Pendahuluan
Dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah, pelaksanaan proyek tepat waktu bukan sekadar harapan, melainkan suatu kewajiban kontraktual yang melekat pada setiap penyedia. Keterlambatan pekerjaan bukan hanya soal teknis, tetapi berdampak besar pada reputasi, keuangan negara, dan pelayanan publik. Dalam konteks proyek infrastruktur, misalnya, keterlambatan pembangunan jalan atau jembatan dapat mengganggu mobilitas masyarakat, memperlambat aktivitas ekonomi, bahkan berujung pada pemborosan anggaran jika diperpanjang tanpa justifikasi yang sah. Oleh karena itu, pemerintah menetapkan aturan sanksi terhadap keterlambatan dengan tujuan untuk menjaga integritas sistem pengadaan serta memastikan bahwa kontraktor benar-benar serius dalam pelaksanaan proyek. Artikel ini akan mengulas secara sistematis kapan dan bagaimana sanksi keterlambatan pekerjaan diterapkan, dengan dasar hukum yang jelas, contoh praktik di lapangan, serta strategi pencegahan yang relevan.
Landasan Hukum Pemberian Sanksi
Sanksi atas keterlambatan pekerjaan dalam lingkup pengadaan barang/jasa pemerintah memiliki dasar hukum yang kuat dan bersifat mengikat. Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, yang telah beberapa kali mengalami perubahan, merupakan pijakan utama yang mengatur proses, etika, serta disiplin dalam pengadaan. Di dalamnya, disebutkan bahwa penyedia berkewajiban menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan ketentuan waktu dalam kontrak. Kegagalan untuk melaksanakan kewajiban tersebut membuka jalan bagi instansi untuk memberikan sanksi. Tak hanya itu, Peraturan LKPP Nomor 9 Tahun 2021 tentang Penilaian Kinerja Penyedia juga menjelaskan indikator-indikator kinerja, salah satunya ketepatan waktu penyelesaian pekerjaan. Jika penyedia terbukti tidak mampu memenuhi jadwal kontraktual tanpa alasan yang dibenarkan, maka hal itu menjadi dasar objektif untuk menjatuhkan sanksi. Dengan sistem hukum ini, negara berusaha menciptakan pengadaan yang profesional, efisien, dan bertanggung jawab.
Jenis-Jenis Sanksi Keterlambatan
Sanksi yang diberikan atas keterlambatan pekerjaan bersifat bertingkat, tergantung dari tingkat keparahan dan frekuensi pelanggaran. Sanksi tidak serta-merta diberikan secara mutlak, melainkan melalui mekanisme penilaian kinerja dan dokumentasi yang objektif.
1. Denda Keterlambatan (Liquidated Damages)
Sanksi ini paling umum dan biasanya langsung tercantum dalam dokumen kontrak. Nilai denda dihitung berdasarkan persentase tertentu dari nilai kontrak, dikalikan jumlah hari keterlambatan. Misalnya, jika nilai kontrak sebesar Rp2 miliar dan denda ditetapkan 0,1% per hari, maka setiap hari keterlambatan akan dikenai denda Rp2 juta. Denda ini bisa mencapai maksimal 5% hingga 10% dari total kontrak, tergantung perjanjian. Denda ini tidak dimaksudkan sebagai hukuman, melainkan sebagai pengganti kerugian (kompensasi) atas kerugian waktu dan manfaat yang tidak dapat dinikmati akibat keterlambatan.
2. Pemutusan Kontrak Secara Sepihak
Jika keterlambatan bersifat kritis, misalnya pekerjaan baru mencapai 40% padahal waktu tersisa hanya 10% dari durasi kontrak, maka pemberi kerja dapat melakukan pemutusan kontrak. Ini biasanya disertai dengan blacklist dan jaminan pelaksanaan yang dicairkan. Pemutusan kontrak juga bisa terjadi bila penyedia tidak menunjukkan komitmen untuk memperbaiki progres, meskipun telah diberi kesempatan melalui surat teguran berulang kali. Hal ini dilakukan untuk mencegah kerugian lebih besar pada negara.
3. Penundaan Pembayaran atau Potongan Termin
Sanksi juga dapat berupa penahanan termin pembayaran, terutama jika progres tidak sesuai dengan laporan. Dalam praktiknya, termin bisa ditunda hingga penyedia menyelesaikan backlog pekerjaan. Bahkan, potongan denda bisa langsung diambil dari termin terakhir jika denda tidak bisa dilunasi secara langsung.
4. Blacklist dan Pembekuan Akun di Sistem Pengadaan
Untuk pelanggaran berulang atau keterlambatan yang menyebabkan proyek gagal, penyedia bisa dibekukan dari sistem e-purchasing (SPSE) dan LPSE. Status blacklist ini berlaku nasional dan dicatat dalam database LKPP, sehingga penyedia tidak bisa mengikuti lelang di instansi manapun selama masa sanksi berlaku. Ini adalah sanksi yang paling berat dari sisi reputasi dan kelangsungan usaha penyedia.
5. Peringatan dan Evaluasi Kinerja Negatif
Meskipun bukan sanksi langsung, pencatatan evaluasi kinerja buruk dalam sistem SPSE akan berdampak jangka panjang. Penyedia yang nilainya di bawah standar akan kesulitan memenangkan tender berikutnya, karena sistem pengadaan menggunakan algoritma yang mempertimbangkan rekam jejak kinerja.
Kapan Sanksi Diberikan? (Kriteria dan Pemicu)
Pemberian sanksi tidak serta-merta terjadi begitu batas waktu pekerjaan lewat. Ada tahapan dan pertimbangan objektif yang harus dilalui. Ini mencerminkan bahwa sistem pengadaan pemerintah menjunjung prinsip keadilan dan profesionalisme.Pertama, keterlambatan harus terlebih dahulu dihitung secara tepat. Perhitungan dimulai dari tanggal akhir kontrak hingga tanggal aktual penyelesaian. Namun, tidak semua keterlambatan dianggap wanprestasi. Jika keterlambatan terjadi karena force majeure-seperti bencana alam, perubahan kebijakan, atau kondisi sosial-politik yang tidak terduga-maka penyedia dapat mengajukan permohonan perpanjangan waktu (adendum kontrak). Bila permohonan ini disetujui, maka sanksi tidak diberlakukan.
Namun, jika keterlambatan terjadi karena alasan internal penyedia-seperti manajemen proyek yang buruk, kelalaian dalam pengadaan material, keterlambatan subkontraktor, atau ketidaksiapan sumber daya manusia-maka penyedia dinyatakan lalai. Dalam kasus seperti ini, sanksi denda atau teguran bisa langsung diterapkan. Biasanya, surat teguran diberikan dalam tiga tahap (Teguran I, II, dan III), sebelum akhirnya dilakukan pemutusan kontrak atau pemberlakuan denda.
Evaluasi juga memperhatikan apakah keterlambatan berdampak sistemik terhadap output proyek. Misalnya, dalam pembangunan RSUD, keterlambatan instalasi oksigen bisa berdampak lebih besar dibanding keterlambatan pengecatan tembok. Oleh karena itu, karakteristik pekerjaan juga menjadi pertimbangan penting.
Prosedur dan Mekanisme Penerapan Sanksi
Proses pemberian sanksi harus sesuai prosedur agar tidak menimbulkan gugatan hukum dari penyedia. Berikut adalah tahapan formal yang lazim diterapkan:
1. Pencatatan Deviasi Jadwal
Setiap proyek memiliki baseline schedule atau jadwal dasar. Penyedia diwajibkan melaporkan progres secara mingguan atau bulanan. Bila ada deviasi signifikan (biasanya lebih dari 10% keterlambatan), maka Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) mulai menyusun catatan evaluasi.
2. Peringatan Tertulis
Surat teguran resmi dikirimkan untuk meminta klarifikasi dan rencana perbaikan dari penyedia. Bila tidak ada respons dalam waktu yang ditentukan (biasanya 3-7 hari kerja), maka surat teguran kedua dikirimkan. Bila setelah tiga teguran penyedia tetap gagal memperbaiki progres, maka sanksi mulai diberlakukan.
3. Rapat Tim Pengendali Kontrak
Instansi biasanya membentuk tim pengendali atau komite teknis yang bertugas menilai kelayakan pemberian sanksi. Rapat ini menelaah laporan lapangan, progres fisik dan keuangan, serta rekomendasi pengawas lapangan.
4. Surat Keputusan Sanksi
Berdasarkan hasil rapat, diterbitkan Surat Keputusan PPK atau PA/KPA tentang pemberian sanksi. Surat ini bersifat legal dan menjadi dasar pemotongan denda dari pembayaran berikutnya atau jaminan pelaksanaan.
5. Pelaksanaan Sanksi dan Monitoring
Denda dipotong otomatis dari pembayaran termin. Bila sudah tidak ada pembayaran, maka jaminan pelaksanaan akan dicairkan. PPK juga melaporkan status penalti ke LPSE untuk keperluan pencatatan rekam jejak penyedia.
Dampak Sanksi bagi Penyedia dan Instansi
Sanksi memang bertujuan untuk menjaga disiplin dan akuntabilitas. Namun, dalam praktiknya, pemberian sanksi memiliki dampak luas.Bagi penyedia, denda yang besar bisa mengganggu arus kas proyek, apalagi jika keterlambatan terjadi di akhir proyek. Ini berpotensi membuat penyedia kesulitan membayar upah pekerja atau subkontraktor. Reputasi buruk juga menghambat peluang memenangkan proyek lain. Tidak sedikit penyedia yang akhirnya memilih tidak ikut tender pemerintah lagi setelah mengalami denda besar.
Bagi instansi pemerintah, keterlambatan bisa berdampak pada serapan anggaran. Bila proyek tidak selesai tepat waktu, maka belanja modal tidak bisa direalisasikan, dan bisa membuat instansi mendapat nilai buruk dari BPK atau Kementerian Keuangan. Selain itu, keterlambatan proyek strategis juga bisa memicu keluhan publik dan tekanan politik, terutama jika berkaitan dengan pelayanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan.
Studi Kasus Lapangan
Di tahun 2022, salah satu proyek pembangunan jembatan di Kalimantan mengalami keterlambatan hingga 60 hari. Penyedia berdalih bahwa pasokan baja tersendat akibat pandemi. Namun, setelah investigasi tim teknis, diketahui bahwa penyedia terlambat memesan material sejak awal karena kekeliruan estimasi waktu. Instansi akhirnya menjatuhkan denda sebesar 5% dari nilai kontrak. Selain itu, penyedia juga dicatat sebagai berkinerja kurang baik di SPSE, sehingga kalah bersaing di tender tahun berikutnya.
Di sisi lain, sebuah penyedia di Papua berhasil membalikkan keadaan dengan mengajukan permohonan perpanjangan waktu setelah banjir merendam lokasi proyek. Permohonan diterima dengan bukti valid, sehingga keterlambatan 20 hari tidak dihitung sebagai wanprestasi. Ini menunjukkan pentingnya dokumentasi dan komunikasi yang proaktif.
Penutup: Pentingnya Ketepatan Waktu dan Profesionalisme
Sanksi atas keterlambatan pekerjaan bukan semata-mata bentuk hukuman, melainkan bagian dari sistem tata kelola proyek yang sehat dan profesional. Regulasi pengadaan telah memberikan ruang yang adil untuk mengevaluasi keterlambatan, mengidentifikasi penyebabnya, serta menjatuhkan sanksi secara proporsional dan objektif. Di sisi lain, penyedia juga harus membekali diri dengan kemampuan manajerial, administratif, serta komunikasi yang baik agar mampu menyelesaikan pekerjaan tepat waktu.
Dengan memahami kapan dan bagaimana sanksi keterlambatan diberikan, semua pihak dalam rantai pengadaan-baik penyedia, pengguna, maupun pengawas-dapat menjalankan perannya secara lebih efektif. Pada akhirnya, proyek pengadaan yang berhasil bukan hanya yang selesai secara fisik, tetapi yang memenuhi semua aspek kontrak: tepat mutu, tepat biaya, dan yang tak kalah penting, tepat waktu.