Komunitas Pejabat Pengadaan: Apakah Sudah Ada di Daerahmu?

I. Pendahuluan

Dalam era pemerintahan yang menuntut transparansi, akuntabilitas, dan profesionalisme tinggi, pengelolaan pengadaan barang dan jasa (PBJ) pemerintah tidak lagi bisa dilakukan secara konvensional dan terisolasi. Pejabat Pengadaan Barang/Jasa (PPBJ), yang menjadi ujung tombak dalam proses pengadaan di berbagai instansi pemerintah daerah, kini menghadapi tantangan yang semakin kompleks. Perubahan regulasi yang cepat, tuntutan efisiensi, serta ekspektasi terhadap akuntabilitas publik menjadikan peran PPBJ semakin strategis dan menuntut peningkatan kapasitas yang berkelanjutan.

Dalam konteks ini, terbentuknya komunitas pejabat pengadaan di tingkat daerah muncul sebagai inisiatif cerdas dan strategis untuk menjawab kebutuhan penguatan sumber daya manusia (SDM), pertukaran informasi, dan penyelarasan praktik terbaik (best practices) dalam proses pengadaan. Komunitas ini bukan sekadar forum kumpul-kumpul informal, tetapi dapat berfungsi sebagai wadah profesional yang mampu menyatukan para pelaku pengadaan dari berbagai instansi untuk saling belajar, berbagi tantangan, dan mendiskusikan solusi atas permasalahan riil yang mereka hadapi sehari-hari.

Dengan adanya komunitas ini, Pejabat Pengadaan dapat membangun jejaring profesional yang lebih luas, menjalin kolaborasi lintas sektoral maupun lintas daerah, serta memperoleh akses yang lebih mudah terhadap sumber pengetahuan terkini. Tidak hanya itu, komunitas juga dapat berperan sebagai ruang untuk berbagi beban psikologis, mengingat pekerjaan pengadaan sering kali penuh tekanan, berisiko tinggi, dan rawan dikriminalisasi.

Artikel ini akan membahas secara mendalam mengapa komunitas PBJ menjadi penting di era saat ini, bagaimana latar belakang dan urgensinya, manfaat konkret yang bisa diperoleh, serta tantangan dan strategi implementasinya. Di bagian akhir, akan disajikan pula beberapa contoh komunitas PBJ yang telah terbentuk di daerah tertentu, lengkap dengan model kegiatan yang mereka jalankan. Melalui pembahasan ini, diharapkan pembaca-terutama para pelaku pengadaan di daerah-dapat terinspirasi untuk mulai membangun atau mengaktifkan komunitas serupa di wilayah kerjanya masing-masing.

II. Latar Belakang dan Urgensi Pembentukan Komunitas PBJ

A. Permasalahan SDM PBJ di Daerah

Salah satu akar persoalan yang paling sering muncul dalam pengadaan di daerah adalah keterbatasan kualitas dan kuantitas SDM pengadaan. Tidak sedikit pemerintah daerah yang masih bergantung pada satu atau dua orang pejabat pengadaan yang memiliki sertifikat dan pengalaman teknis memadai. Ketika individu-individu ini dipindahkan atau pensiun, maka proses pengadaan pun menjadi tersendat. Bahkan ada daerah yang untuk beberapa waktu harus menunda kegiatan pengadaan karena tidak ada pejabat pengadaan yang aktif atau tersertifikasi.

Permasalahan ini diperparah dengan adanya kesenjangan antara daerah yang sudah maju secara sistem dan daerah yang masih berkembang. Daerah-daerah dengan anggaran besar, akses pelatihan yang luas, serta bimbingan dari LKPP atau mitra pembangunan cenderung lebih siap dalam menghadapi perubahan regulasi dan tantangan teknis. Sementara itu, daerah terpencil atau baru dimekarkan kerap kesulitan memahami prosedur baru, apalagi menerapkan prinsip value for money, keberlanjutan (sustainability), atau integritas tinggi dalam pengadaan.

Mutasi atau rotasi pegawai yang terlalu cepat juga menjadi tantangan tersendiri. Banyak pejabat pengadaan yang belum sempat mendalami tupoksinya, tetapi sudah dipindah ke unit lain karena pertimbangan birokrasi. Akibatnya, proses pembelajaran menjadi tidak tuntas, dan kesinambungan pengetahuan pun terganggu.

B. Kebutuhan Kolaborasi dan Berbagi Praktik Baik

Dalam situasi seperti ini, forum diskusi dan komunitas praktisi menjadi sangat dibutuhkan. Pengadaan adalah dunia yang dinamis. Misalnya, regulasi seperti Perpres PBJ, Perlem LKPP, serta kebijakan mengenai penggunaan e-Katalog, e-Kontrak, dan pengadaan darurat terus mengalami perubahan dalam waktu singkat. Pejabat pengadaan yang bekerja secara individu tanpa dukungan komunitas kerap merasa kewalahan mengikuti semua perkembangan ini.

Di sisi lain, dalam praktiknya, banyak masalah teknis pengadaan yang tidak tertulis secara eksplisit dalam regulasi. Misalnya, bagaimana merespons sanggahan dengan tepat, bagaimana menangani audit dari BPK atau Inspektorat, atau bagaimana melakukan klarifikasi terhadap kualifikasi penyedia yang meragukan. Dalam kondisi seperti ini, komunitas PBJ menjadi sumber pengetahuan praktis yang sangat berharga, karena memungkinkan para anggotanya bertanya langsung kepada rekan-rekan sejawat yang pernah mengalami hal serupa.

Lebih dari itu, komunitas juga dapat berfungsi sebagai tempat untuk berbagi good practices. Daerah-daerah yang sudah berhasil menyusun dokumen tender yang baik, melakukan evaluasi teknis yang adil, atau mengembangkan e-Katalog lokal dapat menjadi model yang ditiru oleh daerah lain. Melalui kolaborasi dan pertukaran informasi ini, disparitas praktik antar daerah dapat ditekan, dan kualitas pengadaan nasional pun meningkat secara keseluruhan.

C. Landasan Kebijakan

Pentingnya pengembangan komunitas PBJ tidak hanya didasarkan pada kebutuhan praktis, tetapi juga memiliki dukungan normatif dari regulasi nasional. Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah secara jelas menekankan pentingnya penguatan SDM pengadaan sebagai salah satu pilar pengadaan modern. Dalam pasal-pasalnya, ditegaskan perlunya pelatihan, sertifikasi, dan pengembangan kompetensi berkelanjutan.

Instruksi dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) pun secara rutin menggarisbawahi pentingnya pembentukan jejaring praktisi PBJ. Dalam berbagai kegiatan nasional seperti Rakornas PBJ, peluncuran sistem baru, atau bimbingan teknis tematik, LKPP selalu mendorong adanya keterlibatan komunitas daerah dalam menyebarluaskan pemahaman dan mendampingi implementasi kebijakan.

Dengan kata lain, pembentukan komunitas pejabat pengadaan bukanlah kegiatan sukarela yang sekadar nice-to-have, tetapi telah menjadi bagian dari strategi nasional dalam memperkuat sistem pengadaan yang efektif, efisien, dan kredibel.

III. Tujuan dan Manfaat Komunitas PBJ Daerah

A. Peningkatan Kapasitas Teknis

Salah satu tujuan utama dari komunitas PBJ adalah untuk meningkatkan kapasitas teknis para anggotanya secara kolektif. Komunitas dapat menyelenggarakan berbagai kegiatan edukatif secara reguler, baik berupa workshop tematik, pelatihan teknis, maupun diskusi berbasis studi kasus.

Sebagai contoh, workshop tentang metode skoring dalam evaluasi penawaran (seperti QCBS), atau penerapan Life Cycle Analysis (LCA) untuk pengadaan hijau (green procurement) dapat membantu anggota komunitas memahami konsep yang mungkin belum pernah mereka praktikkan. Demikian pula, simulasi audit pengadaan oleh BPK atau pembahasan kasus sanggahan nyata dari daerah lain akan memberi pengalaman belajar yang sangat relevan dan aplikatif.

Dengan pendekatan seperti ini, pembelajaran menjadi lebih cepat, praktis, dan kontekstual, karena dibangun dari pengalaman nyata dan kesulitan yang benar-benar dihadapi di lapangan.

B. Jejaring dan Kolaborasi

Komunitas PBJ juga memainkan peran penting dalam membuka akses kepada narasumber-narasumber ahli. Melalui jejaring ini, anggota komunitas bisa dengan lebih mudah mengundang konsultan pengadaan, akademisi, atau bahkan pejabat dari LKPP sebagai pembicara atau mentor.

Tak hanya itu, komunitas juga dapat mendorong kolaborasi antar daerah, terutama dalam proyek-proyek lintas wilayah seperti pengembangan e-Katalog lokal bersama, penerapan sistem monitoring kinerja penyedia, atau pelatihan terpadu lintas kabupaten/kota. Kolaborasi semacam ini akan mempercepat pemerataan kapasitas antar daerah, sekaligus memperkuat posisi para pelaku pengadaan di hadapan pemangku kepentingan lain.

C. Standardisasi dan Harmonisasi Praktik

Variasi interpretasi terhadap aturan pengadaan sering kali menjadi sumber kesalahan administratif. Salah satu fungsi strategis komunitas adalah untuk mendorong penyusunan standar bersama, misalnya dalam bentuk template Kerangka Acuan Kerja (KAK), format Harga Perkiraan Sendiri (HPS), atau rubrik penilaian teknis yang seragam.

Dengan cara ini, proses pengadaan menjadi lebih konsisten dan dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu, jika praktik-praktik ini kemudian didokumentasikan dan diarsipkan oleh komunitas, maka akan tercipta repositori pengetahuan daerah yang sangat berharga untuk regenerasi SDM dan peningkatan tata kelola pengadaan.

D. Dukungan Psikologis dan Profesional

Pekerjaan sebagai pejabat pengadaan bukanlah pekerjaan yang ringan. Sering kali, mereka harus berhadapan dengan tekanan dari pimpinan, desakan waktu, penyedia yang agresif, atau risiko kriminalisasi jika terjadi kesalahan administratif. Dalam kondisi seperti ini, dukungan dari rekan sejawat sangatlah penting.

Melalui komunitas, pejabat pengadaan dapat saling berbagi pengalaman dalam mengelola tekanan, menyelesaikan konflik, atau menghadapi audit secara elegan. Bahkan, praktik peer mentoring dapat dijalankan, di mana pejabat senior memberikan bimbingan kepada anggota yang lebih baru atau yang menghadapi kasus rumit.

Dengan demikian, komunitas tidak hanya menjadi ruang teknis, tetapi juga menjadi ruang emosional dan sosial yang mendukung keberlangsungan karier dan integritas anggotanya.

IV. Langkah-Langkah Mendirikan Komunitas PBJ di Daerah

Mendirikan komunitas Pejabat Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) di daerah bukanlah hal yang mustahil, tetapi membutuhkan strategi bertahap, pendekatan yang sistematis, serta dukungan dari berbagai pihak. Komunitas semacam ini dapat menjadi wadah berbagi ilmu, menyusun strategi perbaikan pengadaan, sekaligus menjadi sarana konsolidasi bagi para pelaku pengadaan di daerah.

1. Inisiasi dan Pendekatan Pemerintah Daerah

Langkah pertama adalah menyusun pendekatan resmi ke pemerintah daerah, khususnya Bupati/Walikota, Sekretaris Daerah, dan Inspektorat. Komunitas PBJ idealnya didukung oleh Surat Keputusan (SK) Kepala Daerah yang menetapkannya sebagai forum resmi, sehingga dapat diintegrasikan ke dalam sistem pembinaan dan peningkatan kapasitas ASN.

SK tersebut bisa mencantumkan nama forum, lingkup tugas, mekanisme koordinasi, serta penganggaran operasional ringan. Komunitas ini tidak perlu dibebani struktur birokratis, tetapi cukup diberi keleluasaan untuk mengadakan rapat koordinasi, mengundang narasumber, serta menyusun bahan edukatif. Penganggaran bisa bersumber dari DPA Bagian PBJ, pelatihan dari BKD, atau bahkan hibah dari program kerja sama antar-instansi.

Pendekatan kepada pimpinan daerah perlu disertai naskah akademik ringan yang menjelaskan manfaat forum ini: mendorong efisiensi belanja daerah, menekan risiko temuan BPK, dan memperkuat budaya pengadaan yang bersih dan kompeten.

2. Pemetaan dan Rekrutmen Anggota

Langkah berikutnya adalah melakukan pemetaan menyeluruh terhadap aktor PBJ di daerah. Ini mencakup pejabat pembuat komitmen (PPK), pejabat pengadaan, anggota pokja pemilihan, serta staf pengelola pengadaan di SKPD dan BUMD. Data bisa diperoleh dari aplikasi SIAPBJ atau SIRUP lokal, serta hasil koordinasi dengan BKD dan inspektorat.

Setelah data terkumpul, rekrutmen anggota bisa dilakukan secara bertahap melalui soft-launching. Undangan dapat disampaikan pada forum yang sudah rutin seperti rapat TKPSDA, rapat LPSE, pertemuan pokja pemilihan, atau secara daring melalui email resmi OPD. Soft-launch ini bisa berupa pertemuan informal, dengan agenda diskusi ringan seputar tantangan pengadaan.

Kehadiran beberapa “champion” atau tokoh PBJ lokal sangat penting di tahap ini. Mereka bisa menjadi motor penggerak komunitas dan menarik anggota baru dengan semangat kolaboratif.

3. Penentuan Governance dan Struktur Organisasi

Agar komunitas memiliki arah yang jelas dan berkelanjutan, perlu ditetapkan struktur organisasi yang sederhana namun fungsional. Biasanya terdiri dari Ketua, Sekretaris, dan Bendahara. Untuk efektivitas, juga bisa dibentuk divisi-divisi seperti Divisi Materi dan Pelatihan, Divisi Acara dan Humas, serta Divisi Teknologi dan Inovasi.

Selain struktur, penting pula menetapkan tata tertib komunitas: seberapa sering pertemuan diadakan (misalnya bulanan atau triwulan), mekanisme usulan topik diskusi, protokol etika selama forum, serta hak dan kewajiban anggota.

Pengelolaan komunitas dapat menggunakan prinsip tata kelola organisasi nirlaba yang adaptif: tidak birokratis, tetapi tetap akuntabel dan inklusif. Setiap keputusan penting bisa dicatat dalam berita acara atau log digital untuk menjaga transparansi.

4. Penyusunan Rencana Kerja Tahunan

Rencana kerja komunitas idealnya disusun secara partisipatif dan realistis. Kalender kegiatan tahunan sebaiknya mencakup minimal 6 kali pertemuan, termasuk workshop teknis, webinar kebijakan, serta sesi diskusi informal. Acara bisa disesuaikan dengan siklus anggaran daerah, seperti evaluasi pengadaan triwulan, penyusunan RKA, atau monev kegiatan.

Agenda khusus bisa meliputi studi kunjungan ke LPSE kabupaten/kota lain yang sudah lebih maju, workshop bersama perguruan tinggi setempat, atau seminar tematik yang mengundang LKPP dan Kementerian Keuangan. Publikasi hasil kegiatan dalam bentuk bulletin elektronik, infografik media sosial, atau laporan sederhana bisa menjadi nilai tambah yang memperkuat eksistensi komunitas.

V. Model Kegiatan Komunitas PBJ

Untuk tetap relevan, komunitas PBJ perlu menawarkan berbagai model kegiatan yang menarik, substansial, dan aplikatif. Aktivitas harus dirancang agar menjawab kebutuhan harian para pejabat pengadaan di lapangan, sekaligus memberikan ruang refleksi dan pembelajaran jangka panjang.

1. Monthly Sharing Session

Sesi sharing bulanan adalah jantung komunitas. Dalam sesi ini, satu topik tertentu dibahas secara mendalam oleh anggota secara bergantian. Misalnya topik terkait update e-Katalog sektoral, mekanisme tender cepat, audit LKPP, pengadaan dalam keadaan darurat, atau metode penilaian kualifikasi.

Narasumber bisa berasal dari internal (anggota komunitas) maupun eksternal seperti auditor BPKP, asesor PBJ, dosen kebijakan publik, atau pejabat pengadaan dari daerah lain. Format bisa berupa diskusi panel, presentasi singkat, atau studi kasus interaktif.

Sharing session juga menjadi ajang berbagi cerita lapangan: misalnya keberhasilan menyelamatkan anggaran pengadaan, atau pengalaman menghadapi sanggahan vendor. Sesi ini perlu dikemas secara santai namun tetap terstruktur.

2. Quarterly Workshop Intensif

Setiap tiga bulan, komunitas bisa menyelenggarakan workshop intensif satu hari penuh. Fokus utamanya adalah praktik teknis: membuat Kerangka Acuan Kerja (KAK) yang benar, menyusun Harga Perkiraan Sendiri (HPS), latihan skoring QCBS, atau simulasi penggunaan SPSE versi terbaru.

Pelatihan dapat disertai modul pembelajaran, latihan soal, serta sertifikat internal yang menambah motivasi. Jika memungkinkan, peserta juga dapat mengakses modul lanjutan via e-learning setelah workshop berakhir. Kolaborasi dengan widyaiswara, fasilitator dari LKPP, atau instruktur dari perguruan tinggi dapat menambah bobot akademik kegiatan.

3. E-Learning dan Forum Online

Mengakomodasi kesibukan anggota yang tersebar di berbagai OPD, komunitas perlu menyediakan platform pembelajaran daring. Platform seperti Moodle, Google Classroom, atau Microsoft Teams bisa digunakan untuk menyimpan materi, tutorial video, modul simulasi, hingga bank soal kuis otomatis.

Diskusi harian atau quick support dapat dilakukan lewat grup Telegram atau WhatsApp. Grup ini sangat bermanfaat saat terjadi kebingungan teknis, misalnya gagal upload dokumen di SPSE atau kendala saat menyusun BAHP.

Forum online juga bisa menjadi tempat berbagi file template dokumen, panduan internal, atau infografis perubahan regulasi pengadaan. Dengan begitu, komunitas tetap hidup walaupun tidak sedang mengadakan kegiatan tatap muka.

4. Studi Kunjungan Lapangan

Salah satu program paling menarik adalah studi kunjungan ke daerah yang telah menerapkan inovasi PBJ. Misalnya ke kabupaten/kota yang sukses mengembangkan dashboard pengadaan real-time, SPSE berbasis open contracting, e-tender sektor pertanian, atau penerapan green procurement.

Kunjungan tidak hanya memperluas wawasan, tetapi juga membuka peluang kerja sama antar-daerah. Hasil studi kunjungan bisa disusun menjadi laporan sederhana yang berisi rekomendasi best practice dan ide adaptasi lokal. Jika didukung oleh media publikasi, laporan ini juga bisa memperkuat posisi komunitas di mata stakeholder daerah.

VI. Tantangan dalam Pengelolaan Komunitas PBJ

Seperti komunitas profesional lainnya, komunitas PBJ juga menghadapi berbagai tantangan dalam pengelolaannya. Tantangan ini dapat bersifat internal maupun eksternal, dan jika tidak dikelola dengan baik, berisiko membuat forum menjadi tidak aktif atau kehilangan relevansi.

1. Keterbatasan Anggaran dan Waktu Anggota

Sebagian besar anggota komunitas adalah ASN aktif yang memiliki beban kerja tinggi. Mengalokasikan waktu khusus untuk kegiatan komunitas bukan hal mudah, apalagi jika tidak ada dukungan anggaran.

Solusi pragmatis adalah dengan mencari sponsor dari dunia usaha atau melalui hibah pemerintah pusat, misalnya dari Ditjen Bina Bangda atau program CSR BUMD. Alternatif lain adalah mengintegrasikan kegiatan komunitas dengan pelatihan reguler yang diadakan oleh BKD atau LPSE. Dengan begitu, kehadiran anggota bisa tetap tinggi karena diakomodasi dalam jam kerja.

2. Komitmen Keanggotaan

Rotasi jabatan, mutasi, dan promosi sering membuat anggota komunitas berpindah tugas, sehingga mengurangi konsistensi keikutsertaan. Untuk menjaga kesinambungan, komunitas perlu membangun sistem dokumentasi rapat yang lengkap dan mudah diakses, termasuk notulen, materi, dan rekaman video.

Selain itu, program mentoring antar-anggota bisa menjadi solusi. Anggota senior membimbing anggota baru, sehingga proses pembelajaran dan integrasi bisa berjalan cepat. Ini juga memperkuat ikatan sosial dalam komunitas.

3. Keterbatasan Fasilitator Ahli

Tidak semua daerah memiliki akses mudah ke narasumber atau fasilitator pengadaan yang andal. Hal ini dapat menyebabkan materi kegiatan menjadi berulang atau kurang relevan.

Solusi jangka pendek adalah dengan mengundang narasumber secara daring-baik dari LKPP, BPKP, atau praktisi profesional. Komunitas juga dapat menjalin kerja sama formal dengan perguruan tinggi, agar dosen-dosen terkait dapat diundang sebagai fasilitator tamu.

Solusi jangka panjang adalah mengembangkan fasilitator internal melalui pelatihan ToT (Training of Trainer) dan sertifikasi pengadaan.

4. Sustainabilitas Program

Forum komunitas berpotensi mati suri jika tidak memiliki arah yang jelas, kepemimpinan yang kuat, dan pendanaan yang memadai. Tantangan ini sering muncul setelah fase awal antusiasme mulai menurun.

Agar forum tetap hidup, perlu dibangun payung hukum yang melandasi eksistensinya, baik dalam bentuk Peraturan Bupati/Walikota, MoU dengan universitas, atau keputusan Kepala BKD. Kerangka kerja sama ini menjadi dasar untuk mendapatkan dukungan sumber daya dan pengakuan kelembagaan.

Konsistensi dalam pelaporan kegiatan, dokumentasi yang rapi, serta pelibatan aktif generasi muda PBJ juga penting untuk memastikan estafet kepemimpinan berjalan.

VII. Contoh Komunitas PBJ yang Sudah Ada

Keberadaan komunitas Pejabat Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) di sejumlah daerah menunjukkan bahwa inisiatif kolaboratif ini bukan hanya mungkin dilakukan, tetapi juga membawa dampak nyata bagi kualitas tata kelola pengadaan. Beberapa contoh komunitas yang telah terbentuk menjadi bukti bahwa dengan semangat gotong royong, para pelaku PBJ mampu menjembatani berbagai tantangan teknis dan administratif yang selama ini menjadi hambatan dalam proses pengadaan.

1. Komunitas PBJ Jawa Barat

Komunitas ini berawal dari inisiatif para pejabat pengadaan di lingkup provinsi Jawa Barat yang merasa perlunya wadah komunikasi antarpelaksana PBJ di kabupaten/kota. Didukung oleh perwakilan LKPP Regional dan didampingi oleh Biro Pengadaan Setda Provinsi, komunitas ini secara rutin menyelenggarakan workshop dan sesi klinik bulanan. Dalam setiap pertemuan, dibahas satu tema spesifik, misalnya: strategi menyusun Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang akurat, evaluasi dokumen tender elektronik, atau penggunaan katalog sektoral.

Salah satu capaian utama komunitas ini adalah terbentuknya standarisasi template KAK dan HPS yang digunakan secara konsisten di 27 kabupaten/kota di Jawa Barat. Hal ini tidak hanya mempercepat proses penyusunan dokumen, tetapi juga mengurangi variasi kualitas yang kerap menjadi titik lemah dalam audit.

2. PBJ Network Sulawesi Selatan

Di Sulsel, komunitas PBJ dibentuk melalui pendekatan digital. Para anggotanya membentuk grup Telegram yang kini telah memiliki lebih dari 500 anggota aktif, yang terdiri dari pejabat pengadaan, pokja pemilihan, pengelola sistem informasi, dan auditor internal. Grup ini menjadi ruang diskusi harian dan solusi cepat terhadap berbagai persoalan teknis, seperti klasifikasi e-Katalog, interpretasi Perpres, hingga strategi tender ulang.

Menariknya, komunitas ini juga menyelenggarakan program sertifikasi internal bekerja sama dengan universitas lokal dan lembaga pelatihan swasta. Inovasi lainnya adalah Hackathon PBJ Digital, kompetisi pengembangan aplikasi sederhana yang dapat digunakan untuk efisiensi pengadaan, seperti kalkulator HPS otomatis atau dashboard monitoring RUP.

3. Forum Praktisi Pengadaan Kalimantan Timur

Forum ini didirikan dengan visi menjembatani kesenjangan antara teori pengadaan dan praktik di lapangan. Anggotanya tidak hanya terdiri dari ASN, tetapi juga dari kalangan akademisi, LSM, dan kontraktor lokal yang tertarik pada peningkatan transparansi dalam pengadaan. Salah satu kegiatan unggulannya adalah studi kunjungan ke proyek-proyek strategis, seperti proyek KPBU jalan tol, sistem air minum regional, dan pengadaan alat kesehatan di masa darurat.

Forum ini juga telah melahirkan kolaborasi riset e-Procurement bersama beberapa perguruan tinggi di Samarinda dan Balikpapan. Hasilnya dibukukan dalam jurnal praktisi PBJ yang terbit dua kali setahun, dan menjadi rujukan pembelajaran tidak hanya di Kalimantan Timur, tetapi juga di daerah lain.

VIII. Dampak Positif Komunitas PBJ

Pembentukan komunitas PBJ bukan sekadar kegiatan informal tanpa hasil. Justru sebaliknya, berbagai daerah yang telah memiliki komunitas aktif mencatat perbaikan signifikan dalam aspek efisiensi, kepatuhan regulasi, dan mutu layanan pengadaan. Dampak positif ini dapat diklasifikasikan dalam beberapa indikator berikut:

1. Penurunan Temuan Audit BPK

Salah satu indikator paling nyata dari manfaat komunitas adalah penurunan jumlah dan nilai temuan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Di beberapa daerah, laporan menunjukkan bahwa temuan terkait pengadaan dapat turun hingga 60% dalam waktu satu tahun setelah komunitas PBJ mulai aktif. Hal ini berkaitan erat dengan meningkatnya konsistensi dalam penyusunan dokumen dan pelaksanaan tender yang lebih tertib prosedural. Diskusi komunitas membantu mengklarifikasi regulasi yang ambigu dan mendorong dokumentasi yang lengkap.

2. Peningkatan Kecepatan Proses Tender

Sebelum adanya komunitas, proses tender sering tersendat karena ketidaksesuaian format dokumen, kesalahan input dalam SPSE, atau kurangnya kapasitas personel. Dengan adanya sharing template, SOP internal, dan pelatihan peer-to-peer, waktu rata-rata proses pengadaan dari tahap perencanaan hingga kontrak dapat berkurang 30% atau lebih. Beberapa kabupaten bahkan melaporkan peningkatan realisasi anggaran secara signifikan karena pengadaan bisa dimulai lebih awal.

3. Peningkatan Kualitas Dokumen

Komunitas PBJ juga mendorong munculnya standar mutu terhadap dokumen seperti KAK, HPS, dan rancangan kontrak. Ketika satu daerah menemukan format yang efektif dan disepakati secara internal, template tersebut dapat direplikasi dengan mudah oleh daerah lain melalui jaringan komunitas. Ini mengurangi risiko perbedaan persepsi antar pihak, mencegah sengketa di kemudian hari, dan membantu pelaku usaha memahami ekspektasi pemerintah secara lebih jelas.

IX. Rekomendasi bagi Daerah yang Belum Memiliki Komunitas

Untuk daerah yang hingga saat ini belum memiliki komunitas PBJ, ada beberapa langkah praktis dan terstruktur yang dapat segera dilakukan untuk memulai inisiatif ini:

1. Sosialisasi Gagasan Komunitas

Langkah awal adalah membangun kesadaran kolektif mengenai pentingnya komunitas. Ini dapat dilakukan melalui rapat koordinasi wilayah, forum kepala Biro PBJ, atau kegiatan pelatihan yang difasilitasi oleh LPSE. Pemaparan manfaat nyata dari komunitas-komunitas sukses akan membuka mata para pengambil keputusan di daerah tentang nilai tambah yang dapat dihasilkan.

2. Kolaborasi dengan Perguruan Tinggi

Perguruan tinggi lokal adalah mitra strategis yang dapat mendukung komunitas melalui kegiatan pendampingan teknis, seminar ilmiah, dan bahkan penyusunan modul pelatihan. Selain itu, kehadiran akademisi membantu memperkuat posisi komunitas sebagai wadah pembelajaran yang berbasis data dan evidensi, bukan sekadar tempat curhat operasional.

3. Pemanfaatan Teknologi Gratis

Untuk memulai komunitas, tidak perlu menunggu anggaran besar. Platform daring gratis seperti Google Meet, Google Workspace, Telegram, WhatsApp Group, hingga Zoom versi basic dapat digunakan untuk komunikasi rutin. Dalam tahap awal, yang penting adalah kontinuitas dan konsistensi interaksi antaranggota.

4. Penyusunan Proposal Pendanaan

Agar komunitas dapat tumbuh berkelanjutan, perlu disusun proposal kegiatan dan anggaran sederhana yang dapat diajukan ke APBD melalui Biro PBJ, atau ke mitra donor seperti lembaga pembangunan, program CSR, maupun inisiatif dari kementerian teknis seperti Kemendagri atau KemenPAN-RB. Pendanaan ini dapat mencakup kegiatan rutin, pengadaan perangkat pendukung, hingga pelatihan narasumber.

X. Kesimpulan

Pembentukan komunitas Pejabat Pengadaan Barang/Jasa (PBJ) di daerah merupakan strategi transformasional untuk mempercepat reformasi tata kelola pengadaan. Dalam era regulasi yang terus berkembang dan tuntutan akuntabilitas publik yang semakin tinggi, komunitas menjadi wadah penting bagi peningkatan kapasitas, penyamaan persepsi, dan saling bantu antarpraktisi.

Komunitas yang sukses memiliki struktur organisasi yang jelas, seperti koordinator wilayah, tim dokumentasi, dan divisi pelatihan. Mereka mengembangkan agenda kegiatan yang terjadwal, mulai dari diskusi daring, coaching clinic, studi lapangan, hingga publikasi. Lebih dari itu, komunitas membuka ruang untuk kolaborasi lintas pemangku kepentingan, termasuk perguruan tinggi, pelaku usaha, media lokal, dan bahkan pengawas eksternal.

Bukti dampak positifnya pun telah terlihat: penurunan temuan BPK, percepatan tender, dan peningkatan mutu dokumen pengadaan adalah indikator kuat bahwa komunitas PBJ adalah jawaban atas banyak problematika teknis yang tidak bisa diselesaikan secara individual. Oleh karena itu, jika di daerah Anda belum ada komunitas PBJ, kini saatnya memelopori inisiatif ini. Jangan menunggu aturan atau perintah; cukup mulai dengan satu grup kecil, satu pertemuan daring, dan satu ide berbagi-karena reformasi sejati berawal dari kolaborasi yang sederhana, namun konsisten.