Perpres 46/2025 Ubah Cara Kerja Semua Pelaku Pengadaan

Pendahuluan

Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 46 Tahun 2025 merupakan tonggak perubahan menyeluruh dalam sistem pengadaan barang/jasa (PBJ) pemerintah. Dibandingkan regulasi sebelumnya, Perpres 46/2025 tidak hanya merevisi sebagian aspek teknis, tetapi juga merombak cara kerja semua pemangku kepentingan-mulai dari Pengguna Anggaran (PA) dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Pokja Pemilihan, hingga pelaku usaha, khususnya UMKM. Pada tingkat implementasi, perubahan ini menuntut adaptasi kompetensi, prosedur, dan infrastruktur digital di seluruh tingkatan pemerintahan. Artikel ini akan membahas secara sistematis bagaimana Perpres 46/2025 memengaruhi cara kerja semua pelaku pengadaan, dengan struktur yang mudah dipahami bagi pembaca awam.

1. Latar Belakang Perubahan Perpres 46/2025

Perubahan regulasi PBJ kerap dilakukan untuk menjawab dinamika kebutuhan publik, perkembangan teknologi, dan upaya pemberdayaan ekonomi lokal. Sebelum hadirnya Perpres 46/2025, beberapa regulasi-seperti Perpres 16/2018 dan Perpres 12/2021-sudah memperkenalkan e‑Purchasing, e‑Catalog, dan sertifikasi bagi PPK. Namun, masih terdapat kendala:

  • Prosedur yang Panjang: Proses lelang terbuka seringkali memakan waktu lama, sedangkan kebutuhan penanganan darurat atau program prioritas memerlukan percepatan.
  • Keterbatasan Partisipasi UMKM: Aturan alokasi anggaran bagi produk dalam negeri dan UMKM belum memadai, sehingga kontribusi UMKM dalam pengadaan pemerintah masih di bawah harapan.
  • Implementasi Digital yang Belum Merata: Infrastruktur TI di banyak daerah belum siap, sehingga aplikasi e‑Pengadaan belum dioptimalkan.Dengan latar itulah, Perpres 46/2025 hadir untuk mengubah secara fundamental cara kerja semua pelaku pengadaan-mulai peran, kewenangan, hingga mekanisme digital-agar lebih cepat, transparan, dan memberdayakan ekonomi lokal.

2. Ruang Lingkup Perubahan Utama

Perpres 46/2025 mencakup beberapa ruang lingkup perubahan, di antaranya:

  1. Digitalisasi Total Proses Pengadaan
    • Penggunaan e‑Catalog, e‑Purchasing, dan e‑Kontrak diwajibkan untuk semua tahapan pengadaan, kecuali beberapa kondisi tertentu (misalnya kekosongan hukum atau keadaan darurat).
    • Aplikasi e‑Pengadaan menjadi satu pintu (single‑portal) dengan integrasi data, mulai dari perencanaan anggaran (Procurement Planning), pemilihan penyedia, hingga manajemen kontrak.
  2. Peran dan Kewenangan Pemangku Kebijakan
    • PPK wajib memiliki sertifikasi kompetensi; PA/KPA mendapatkan kewenangan baru, seperti penunjukan langsung untuk program prioritas dan penyesuaian metode kontrak saat keadaan darurat.
    • Pokja Pemilihan berperan aktif dalam proses mini‑kompetisi untuk e‑Purchasing non‑pembelian langsung, mengubah cara kerja tender kecil.
  3. Penguatan Preferensi Produk Dalam Negeri dan UMKM
    • Alokasi minimal 40% anggaran untuk barang/jasa lokal; pemberian preferensi harga hingga 25% bagi penyedia dengan TKDN ≥ 25%.
    • Uang muka minimal 50% bagi UMKM di kontrak di bawah Rp 200 juta, untuk membantu keterjangkauan modal kerja.
  4. Sanksi Lebih Tegas dan Mekanisme Pengawasan Digital
    • Indeks Kepatuhan PDN menjadi parameter evaluasi kinerja instansi; sanksi administratif dan disipliner diperketat bagi PPK, PA/KPA, atau Pokja yang melanggar.
    • Pengaduan masyarakat ditangani secara administratif dengan rekam jejak digital, sehingga proses penyelesaian lebih cepat dan terbuka.

Semua perubahan ini bermuara pada satu tujuan: menciptakan ekosistem pengadaan yang cepat, tertib, dan berdaya saing, tetapi dengan tantangan besar dalam hal adaptasi.

3. Digitalisasi Proses Pengadaan: E‑Catalog, E‑Purchasing, dan E‑Kontrak

Salah satu perubahan paling kasat mata di Perpres 46/2025 adalah mewajibkan penggunaan sistem elektronik di semua tahapan pengadaan:

  1. E‑Catalog (Katalog Elektronik)
    • Daftar produk dan harga dari penyedia terverifikasi diunggah oleh LKPP. PA/PPK tidak boleh membeli barang apabila tersedia di e‑Catalog, kecuali ada alasan rasional yang dapat dipertanggungjawabkan.
    • Harga di e‑Catalog bersifat batas atas; PPK dapat mencari harga lebih murah melalui mekanisme e‑Purchasing jika penyedia sudah terdaftar di e‑Catalog.
  2. E‑Purchasing (Pengadaan Elektronik)
    • Pembelian langsung hingga Rp 200 juta (untuk barang/jasa non‑konstruksi) atau Rp 400 juta (untuk konstruksi) dapat dilakukan melalui e‑Purchasing.
    • Pada e‑Purchasing non‑pembelian langsung, minimal tiga penyedia akan “bertarung” harga dalam ruang virtual (mini‑kompetisi), sehingga tetap ada persaingan terbuka meski nilai di bawah batas lelang.
  3. E‑Kontrak (Kontrak Elektronik)
    • Setelah PPK menandatangani kontrak digital, seluruh dokumen harus diunggah ke aplikasi e‑Kontrak. Sistem mencatat setiap perubahan, pembayaran, dan progres pekerjaan secara real time.
    • Bukti pengiriman, serah terima, dan laporan kinerja penyedia juga diunggah di platform yang sama, membentuk jejak audit digital (audit trail).

Dengan digitalisasi total, diharapkan proses pengadaan menjadi lebih cepat, jejak audit lebih transparan, dan risiko manipulasi dokumen manual berkurang drastis. Namun, keberhasilan implementasi tergantung kesiapan TI dan literasi digital seluruh pelaku pengadaan.

4. Transformasi Peran Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)

Perpres 46/2025 menempatkan PPK sebagai garda terdepan dalam implementasi e‑Pengadaan. Berikut perubahan utama peran PPK:

  1. Wajib Memiliki Sertifikasi Kompetensi PBJ
    • Sebelum menandatangani kontrak, PPK harus memiliki sertifikat kompetensi sesuai tipologi pekerjaan (konstruksi, barang, jasa konsultansi, dll.). Hal ini memastikan PPK memahami aspek teknis dan regulasi dalam PBJ.
    • Masa transisi diberikan agar PPK lama dapat menuntaskan proses sertifikasi tanpa mengganggu kegiatan pengadaan yang sedang berjalan.
  2. Mengelola Sistem Elektronik secara Langsung
    • PPK bertanggung jawab membuat Rencana Umum Pengadaan (RUP) dalam sistem e‑Pengadaan, memilih metode yang sesuai, memperoleh persetujuan PA/KPA, serta memastikan pelaksanaan kontrak tercatat dalam e‑Kontrak.
    • PPK juga harus memantau progres pekerjaan dan pembayaran melalui dashboard elektronik, termasuk menindaklanjuti peringatan toleransi waktu (time limit) pada setiap tahap.
  3. Melakukan Penilaian Kinerja Penyedia
    • Setelah pekerjaan selesai, PPK wajib memasukkan penilaian kinerja penyedia ke dalam sistem. Nilai ini menjadi salah satu bahan evaluasi bagi penyedia saat ikut tender selanjutnya.
    • Aspek yang dinilai antara lain kualitas pekerjaan, ketepatan waktu, dan kepatuhan kontrak.

Dengan kewajiban baru tersebut, PPK harus meningkatkan kapasitas melalui pelatihan digital dan manajemen kontrak. Kesalahan input data atau kelalaian dalam pemantauan progres dapat berujung pada sanksi administratif atau kerugian anggaran.

5. Kebijakan dan Kewenangan PA/KPA dalam Era Digital

Peran PA dan KPA juga mengalami perubahan signifikan:

  1. Penetapan Penunjukan Langsung untuk Program Prioritas
    • PA dapat langsung menunjuk penyedia untuk program prioritas nasional atau arahan Presiden, tanpa harus melalui lelang terbuka. Namun, pertimbangan rasional dan urgensi harus jelas-dokumen penunjukan langsung wajib diunggah di e‑Pengadaan.
    • KPA, sebagai wakil PA, dapat menyesuaikan metode kontrak jika kondisi lapangan memerlukan fleksibilitas (misalnya keadaan darurat atau kekosongan hukum).
  2. Koordinasi dan Persetujuan Digital
    • PA/KPA memberi persetujuan anggaran secara elektronik; jika terdapat revisi nilai kontrak, persetujuan tambahan juga dilakukan melalui aplikasi, lengkap dengan jejak persetujuan pejabat terkait.
    • Kebijakan baru memungkinkan PA/KPA untuk merangkap sebagai PPK jika telah memiliki sertifikasi dan kompetensi PBJ. Hal ini mempercepat proses karena tidak perlu menunggu penunjukan PPK baru.
  3. Akuntabilitas dan Pengawasan Internal
    • PA/KPA harus memonitor Indeks Kepatuhan Produk Dalam Negeri (PDN) instansi mereka melalui dashboard nasional, memastikan minimal 40% anggaran dialokasikan untuk produk/penyedia lokal.
    • Sanksi akan dikenakan jika terjadi pelanggaran: peringatan tertulis, sanksi administratif, hingga sanksi disipliner bagi pejabat yang keliru menggunakan kewenangan.

Dengan kewenangan berbasis digital, PA/KPA harus lebih aktif memantau dashboard real‑time, memastikan seluruh proses berjalan sesuai aturan, dan melakukan evaluasi berkala tanpa perlu melihat dokumen fisik.

6. Peran Pokja Pemilihan dalam Mini‑Kompetisi dan E‑Purchasing

Kelompok Kerja Pemilihan (Pokja Pemilihan) tidak lagi hanya memfasilitasi lelang besar; kini, mereka juga terlibat dalam mekanisme e‑Purchasing:

  1. E‑Purchasing Non‑Pembelian Langsung
    • Nilai pengadaan di bawah Rp 200 juta (non‑konstruksi) atau Rp 400 juta (konstruksi) wajib dilakukan mini‑kompetisi digital. Pokja mengundang minimal tiga penyedia terdaftar untuk bersaing harga melalui e‑Purchasing.
    • Proses ini mempersingkat waktu pemilihan karena seluruh komunikasi, dokumen penawaran, dan evaluasi dilakukan secara elektronik.
  2. Pengawasan Proses Penawaran
    • Pokja harus memantau secara real time setiap penawaran masuk, memastikan fair play (tidak ada kolusi), dan mencatat waktu penawaran untuk audit trail. Sistem e‑Purchasing menolak penawaran yang tiba setelah batas waktu yang diset.
    • Setelah penawaran ditutup, Pokja wajib membuat berita acara hasil penetapan pemenang langsung di aplikasi, sehingga dokumen fisik hanya digunakan untuk cadangan.

Dengan pola ini, Pokja Pemilihan menjadi ujung tombak efisiensi untuk pengadaan kecil, meminimalkan kontak tatap muka, dan menjaga transparansi. Namun, sumber daya manusia di Pokja juga harus memiliki literasi digital yang baik agar tidak terjadi kesalahan teknis.

7. Pelaku Usaha dan UMKM: Tantangan dan Peluang Baru

Perubahan cara kerja bagi pelaku usaha, khususnya UMKM, sangat mencolok:

  1. Verifikasi dan Pendaftaran di Platform Digital
    • Semua penyedia, baik besar maupun kecil, wajib terdaftar di e‑Catalog atau sistem e‑Pengadaan lainnya. Bagi UMKM, ini berarti harus memahami proses pendaftaran digital, mengunggah dokumen legalitas, dan memelihara data profil secara berkala.
    • Apabila ingin mendapat prioritas, UMKM harus memastikan produk mereka memiliki TKDN ≥ 25% dan memenuhi sertifikasi green product, sehingga memperoleh preferensi harga hingga 25% pada pengadaan di atas Rp 1 miliar.
  2. Pembayaran Uang Muka dan Manajemen Arus Kas
    • UMKM yang memenangkan kontrak di bawah Rp 200 juta akan mendapatkan uang muka 50% saat penandatanganan kontrak. Meski ini meringankan beban modal kerja, UMKM harus disiplin memenuhi milestone agar tidak terjadi potongan atau penundaan sisa pembayaran.
    • Penyaluran uang muka juga dilakukan melalui sistem elektronik, sehingga UMKM perlu memahami cara rekonsiliasi bukti elektronik dan menjaga kecepatan pelaporan progres.
  3. Partisipasi dalam Mini‑Kompetisi
    • Untuk pengadaan kecil, UMKM bersaing melalui e‑Purchasing. Jika UMKM belum terbiasa bersaing secara harga di platform digital, mereka perlu mempelajari cara menghitung harga penawaran yang tepat, memperhitungkan kualitas, biaya logistik, dan margin keuntungan.

Dengan sistem ini, UMKM mendapatkan peluang lebih besar sebagai penyedia barang/jasa pemerintah, asalkan mereka siap beradaptasi dengan sistem digital dan memenuhi standar teknis yang ditentukan.

8. Pengawasan, Sanksi, dan Akuntabilitas Digital

Perpres 46/2025 menekankan pentingnya pengawasan digital untuk menjaga integritas pengadaan:

  1. Jejak Audit Elektronik (Audit Trail)
    • Setiap langkah-dari input RUP, penawaran, persetujuan, hingga kontrak elektronik-tercatat otomatis di sistem. Jika ada sengketa atau audit, regulator dapat menelusuri rekam jejak digital tanpa harus meminta dokumen fisik.
  2. Indeks Kepatuhan dan Pelaporan Publik
    • LKPP akan merilis Indeks Kepatuhan PDN secara berkala, yang memuat performa setiap instansi dalam memenuhi alokasi produk dalam negeri. Data ini bersifat publik, sehingga memacu instansi untuk meningkatkan kinerjanya.
  3. Sanksi Administratif dan Disipliner
    • Pelanggaran terhadap ketentuan digital-misalnya mengunggah dokumen palsu, tidak memenuhi kuota UMKM, atau menggunakan mekanisme penunjukan langsung tanpa dasar urgensi-akan dikenakan sanksi administratif berupa pemotongan anggaran, peringatan tertulis, hingga sanksi disipliner bagi pejabat terkait.
  4. Pengaduan Masyarakat dan Layanan Pengaduan Digital
    • Masyarakat dapat melaporkan dugaan manipulasi pengadaan melalui kanal online LKPP atau Layanan Pengaduan PBJ. Laporan ini akan ditindaklanjuti secara administratif sebelum dibawa ke ranah peradilan.

Dengan pengawasan yang bersifat real time dan transparan, diharapkan potensi kecurangan dan korupsi dapat ditekan, serta akuntabilitas semua pihak meningkat. Namun, mekanisme ini hanya efektif jika semua pelaku benar‑benar memanfaatkan fitur sistem sesuai prosedur.

9. Tantangan Implementasi di Lapangan

Meskipun terlihat ideal, penerapan Perpres 46/2025 di lapangan memiliki sejumlah tantangan:

  1. Kesenjangan Literasi Digital di Daerah
    • Banyak unit kerja, terutama di daerah terpencil, masih kesulitan menggunakan aplikasi e‑Pengadaan akibat keterbatasan akses internet dan kurangnya pelatihan. Hal ini menyebabkan PPK atau Pokja harus mengalokasikan waktu ekstra untuk mengikuti pelatihan dan mengunduh dokumen secara manual sebagai alternatif.
  2. Resistensi Terhadap Budaya Baru
    • Praktik “biasa” pada sistem manual-seperti pertemuan tatap muka dalam pemilihan penyedia-sekarang digantikan oleh interaksi digital. Beberapa pelaku merasa canggung atau takut melakukan kesalahan teknis sehingga enggan beradaptasi.
  3. Validitas Data Penyedia
    • Banyak penyedia, khususnya UMKM, belum memiliki dokumen TKDN atau sertifikasi green product. Mengumpulkan dan memverifikasi dokumen tersebut menjadi proses panjang yang berpotensi menghambat pendaftaran di e‑Catalog.
  4. Keterbatasan Infrastruktur TI dan Anggaran Pendukung
    • Pengadaan aplikasi lokal untuk pengawasan dan pelaporan digital memerlukan pendanaan khusus. Bila anggaran TI tidak mencukupi, unit kerja tidak bisa meng-upgrade server, jaringan, atau perangkat keras sehingga sistem sering mengalami gangguan saat beban akses tinggi.

Untuk mengatasi tantangan ini, setiap level-dari pusat hingga daerah-harus memperkuat koordinasi, mempercepat pelatihan, dan menyediakan dukungan teknis. Tanpa langkah proaktif, niat baik Perpres 46/2025 hanya akan menjadi tumpukan dokumen tanpa implementasi.

10. Strategi Adaptasi Semua Pelaku Pengadaan

Supaya semua pemangku kepentingan dapat menjalankan Perpres 46/2025 dengan lancar, berikut beberapa strategi utama:

  1. Pelatihan dan Sertifikasi Berjenjang
    • Pusat (LKPP) perlu memperluas cakupan pelatihan online dan tatap muka untuk PPK, PA/KPA, dan Pokja, termasuk modul literasi digital dasar.
    • Fasilitasi UMKM dengan program sertifikasi TKDN dan pendampingan digital marketing untuk membantu mereka memenuhi persyaratan e‑Catalog.
  2. Peningkatan Infrastruktur TI di Daerah
    • Instansi pusat dapat menyediakan bantuan berupa sarana hotspot portabel atau subsidi internet untuk unit kerja di wilayah blankspot.
    • Dorong kerjasama dengan perguruan tinggi dan swasta untuk menyelenggarakan program peningkatan kapasitas TI bagi aparatur.
  3. Penyusunan SOP dan Panduan Praktis
    • Setiap unit kerja wajib memiliki SOP digital lengkap: cara membuat RUP, pelaksanaan e‑Purchasing, penggunaan e‑Kontrak, hingga prosedur pengaduan masyarakat. SOP harus disesuaikan dengan skala dan karakteristik instansi (pusat, provinsi, kabupaten, desa).
    • Buat juga panduan video singkat (tutorial) yang mengilustrasikan alur sistem dengan bahasa sederhana agar mudah diikuti.
  4. Audit Internal dan Evaluasi Berkala
    • Bentuk satuan tugas audit internal di setiap instansi untuk memantau kepatuhan digital dan pendokumentasian PBJ. Laporan audit harus dibuat minimal sebulan sekali.
    • Hasil evaluasi dijadikan bahan masukan untuk penyempurnaan SOP dan pelatihan selanjutnya.
  5. Kolaborasi antar-Pemangku Kepentingan
    • PA/KPA, PPK, dan Pokja harus melakukan rapat koordinasi rutin; sedangkan instansi teknis (seperti Bappeda, Dinas Koperasi, dan Dinas Perindustrian) melibatkan UMKM untuk menyiapkan data kompetensi produk lokal.
    • Koordinasi antar‑instansi wilayah dapat memfasilitasi pemenuhan kebutuhan penyedia dalam jumlah besar, misalnya kelompok UMKM di beberapa kabupaten bersatu membentuk konsorsium untuk mengikuti tender.

Dengan strategi di atas, setiap aktor dalam rantai pengadaan diharapkan mampu beradaptasi dan menjalankan Perpres 46/2025 secara konsisten, sehingga tujuan utama percepatan, transparansi, dan pemberdayaan ekonomi lokal tercapai.

Kesimpulan

Perpres 46/2025 bukan sekadar perubahan peraturan administratif, tetapi merupakan revolusi cara kerja seluruh pelaku pengadaan barang/jasa pemerintah di Indonesia. Digitalisasi total memaksa PPK, PA/KPA, Pokja, dan pelaku usaha-termasuk UMKM-untuk menguasai teknologi, memperkuat sertifikasi dan kompetensi, serta menjalankan proses pengadaan secara transparan dan akuntabel.

Meskipun banyak tantangan, mulai dari literasi digital yang belum merata hingga infrastruktur TI yang terbatas, langkah adaptasi yang terencana-meliputi pelatihan, peningkatan infrastruktur, penyusunan SOP, dan audit internal-dapat meminimalkan kendala tersebut. Dengan demikian, Perpres 46/2025 membuka peluang bagi terciptanya ekosistem pengadaan yang lebih cepat, efisien, dan memberdayakan ekonomi lokal.

Kini, setiap pelaku pengadaan dituntut untuk tidak hanya memahami peraturan, tetapi juga mempersiapkan diri secara proaktif menghadapi era baru pengadaan publik. Adakah Anda sudah siap menjalankan peran di era digital ini?