Pengadaan barang dan jasa-baik di sektor pemerintahan maupun swasta-merupakan jantung operasi organisasi, yang menyediakan sumber daya, infrastruktur, dan layanan untuk memenuhi kebutuhan strategis. Namun, realitas di lapangan sering kali menunjukkan tingginya angka kegagalan lelang (cancelled tender) yang membawa sejumlah dampak negatif: penundaan proyek, pembengkakan biaya, hingga menurunnya kepercayaan publik atau pemangku kepentingan. Artikel ini akan menggali secara mendalam berbagai faktor penyebab kegagalan lelang pengadaan, menguraikannya dalam 13 poin utama, lengkap dengan analisis, contoh kasus, dan rekomendasi mitigasi. Setiap paragraf dipaparkan secara komprehensif agar pembaca benar-benar memahami akar masalah dan solusi potensial bagi perbaikan sistem pengadaan di masa mendatang.
1. Ketidaklengkapan Dokumen Administratif
Salah satu penyebab paling umum kegagalan lelang adalah dokumen administrasi tender yang tidak lengkap atau tidak sesuai ketentuan. Di banyak instansi pemerintah, persyaratan lelang mencakup akta perusahaan, NPWP, SIUP/TDP, laporan keuangan diaudit, dan sejumlah sertifikat kompetensi. Namun, karena kompleksitas persyaratan-yang sering berubah setiap tahun-panitia tender kerap menemukan dokumen yang kedaluwarsa, tidak ditandatangani pejabat berwenang, atau lampiran yang tidak sesuai format. Misalnya, akta pendirian yang belum diubah sesuai RUPS terakhir bisa menyebabkan diskualifikasi peserta secara otomatis, meskipun konsorsium vendor sebenarnya memenuhi semua kriteria teknis. Akibatnya, jumlah peserta tersisa terlalu sedikit, melewati ambang batas minimum sehingga lelang dinyatakan gagal. Untuk meminimalkan risiko ini, panitia perlu menyediakan “checklist pra-publikasi” dan mengadakan sesi sosialisasi persyaratan langsung kepada calon peserta; sementara vendor harus membangun sistem manajemen dokumen yang proaktif, memonitor masa berlaku sertifikat, serta menjalankan audit internal sebelum mengajukan dokumen.
2. Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang Tidak Realistis
Harga Perkiraan Sendiri (HPS) berfungsi sebagai benchmark nilai anggaran yang disiapkan oleh penyelenggara tender. Bila HPS ditetapkan terlalu rendah-tanpa melalui riset pasar mendalam dan survey harga material atau upah-maka mayoritas penawaran akan berada di atas batas tersebut, sehingga panitia terpaksa membatalkan lelang karena semua peserta melewati HPS. Sebaliknya, jika HPS terlalu tinggi, potensi pemborosan anggaran mudah terjadi. Contoh kasus tipikal ditemukan pada proyek konstruksi kecil di daerah terpencil, di mana HPS dibuat berdasarkan data biaya di ibu kota, tanpa memperhitungkan premi transportasi dan logistik. Vendor lokal dengan biaya riil lebih tinggi tak mungkin bersaing, penawaran masuk sedikit atau tidak sama sekali, dan tender pun gagal. Untuk mengatasinya, HPS sebaiknya dikalkulasi berdasarkan data riil lapangan: survey harga, histori tender serupa, serta masukan vendor potensial pada fase pra-kualifikasi.
3. Rendahnya Partisipasi Vendor
Partisipasi vendor yang memadai merupakan syarat penting agar lelang dapat berjalan kompetitif. Namun dalam praktiknya, beberapa tender hanya diikuti satu atau dua peserta-kadang sama sekali tidak ada yang mendaftar-yang membuat proses otomatis gagal (karena undang-undang mensyaratkan minimal tiga penawaran). Rendahnya partisipasi bisa disebabkan oleh reputasi buruk penyelenggara (misalnya, terlambat membayar atau potensi konflik hukum), kekurangan sosialisasi tender (banner LPSE yang tidak terjangkau, situs web yang sulit diakses), atau ketakutan vendor akan risiko administrasi dan sanksi. Vendor sering enggan berpartisipasi jika mereka melihat riwayat lelang yang selalu gagal atau berakhir surat pembatalan. Solusi praktis meliputi memperpanjang masa publikasi tender, meningkatkan outreach melalui asosiasi profesi dan media lokal, serta menjamin kepastian proses dan pembayaran sesuai SLA (Service Level Agreement).
4. Spesifikasi Teknis yang Buruk atau Tidak Realistis
Dokumen Rencana Kerja dan Syarat (RKS) yang baik harus jelas, menggambarkan spesifikasi teknis, standar kualitas, dan batas toleransi secara rinci. Namun pada banyak kasus, RKS dibuat terlalu umum (misalnya hanya menyebut “perangkat keras server” tanpa model, kapasitas, atau garansi), atau sebaliknya, terlalu spesifik pada merek/model tertentu (angka patah). Spesifikasi umum menimbulkan ketidakpastian interpretasi, sehingga evaluasi teknis sulit dan risiko sengketa tinggi; sedangkan spesifikasi sempit memunculkan tuduhan “kecurangan” karena dianggap hanya menguntungkan vendor tertentu. Keduanya sering berujung pada lelang gagal ketika tidak ada satupun penawaran memenuhi kriteria. Disarankan agar panitia pengadaan melibatkan tim teknis dan pakar independen saat merancang spesifikasi: menjabarkan fungsional requirement (apa yang harus dilakukan) dibandingkan menyebutkan merek atau supplier tunggal.
5. Proses Evaluasi yang Non-Standar dan Tidak Transparan
Evaluasi tender harus mengikuti pedoman yang jelas: metode penilaian, bobot kriteria, serta dokumen yang diperiksa. Dalam praktiknya, beberapa panitia melakukan evaluasi internal (closed bidding) tanpa melibatkan tim independen, atau mengubah bobot teknis dan harga secara sepihak setelah penawaran masuk. Ketidakterbukaan ini menimbulkan ketidakadilan dan sering memicu gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), memaksa pembatalan tender sekaligus. Bahkan di lingkungan korporasi swasta, jika vendor merasa proses evaluasi diwarnai konflik kepentingan, mereka lebih memilih menarik diri ketimbang melanjutkan. Agar menghindari kegagalan karena evaluasi, organisasi perlu menerapkan procurement governance yang ketat: membentuk panitia seleksi lintas departemen, menyediakan akuntabilitas melalui minutes of meeting, dan mempublikasikan hasil evaluasi (ringkasan scoring) secara terbuka kepada peserta.
6. Intervensi Politik dan Korupsi
Faktor politik dan korupsi masih menjadi penyakit kronis dalam pengadaan pemerintah di berbagai negara, termasuk Indonesia. Tekanan dari pejabat atau politisi tertentu bisa memaksa panitia untuk menunjuk pemenang lelang berdasarkan kedekatan relasi ketimbang kompetensi. Jika ada dugaan gratifikasi, pengadaan akan diaudit intensif oleh Inspektorat, KPK, atau lembaga anti-korupsi setempat-sering berujung diskualifikasi massal atau pembatalan tender. Di sisi lain, vendor skeptis akan risiko hukum dan reputasi, sehingga menghindar ikut serta. Perbaikan memerlukan budaya integritas yang ditanamkan dari tingkat pimpinan, penerapan e-procurement yang meminimalkan kontak langsung antara panitia dan vendor, serta whistleblower system yang efektif. Dengan sistem pengungkapan rahasia dan perlindungan pelapor, muncul efek jera bagi pelaku korupsi dan kepercayaan vendor meningkat.
7. Ketidakpastian Anggaran dan Perubahan Regulasi
Pengadaan sering dimulai pada akhir tahun anggaran (triwulan IV), ketika instansi pemerintah berupaya membelanjakan sisa dana. Namun apabila terjadi penghematan anggaran-karena subsidi dipangkas atau alokasi prioritas bergeser-anggaran tender bisa tiba-tiba dikurang atau dihapus. Proyek yang sudah dalam tahap lelang pun dibatalkan. Selain itu, perubahan regulasi (misalnya Perpres atau Perka LKPP) di tengah siklus tender bisa memaksa panitia menyesuaikan syarat teknis maupun administratif, sehingga menunda prosedur hingga semua pihak sepakat. Konsekuensinya, vendor yang sudah mempersiapkan dokumen dan biaya pendaftaran harus merogoh kantong lagi ketika tutup tender diperpanjang. Untuk meminimalkan dampak, panitia bisa melakukan pra-konsultasi anggaran dengan satker keuangan, menghindari tender di akhir periode tanpa kepastian alokasi, serta memonitor regulasi terbaru melalui update resmi LKPP dan ministerial circular.
8. Waktu Tender yang Tidak Realistis
Penjadwalan tender yang terlalu singkat menimbulkan kendala utama bagi vendor-mereka tidak punya cukup waktu melakukan riset HPS, menyiapkan dokumen, atau menghitung estimasi harga secara cermat. Beberapa panitia mematok masa pendaftaran hanya 7-10 hari kalender, padahal vendor membutuhkan minimal 14-21 hari untuk melakukan survey lapangan, rapat konsorsium, dan memperoleh tanda tangan. Jika vendor tidak sempat mendaftar, kuorum penawaran tidak tercapai dan lelang batal. Sebaliknya, jika waktu terlalu panjang tanpa komunikasi berkala, vendor bisa lupa tenggat atau salah interpretasi persyaratan. Disarankan agar panitia menetapkan timebox yang realistis-misalnya minimal 21 hari kalender untuk paket sederhana, atau 30 hari untuk paket kompleks-serta menyediakan satu masa klarifikasi (Q&A) di minggu pertama, sehingga dokumen lelang dapat diperbaiki sebelum memasuki fase penawaran.
9. Kapasitas dan Kesiapan Internal Panitia
Keberhasilan sebuah lelang juga tergantung pada kapasitas dan pengalaman panitia pengadaan: tim yang kompeten dalam memahami regulasi, mahir menggunakan platform e-procurement, dan teliti menjalankan prosedur. Di tingkat desa atau unit kerja kecil, panitia sering bersifat ad hoc-anggota tim dipilih tanpa pelatihan, sehingga dokumentasi lelang penuh kesalahan input (upload dokumen rusak, format file tidak sesuai, hingga salah mengunci data). Akhirnya, panitia lupa mem-publish addendum, gagal mengumumkan pemenang tepat waktu, atau kesulitan melakukan klarifikasi teknis. Vendor yang frustrasi cenderung mundur sebelum lelang selesai. Mengatasi masalah ini memerlukan pelatihan rutin bagi panitia, sertifikasi e-procurement, dan pendampingan dari unit layanan pengadaan profesional (ULP) atau Pusat Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PPBJ).
10. Kurangnya Transparansi dan Akuntabilitas
Sistem pengadaan yang transparan memberi jaminan bahwa seluruh proses-dari pra-kualifikasi hingga awarding-dapat diaudit dan dipertanggungjawabkan. Namun, bila situs e-procurement sering mengalami gangguan, dokumen tidak lengkap di-download, atau ada informasi penting yang tidak pernah dipublikasi (misalnya notulen klarifikasi), maka muncul kesan “ada sesuatu yang disembunyikan”. Vendor dan publik kehilangan kepercayaan sehingga partisipasi menurun, sementara kasus gugatan di PTUN membengkak. Untuk menumbuhkan ekosistem yang sehat, setiap tahap lelang harus diunggah dalam platform publik, dengan log aktivitas yang merekam siapa melakukan apa dan kapan. Laporan audit eksternal serta dashboard kinerja pengadaan-menampilkan metrik seperti rata-rata waktu tender, jumlah kegagalan, dan rasio penawaran-juga perlu dipublikasikan agar semua pihak dapat melakukan oversight.
11. Perubahan Mendadak pada Ruang Lingkup Proyek
Dalam beberapa kasus, setelah proses tender dimulai, pemangku kepentingan memutuskan menambah cakupan (scope creep) atau mengubah spesifikasi proyek karena kondisi lapangan yang baru diketahui. Misalnya, proyek renovasi gedung ditambah integrasi smart building IoT tanpa menyesuaikan jadwal maupun HPS. Karena perubahan dianggap substansial, panitia harus menerbitkan addendum atau bahkan membatalkan proses lelang untuk memulai ulang dengan dokumen baru. Vendor yang sudah menyiapkan proposal dan biaya akan merasa dirugikan. Untuk mengatasi risiko ini, penting dilakukan survey lapangan pra-kualifikasi (site visit) wajib, serta perjanjian change control yang ketat: semua perubahan harus disetujui bersama sebelum memasuki fase penawaran.
12. Risiko Keamanan dan Bencana
Faktor eksternal seperti bencana alam (banjir, gempa bumi), kerusuhan sosial, atau gangguan keamanan (terorisme, konflik) dapat memaksa pembatalan lelang. Misalnya, tender pembangunan infrastruktur di wilayah rawan banjir harus dihentikan jika curah hujan ekstrem mengancam keselamatan tim survey. Di daerah konflik, vendor enggan berpartisipasi karena risiko jiwa dan aset. Tidak ada yang salah dengan tindakan preventif ini-keamanan selalu jadi prioritas-namun konsekuensinya proses tender bisa tertunda hingga status wilayah dinyatakan aman. Strategi mitigasi meliputi penjadwalan tender di musim relatif kering, asessment risiko lapangan dalam dokumen RKS, dan komunikasi proaktif kepada vendor mengenai rencana kontinjensi.
13. Fragmentasi Regulasi dan Tumpang Tindih Lembaga
Di tingkat pusat, daerah, dan institusi sektor spesifik (kesehatan, pertahanan), regulasi pengadaan bisa berbeda-beda: Perpres 12/2021, Perka LKPP, Perda Provinsi, hingga Peraturan Menteri Teknis. Vendor yang menargetkan tender multi-institusi harus menyesuaikan dokumen administratif dan teknis sesuai masing-masing aturan. Fragmentasi ini mempersulit persiapan proposal, menambah beban biaya, dan meningkatkan risiko kesalahan. Apabila vendor salah menginterpretasi regulasi-misalnya mencantumkan format biodata penanggung jawab yang tidak diakui-proposal otomatis diskualifikasi. Kerangka hukum yang tumpang tindih juga menyulitkan panitia internal yang harus jongkok mematuhi banyak aturan. Reformasi yang diharapkan mencakup harmonisasi regulasi (one reference regulation), standarisasi dokumen, serta pembentukan portal pusat yang mengintegrasikan semua aturan dalam satu antarmuka.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Kegagalan lelang pengadaan bukan semata-mata kegagalan satu pihak; ia merupakan sinyal peringatan akan hambatan struktural, prosedural, dan budaya yang lebih luas. Dari ketidaklengkapan dokumen administrasi, HPS tidak realistis, rendahnya partisipasi vendor, spesifikasi teknis yang buruk, hingga intervensi politik dan perubahan regulasi, setiap faktor saling terkait dan memerlukan penanganan holistik.
Rekomendasi utama meliputi:
- Standarisasi dan Simplifikasi PersyaratanHarmonisasikan dokumen administratif dan format teknis; terapkan checklist digital sebelum publikasi.
- Data-Driven HPSBangun database harga riil lapangan dan histori tender untuk kalkulasi HPS yang akurat.
- Peningkatan Kapasitas PanitiaLakukan pelatihan rutin, sertifikasi, dan pendampingan e-procurement untuk tim pengadaan.
- Transparansi ProsesTerapkan dashboard publik, log aktivitas, dan audit eksternal yang terjadwal.
- Fleksibilitas dan Risk ContingencySediakan skema pembayaran bertahap, klausa change control, dan jadwal tender yang realistis.
- Penguatan IntegritasE-procurement tanpa kontak langsung, whistleblower protection, serta sanksi tegas bagi pelaku korupsi.
- Harmonisasi RegulasiKonsolidasi aturan di satu portal nasional dengan panduan implementasi yang jelas.
Dengan mengimplementasikan rekomendasi tersebut, organisasi dapat menurunkan angka kegagalan lelang secara signifikan, mempercepat realisasi proyek, dan menjaga kepercayaan stakeholder. Vendor pun akan lebih bersemangat berpartisipasi, melihat sistem pengadaan sebagai ekosistem yang adil, transparan, dan efisien. Pada akhirnya, perbaikan bersama antara regulator, panitia, dan vendor adalah kunci untuk menciptakan proses pengadaan yang handal, berkelanjutan, dan memberikan nilai optimal bagi publik maupun pemangku kepentingan korporasi.