berhak atas hasil kerja (misalnya: software, dokumen, laporan).
Kontrak juga perlu mencantumkan ketentuan tentang revisi, mekanisme persetujuan perubahan pekerjaan, serta kewajiban kerahasiaan. Tanpa ini, organisasi bisa kehilangan hak atas data yang dikumpulkan atau solusi yang dikembangkan.
B. Sistem Pembayaran yang Tidak Terkait Kinerja
Sistem pembayaran yang tidak didasarkan pada pencapaian milestone justru menghilangkan insentif bagi konsultan untuk menjaga ritme kerja. Dalam sistem lump-sum tanpa syarat, risiko munculnya deliverable seadanya atau molor semakin tinggi, karena konsultan tidak memiliki beban keuangan apabila pekerjaan tidak tuntas.
C. Force Majeure dan Penyelesaian Sengketa
Ketiadaan klausul force majeure (keadaan kahar) bisa membuat penyedia atau pemberi kerja terjebak dalam kondisi yang tidak adil saat terjadi krisis seperti pandemi, bencana, atau perubahan kebijakan pemerintah. Demikian juga, ketiadaan mekanisme penyelesaian sengketa akan mempersulit bila terjadi konflik: apakah melalui pengadilan, arbitrase, atau mediasi.
Strategi Mitigasi:
- Gunakan kombinasi skema pembayaran tetap (fixed price) dan berdasarkan hasil (milestone-based).
- Sertakan ketentuan penalti keterlambatan (late penalty), jaminan mutu, dan retensi pembayaran (retention money).
- Masukkan klausul kerahasiaan, kepemilikan hasil kerja, dan penyelesaian sengketa dalam kontrak kerja sama.
VI. Risiko Pelaksanaan dan Manajemen Proyek
Tahap pelaksanaan adalah inti dari proses pengadaan jasa konsultansi. Namun, justru pada tahap inilah berbagai risiko mulai muncul secara nyata. Keberhasilan proyek sangat bergantung pada manajemen yang disiplin dan komunikasi yang konsisten.
A. Manajemen Proyek yang Lemah
Tanpa adanya penanggung jawab internal yang ditunjuk secara jelas sebagai Project Manager, arah proyek bisa kabur, eskalasi masalah menjadi lambat, dan hasil akhirnya jauh dari ekspektasi. Banyak instansi pemerintah atau perusahaan yang menyerahkan seluruh tanggung jawab kepada konsultan tanpa pengawasan aktif. Hal ini berisiko menyebabkan keterlambatan dalam menyetujui deliverable, kurangnya tindak lanjut atas temuan awal, dan melemahnya koordinasi antara tim internal dengan konsultan.
Kurangnya kehadiran project owner dari sisi klien juga membuat tim internal merasa proyek ini “bukan urusan mereka”, yang akhirnya menurunkan partisipasi, adopsi hasil kerja, dan pembelajaran organisasi secara keseluruhan.
B. Minimnya Jaminan Kualitas (QA/QC)
Tidak semua konsultan memiliki sistem Quality Assurance (QA) dan Quality Control (QC) yang kuat. Dalam kondisi ini, laporan yang dihasilkan bisa bersifat umum, tidak sesuai dengan konteks lokal, atau bahkan merupakan daur ulang dari proyek sebelumnya. Hal ini sangat membahayakan jika proyek tersebut merupakan dasar pengambilan kebijakan strategis atau penyusunan regulasi.
Ketiadaan audit internal dan sistem review antar anggota tim membuat kesalahan teknis, asumsi keliru, dan bias dalam analisis tidak terdeteksi hingga tahap akhir.
C. Ketidakcocokan Metodologi
Banyak konsultan, terutama dari firma internasional, membawa pendekatan yang terlalu standar dan tidak cukup menyesuaikan dengan kondisi lokal. Misalnya, pendekatan manajemen proyek berbasis PMBOK atau PRINCE2 bisa terlalu birokratis jika diterapkan di daerah dengan kapasitas institusional yang terbatas. Sebaliknya, metode yang terlalu fleksibel tanpa kerangka evaluasi yang ketat juga bisa membuat proyek kehilangan arah.
Strategi Mitigasi:
- Bentuk Steering Committee lintas bagian untuk memberi arah dan pengawasan strategis.
- Adakan checkpoint review setiap fase proyek untuk memastikan bahwa proses berjalan sesuai jalur.
- Minta konsultan menyampaikan dan menerapkan rencana QA/QC internal, termasuk peer-review dan validasi multi-tahap terhadap hasil kerja.
VII. Risiko Komunikasi dan Stakeholder
Tanpa komunikasi yang terstruktur, proyek konsultansi akan kehilangan dukungan, arah, dan kepercayaan dari pihak internal.
A. Ekspektasi yang Tidak Sinkron
Perbedaan interpretasi terhadap ruang lingkup dan hasil yang diharapkan antara tim manajemen, pengguna akhir, dan penyedia jasa sering kali menciptakan ketegangan. Misalnya, manajemen berharap ada transformasi digital menyeluruh, sementara pengguna hanya ingin perbaikan sistem kerja manual.
Konsultan akan kesulitan memenuhi semua tuntutan yang kontradiktif, apalagi bila tidak ada pengambilan keputusan tunggal dari sisi klien.
B. Hambatan Bahasa dan Budaya
Dalam proyek lintas daerah atau internasional, istilah teknis yang sama dapat memiliki arti berbeda. Selain itu, gaya komunikasi langsung dari konsultan bisa dianggap terlalu agresif oleh tim internal yang terbiasa bekerja secara hierarkis.
Perbedaan ini juga mencakup ritme kerja, struktur laporan, dan cara menyampaikan kritik, yang jika tidak dikelola dapat menimbulkan konflik atau resistensi diam-diam.
C. Kurangnya Keterlibatan Pengguna Akhir
Tanpa keterlibatan staf operasional atau pengguna akhir, solusi yang dirancang akan kehilangan konteks lapangan dan sulit diimplementasikan. Konsultan bisa saja mendesain sistem canggih, namun jika pengguna tidak dilatih atau tidak merasa dilibatkan sejak awal, maka adopsi akan rendah dan sistem akan ditinggalkan.
Strategi Mitigasi:
- Susun Stakeholder Engagement Plan sejak awal, dengan pemetaan aktor, peran, dan ekspektasi mereka.
- Fasilitasi workshop partisipatif, forum diskusi terbuka, dan validasi periodik dari pengguna akhir.
- Terjemahkan semua deliverable ke dalam bahasa operasional yang mudah dipahami oleh tim lapangan.
VIII. Risiko Anggaran dan Pembayaran
Masalah keuangan dapat muncul baik dari sisi klien maupun konsultan. Jika tidak diantisipasi sejak awal, proyek bisa macet di tengah jalan.
A. Pembengkakan Biaya
Scope creep yang tidak terkendali-misalnya permintaan tambahan kajian, pelatihan tambahan, atau penambahan modul aplikasi-akan berdampak pada pembengkakan anggaran. Jika tidak ada dana cadangan atau fleksibilitas dalam revisi anggaran, organisasi akan menghadapi dilema: membayar lebih atau menghentikan proyek.
B. Keterlambatan Pembayaran
Keterlambatan dari pihak klien dalam mencairkan termin pembayaran menyebabkan kesulitan arus kas bagi konsultan, terutama firma lokal atau perorangan. Hal ini bisa berdampak langsung pada kualitas hasil, keterlambatan pengiriman, dan moral tim proyek.
C. Perubahan Kurs atau Biaya Tidak Terduga
Untuk proyek lintas negara atau kerja sama dengan konsultan asing, fluktuasi nilai tukar bisa mengubah biaya proyek secara signifikan. Selain itu, lonjakan harga akomodasi, tiket perjalanan, atau bahan bakar bisa membuat anggaran membengkak di luar perhitungan awal.
Strategi Mitigasi:
- Sisipkan anggaran kontinjensi sebesar 5-10% untuk mengantisipasi biaya tambahan yang sah.
- Jadwalkan termin pembayaran berdasarkan pencapaian milestone, bukan waktu semata.
- Dalam kontrak, tambahkan klausul penyesuaian nilai tukar atau skema fleksibel untuk biaya logistik.
IX. Risiko Kualitas dan Deliverable
Tidak semua output konsultan memiliki mutu dan kebermanfaatan yang diharapkan.
A. Deliverable Tidak Sesuai Ekspektasi
Ada proyek yang secara administratif selesai, namun hasilnya tidak bisa digunakan. Contohnya: sistem aplikasi tidak intuitif, SOP terlalu teoritis, atau laporan analisis tidak memberi rekomendasi yang operasional. Ini terjadi jika konsultan gagal memahami kebutuhan pengguna, atau tidak melalui validasi berulang selama pelaksanaan.
B. Dokumentasi Kurang Memadai
Hasil kerja yang tidak disertai dokumentasi pendukung seperti manual penggunaan, SOP internal, template laporan, atau alur proses akan sulit direplikasi. Tim internal menjadi tergantung kembali pada konsultan untuk pemeliharaan atau perubahan kecil.
C. Tidak Ada Mekanisme Uji Coba
Tanpa uji coba atau pilot test, organisasi tidak bisa mengidentifikasi kekurangan sebelum implementasi penuh. Misalnya, sistem informasi diluncurkan ke seluruh unit tanpa user acceptance test (UAT), lalu muncul berbagai error yang sebenarnya bisa dicegah sebelumnya.
Strategi Mitigasi:
- Definisikan “Definition of Done” yang jelas dalam kontrak.
- Lakukan UAT atau pilot test di satu unit kerja sebelum peluncuran penuh.
- Sertakan pelatihan intensif, dokumentasi rinci, dan sesi tanya-jawab bersama konsultan sebelum serah terima akhir.
X. Risiko Ketergantungan dan Transfer Knowledge
Jika pengadaan jasa konsultansi tidak didesain untuk membangun kapasitas internal, organisasi akan terus bergantung pada pihak eksternal.
A. Ketergantungan Berlebihan pada Konsultan
Organisasi yang tidak menyiapkan tim bayangan (shadow team) selama proyek berlangsung akan kesulitan melanjutkan inisiatif. Bahkan untuk perbaikan minor, mereka harus kembali menyewa konsultan.
B. Knowledge Loss
Ketika personel kunci dari konsultan atau tim internal keluar, banyak pengetahuan hilang karena tidak terdokumentasi. Ini terjadi jika tidak ada dokumentasi hidup (living document), knowledge base digital, atau pelatihan berjenjang.
C. Resistensi Internal
Staf internal yang tidak dilibatkan sejak awal atau merasa terancam dengan perubahan cenderung menolak teknologi baru atau hasil proyek. Mereka bisa secara pasif-agresif menggagalkan penerapan hasil kerja konsultan.
Strategi Mitigasi:
- Buat Knowledge Transfer Plan dengan skema pelatihan berulang, mentoring, dan sesi review.
- Latih dan sertifikasi internal trainer agar mampu melanjutkan proyek secara mandiri.
- Simpan semua hasil dan dokumen pada platform intranet yang dapat diakses tim secara mudah.
XI. Risiko Kepatuhan dan Etika
Aspek legal dan integritas adalah pondasi utama dari proses pengadaan yang sehat.
A. Pelanggaran Peraturan Pengadaan
Pelanggaran terhadap Perpres 16/2018 dan peraturan turunannya bisa berujung pada sanksi hukum, termasuk pembatalan kontrak, denda, atau blacklist. Misalnya, penunjukan langsung tanpa justifikasi, atau manipulasi nilai evaluasi teknis.
B. Konflik Kepentingan dan Gratifikasi
Ketiadaan mekanisme transparansi membuka celah gratifikasi, fee tersembunyi, atau persekongkolan tender. Ini akan merusak reputasi institusi dan bisa menarik perhatian aparat hukum.
C. Pelanggaran Data Sensitif
Dalam proyek yang melibatkan data strategis, seperti sistem informasi penduduk atau kebijakan sosial, konsultan harus tunduk pada standar keamanan informasi. Tanpa Non-Disclosure Agreement (NDA) dan prosedur keamanan digital, risiko kebocoran data sangat tinggi.
Strategi Mitigasi:
- Terapkan audit kepatuhan internal secara berkala.
- Bangun mekanisme whistleblowing anonim untuk pelaporan pelanggaran.
- Tandatangani NDA dan cybersecurity policy sebelum akses data diberikan kepada konsultan.
XII. Strategi Mitigasi Risiko
Untuk memastikan pengadaan jasa konsultansi berjalan sesuai harapan, organisasi perlu menerapkan mitigasi menyeluruh dan proaktif:
- Analisis Risiko Awal
Buat Risk Register sejak tahap perencanaan. Petakan risiko, analisis probabilitas dan dampaknya, lalu tetapkan strategi mitigasi. Update secara berkala selama siklus proyek. - Change Control
Terapkan prosedur resmi untuk setiap permintaan perubahan ruang lingkup, biaya, atau waktu. Gunakan Change Control Board (CCB) untuk menyetujui atau menolak permintaan tersebut. - Quality Management
Tetapkan standar QA/QC, lakukan audit internal berkala, dan libatkan pihak ketiga dalam peer review terhadap deliverable utama. - Stakeholder Engagement
Rancang forum komunikasi dua arah. Libatkan pengguna akhir dalam uji coba, forum validasi, dan survei kepuasan setelah proyek. - Dokumentasi Komprehensif
Semua hasil kerja harus disertai manual operasional, SOP, video tutorial, FAQ, serta knowledge base daring untuk referensi jangka panjang. - Legal Safeguards
Buat kontrak yang lengkap dan tegas, termasuk NDA, klausul penalti, force majeure, dan jaminan pasca-implementasi. - Capacity Building
Jadwalkan pelatihan internal, mentoring dari konsultan, serta skema train-the-trainer untuk penguatan kapasitas. - Monitoring dan Evaluasi Berkala
Gunakan dashboard KPI, rapat mingguan, laporan status bulanan, dan tinjauan manajemen untuk mengawal proyek secara berkelanjutan.
XIII. Kesimpulan
Pengadaan jasa konsultansi menghadirkan beragam risiko-mulai dari perencanaan yang belum matang, pemilihan penyedia, manajemen proyek, hingga aspek legal dan etika. Tanpa mitigasi yang tepat, risiko-risiko ini dapat menghambat keberhasilan proyek, mendorong pembengkakan biaya, dan menimbulkan kekecewaan stakeholder.
Dengan memahami secara mendalam setiap risiko umum dan menerapkan strategi antisipatif-seperti penyusunan KAK komprehensif, rubrik evaluasi yang jelas, kontrak yang kokoh, proses komunikasi terstruktur, dan transfer knowledge-organisasi dapat mengoptimalkan kolaborasi dengan konsultan, memaksimalkan manfaat, serta memastikan keberlanjutan hasil jangka panjang.
Maka dari itu, setiap tim pengadaan harus memasukkan manajemen risiko sebagai komponen utama dalam perencanaan dan pelaksanaan pengadaan jasa konsultansi. Hanya dengan demikian, investasi strategis pada layanan konsultansi akan memberikan nilai tambah optimal bagi organisasi.