Pengadaan dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs)

I. Pendahuluan

Transformasi paradigma pengadaan barang dan jasa publik tak lagi sebatas “membeli dengan harga termurah dan spesifikasi teknis minimal”. Dalam beberapa tahun terakhir, misi global untuk mencapai Sustainable Development Goals (SDGs) – 17 tujuan pembangunan berkelanjutan yang dicanangkan PBB pada 2015 dan berlaku hingga 2030 – memaksa pemerintah serta sektor swasta memikirkan kembali peran pengadaan sebagai instrumen strategis. Melalui kebijakan sustainable procurement, setiap rupiah yang dibelanjakan tidak hanya memenuhi kebutuhan operasional, melainkan juga berkontribusi pada pengurangan kemiskinan, pengelolaan sumber daya alam, dan inklusi sosial. Artikel ini akan menguraikan hubungan mendasar antara proses pengadaan dan pencapaian SDGs, mengeksplorasi kerangka kebijakan, praktik terbaik, serta tantangan dan rekomendasi untuk membuat pengadaan menjadi motor percepatan pembangunan berkelanjutan.

II. Latar Belakang SDGs dan Relevansinya dengan Pengadaan

Pada September 2015, 193 Kepala Negara anggota PBB menyepakati 17 tujuan SDGs sebagai cetak biru pembangunan global pasca-2015. SDGs mencakup isu mulai dari pengentasan kemiskinan (Tujuan 1), kelaparan (Tujuan 2), hingga aksi iklim (Tujuan 13), kesetaraan gender (Tujuan 5), dan kemitraan global (Tujuan 17). Keberhasilan SDGs sangat bergantung pada partisipasi pemerintah dalam mengalokasikan anggaran publik untuk inisiatif yang sejalan dengan tujuan tersebut.

Pengadaan publik – yang secara global mencapai lebih dari 12 triliun USD per tahun – menjadi instrumen kebijakan paling masif untuk menyalurkan permintaan produk dan jasa. Saat pemerintah mensyaratkan kriteria sosial dan lingkungan dalam tender, maka pasar akan merespons dengan menyesuaikan produksi dan inovasi. Misalnya, permintaan akan produk ramah lingkungan mendorong industri lokal bertransformasi ke ‘green manufacturing’. Oleh karena itu, pengadaan tidak lagi netral dari sisi pembangunan; ia bisa menjadi akselerator SDGs jika dirancang dengan prinsip keberlanjutan.

III. Kerangka Kebijakan Sustainable Procurement

1. Definisi dan Prinsip

Sustainable procurement atau pengadaan berkelanjutan tidak lagi dipandang sebagai pendekatan opsional atau tambahan pelengkap dalam proses belanja publik. Sebaliknya, ia merupakan transformasi paradigma yang menyatukan pertimbangan ekonomi, sosial, dan lingkungan sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Definisi ini mengacu pada pemikiran bahwa setiap keputusan pengadaan memiliki konsekuensi jangka panjang terhadap keseimbangan ekologis, struktur sosial, dan kesinambungan fiskal negara.

Prinsip utama pengadaan berkelanjutan meliputi:

  • Value for Money and Sustainability
    Dalam konteks tradisional, value for money dipahami sebagai keseimbangan antara harga, kualitas, dan waktu. Namun, dalam kerangka berkelanjutan, nilai tersebut harus diperluas untuk mencakup seluruh biaya siklus hidup produk (Total Cost of Ownership, TCO), termasuk energi yang dikonsumsi selama penggunaan, biaya pemeliharaan jangka panjang, dan pengelolaan limbah pasca-penggunaan. Sebagai contoh, membeli AC hemat energi mungkin lebih mahal pada awalnya, tetapi menghemat tagihan listrik selama bertahun-tahun.
  • Transparansi dan Akuntabilitas Lingkungan
    Pengadaan berkelanjutan tidak hanya menekankan proses yang terbuka, tetapi juga mensyaratkan pelaporan terhadap dampak sosial dan ekologis dari barang atau jasa yang diadakan. Laporan ini bisa berupa publikasi tahunan dampak lingkungan dari pengadaan (carbon impact report), sertifikat keberlanjutan penyedia, atau pelaporan berbasis SDGs pada dashboard publik.
  • Inklusi Sosial dan Pemberdayaan Lokal
    Pengadaan harus menjangkau lebih dari sekadar efisiensi birokrasi. Ia harus menjadi alat pemberdayaan ekonomi lokal, membuka peluang bagi kelompok marginal seperti penyedia dari daerah 3T (terdepan, terpencil, tertinggal), usaha mikro yang dikelola oleh perempuan, koperasi petani organik, hingga komunitas disabilitas. Bentuk afirmasi ini mencerminkan prinsip “no one left behind” dalam SDGs.
  • Kepatuhan dan Kepemimpinan Lingkungan
    Prinsip ini mengamanatkan bahwa pengadaan tidak boleh menimbulkan kerusakan terhadap lingkungan. Produk yang memiliki kandungan bahan berbahaya, menghasilkan limbah tinggi, atau tidak memiliki sistem daur ulang seharusnya dieliminasi dari proses pemilihan. Kepemimpinan dalam hal ini juga berarti bahwa pemerintah sebagai pembeli terbesar di pasar menjadi penentu arah perkembangan produk dan jasa ramah lingkungan di Indonesia.

2. Regulasi Internasional dan Nasional

Implementasi pengadaan berkelanjutan tidak dapat dilepaskan dari adanya kerangka hukum dan kebijakan yang memadai, baik di level internasional maupun nasional.

  • Kerangka Internasional
    Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) telah sejak 2015 merekomendasikan Green Public Procurement (GPP) sebagai pendekatan standar negara-negara maju. Uni Eropa melalui Directive 2014/24/EU mendorong setiap negara anggotanya untuk tidak hanya mempertimbangkan harga dan spesifikasi teknis dalam pengadaan, tetapi juga aspek lingkungan, inovasi, dan sosial. Bahkan, lembaga seperti UNEP dan UNDP secara aktif membina negara berkembang untuk menyusun Sustainable Public Procurement Action Plan.
  • Kerangka Nasional di Indonesia
    Dalam konteks Indonesia, langkah awal sudah dilakukan dengan terbitnya Perpres No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang dalam pasal 6 menyebutkan bahwa pengadaan harus memperhatikan prinsip efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil, dan akuntabel serta berkelanjutan. Namun, tantangan utamanya adalah ketidakhadiran kriteria teknis yang operasional, terutama dalam hal indikator keberlanjutan.

    Untuk itu, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) telah mulai mengembangkan pedoman teknis pengadaan berkelanjutan yang mencakup kriteria ramah lingkungan, inklusif, dan efisiensi energi dalam E-Katalog. Beberapa pilot project juga telah dilakukan, misalnya pengembangan sub-katalog “produk hijau” yang menampilkan produk dengan label lingkungan atau nilai carbon footprint rendah.

    Ke depan, Indonesia membutuhkan peraturan presiden atau menteri yang secara khusus mengatur tentang Sustainable Public Procurement, termasuk ambang batas emisi CO₂ untuk pengadaan sektor energi, pengelolaan limbah wajib, serta preferensi pada penyedia bersertifikasi ISO 14001.

IV. Pengadaan yang Mendukung SDGs: Fokus pada Beberapa Tujuan Kunci

Pengadaan berkelanjutan bukanlah konsep yang berdiri sendiri, melainkan secara langsung berkontribusi pada berbagai indikator dan target SDGs. Berikut adalah fokus kontribusi pengadaan pada beberapa tujuan kunci:

1. SDG 1: Tanpa Kemiskinan & SDG 8: Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi

Belanja pemerintah dapat menjadi alat pendistribusian kesejahteraan yang paling efektif jika diarahkan secara tepat. Salah satu strategi utamanya adalah melalui:

  • Program Kuota UMKM
    Kebijakan afirmatif seperti mewajibkan minimal 30% pengadaan dialokasikan untuk UMKM bukan hanya soal membuka akses pasar, tetapi juga menciptakan lapangan kerja lokal. Misalnya, pengadaan alat tulis, makanan rapat, pakaian dinas, atau jasa transportasi lokal bisa diarahkan ke koperasi dan pelaku usaha mikro. Dengan begitu, pengadaan menjadi tulang punggung ekonomi kerakyatan.
  • Klausul Pekerja Terlindungi
    Dokumen kontrak dapat mensyaratkan bahwa penyedia menerapkan prinsip kerja layak: upah minimum, jaminan sosial, dan tidak menggunakan pekerja anak. Dengan cara ini, pengadaan mendorong pembentukan pasar tenaga kerja yang adil.

2. SDG 5: Kesetaraan Gender

Ketimpangan gender dalam bisnis masih terjadi, terutama dalam kepemilikan usaha dan akses terhadap kontrak publik. Maka, pengadaan dapat menjadi alat afirmasi:

  • Vendor Perempuan
    Kebijakan women-owned business set-aside mewajibkan persentase tertentu pengadaan dialokasikan kepada usaha milik perempuan. Ini dapat dimasukkan ke dalam peraturan daerah atau kebijakan instansi secara internal.
  • Klausul Gender Equality
    Penawaran vendor bisa disyaratkan mencantumkan kebijakan nondiskriminasi gender di tempat kerja, program pelatihan khusus untuk perempuan, atau laporan rasio karyawan laki-laki dan perempuan.

3. SDG 12: Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab

Salah satu tujuan paling relevan dengan pengadaan adalah SDG 12 yang berfokus pada pola konsumsi yang efisien dan ramah lingkungan.

  • Green Criteria
    Dalam spesifikasi teknis, pengadaan dapat mencantumkan persyaratan sertifikasi ecolabel (misalnya Green Label Indonesia, Energy Star, atau SNI Ekolabel). Produk seperti AC, printer, cat, dan material bangunan bisa dinilai berdasarkan konsumsi energi, kandungan zat berbahaya, dan ketahanan daur ulangnya.
  • Circular Procurement
    Produk-produk yang dirancang untuk dapat diperbaiki (repairable), dimanfaatkan ulang (reusable), atau didaur ulang (recyclable) harus mendapatkan preferensi. Kontrak pengadaan bisa mencakup layanan take-back scheme di mana vendor bertanggung jawab atas limbah produk yang telah usang.

4. SDG 13: Aksi Iklim

Pengadaan bisa menjadi garda depan dalam menurunkan emisi gas rumah kaca.

  • Evaluasi Jejak Karbon
    Proyek konstruksi besar, pengadaan kendaraan, atau peralatan berat harus mewajibkan perhitungan LCA dan jejak karbon. Penawaran dengan total emisi CO₂e lebih rendah bisa diberikan bobot nilai tambahan.
  • Kendaraan Hijau
    Strategi nasional dapat menetapkan bahwa minimal 20-30% kendaraan dinas beralih ke mobil listrik dalam jangka lima tahun. Hal ini akan mendorong pasar kendaraan rendah emisi sekaligus membangun infrastruktur pendukung (charging station, bengkel hijau, dll).

5. SDG 17: Kemitraan untuk Mencapai Tujuan

Kolaborasi lintas sektor menjadi tulang punggung suksesnya pengadaan berkelanjutan.

  • Kemitraan Public-Private (PPP)
    Skema PPP dapat diterapkan untuk membangun infrastruktur air bersih, energi surya, atau pengolahan limbah kota. Pemerintah menyumbang dana dan insentif, sementara swasta menyumbang teknologi dan manajemen risiko.
  • Forum Pengadaan Berkelanjutan
    Melibatkan akademisi untuk menyusun standar evaluasi hijau, LSM untuk mengawal transparansi dan akuntabilitas, serta asosiasi industri untuk membina penyedia lokal, menjadikan pengadaan bukan urusan satu pihak, tapi platform kolaborasi nasional

V. Praktik Terbaik dan Strategi Implementasi Pengadaan Berkelanjutan

Agar pengadaan berkelanjutan yang mendukung pencapaian SDGs tidak hanya menjadi jargon kebijakan, tetapi benar-benar berjalan di lapangan, diperlukan strategi implementasi yang terstruktur, inklusif, dan terukur. Di berbagai negara maupun instansi dalam negeri, praktik-praktik terbaik mulai dibangun sebagai model yang bisa direplikasi.

1. Penyusunan Roadmap dan Rencana Aksi

Setiap instansi, baik kementerian, lembaga, maupun pemerintah daerah, perlu menyusun roadmap pengadaan berkelanjutan yang memuat visi, target, indikator, dan tahapan implementasi. Roadmap ini sebaiknya melibatkan unit-unit fungsional (keuangan, perencanaan, hukum) dan menyelaraskan tujuan pengadaan dengan target SDGs yang relevan secara sektoral.

Contoh:

  • Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dapat menargetkan bahwa 70% proyek infrastruktur hijau menggunakan material daur ulang dan konstruksi hemat energi dalam 5 tahun ke depan.
  • Pemerintah provinsi yang memiliki industri tekstil bisa memprioritaskan pengadaan seragam pegawai dari UMKM ramah lingkungan dengan bahan lokal.

2. Integrasi dalam Dokumen Pengadaan

Agar prinsip keberlanjutan dapat dievaluasi secara objektif, perlu integrasi langsung dalam dokumen pengadaan, khususnya:

  • Kerangka Acuan Kerja (KAK): Menyebutkan persyaratan sertifikasi lingkungan, preferensi produk lokal, atau komitmen penyedia terhadap inklusi sosial.
  • Spesifikasi Teknis: Memuat parameter kuantitatif seperti batas konsumsi energi, jumlah bahan daur ulang, atau emisi karbon maksimal.
  • Formulir Penawaran: Mewajibkan penyedia menyampaikan dokumen pendukung seperti ISO 14001, LCA, atau laporan keberlanjutan.
  • Evaluasi Teknis dan Administratif: Memberikan bobot nilai tambahan bagi penyedia dengan kinerja lingkungan yang terbukti baik.
  • Kontrak: Mencantumkan klausul keberlanjutan, seperti tanggung jawab pengelolaan limbah pasca-produk atau komitmen terhadap pekerja lokal.

3. Peningkatan Kapasitas SDM dan Digitalisasi

Kunci keberhasilan implementasi ada pada kapasitas pelaku pengadaan:

  • Pelatihan dan Sertifikasi
    Dibutuhkan pelatihan intensif mengenai konsep SDGs, metode evaluasi lingkungan (misal LCA dan carbon footprint), serta penggunaan tools e-procurement ramah lingkungan. Sertifikasi Green Procurement Officer dapat dikembangkan bersama perguruan tinggi dan lembaga profesi.
  • Pemanfaatan Teknologi Digital
    Sistem e‑procurement dapat ditingkatkan dengan fitur untuk:

    • Menampilkan label lingkungan pada produk di E-Katalog.
    • Memfasilitasi pelaporan jejak karbon dalam penawaran.
    • Menyediakan dashboard pemantauan pengadaan hijau per tahun atau per unit kerja.

    Sebagai contoh, dashboard LKPP dapat menunjukkan bahwa “30% pengadaan barang tahun 2025 berasal dari penyedia bersertifikat ISO 14001”.

4. Inovasi Pembiayaan

Masalah umum dalam pengadaan berkelanjutan adalah biaya awal yang sering lebih tinggi. Oleh karena itu, inovasi pembiayaan perlu dikembangkan:

  • Internal Carbon Pricing (ICP): Memberikan nilai rupiah terhadap setiap ton CO₂e yang dihasilkan, lalu memperhitungkan nilai tersebut dalam evaluasi harga.
  • Green Fund: Dana khusus dari APBN/D atau mitra pembangunan untuk menyubsidi selisih harga produk hijau.
  • Kontrak Jangka Panjang: Menurunkan harga unit melalui negosiasi volume dalam jangka panjang dengan penyedia.

5. Pemantauan dan Pelaporan Kinerja

Tanpa pelaporan, pengadaan berkelanjutan akan sulit dievaluasi. Setiap instansi perlu menyusun:

  • Laporan Tahunan Pengadaan Berkelanjutan, mencakup indikator:
    • Persentase belanja UMKM
    • Persentase produk bersertifikasi lingkungan
    • Penurunan emisi dari proyek pengadaan
    • Jumlah penyedia dengan kebijakan inklusi sosial
  • Audit Pihak Ketiga
    LKPP atau BPKP dapat melakukan audit keberlanjutan secara periodik sebagai bagian dari pengawasan internal pengadaan. Audit ini tidak hanya memeriksa anggaran dan kontrak, tapi juga bukti fisik pelaksanaan prinsip SDGs.

6. Insentif dan Sanksi

Untuk mendorong partisipasi, diperlukan sistem insentif:

  • Insentif bagi Penyedia:
    • Poin tambahan untuk penyedia hijau dalam tender selanjutnya.
    • Bebas biaya sertifikasi lingkungan bila mencapai ambang tertentu.
  • Insentif bagi Unit Kerja Pengadaan:
    • Penghargaan kinerja untuk unit yang konsisten menerapkan pengadaan berkelanjutan.
    • Penambahan anggaran tahun berikutnya bagi unit yang mencapai indikator SDGs.

Sebaliknya, sanksi administratif dapat dikenakan jika penyedia memberikan data lingkungan palsu (greenwashing) atau melanggar klausul keberlanjutan dalam kontrak.

VI. Kesimpulan

Pengadaan modern tidak lagi hanya soal memenuhi kebutuhan instansi, melainkan instrumen strategis untuk mewujudkan SDGs. Dengan menyelaraskan setiap tahap pengadaan-dari perencanaan hingga evaluasi pasca-kontrak-dengan tujuan pembangunan berkelanjutan, pemerintah dan sektor swasta dapat memaksimalkan dampak positif sosial, ekonomi, dan lingkungan. Praktik terbaik global dan lokal menunjukkan bahwa sustainable procurement mampu menekan emisi, mengentaskan kemiskinan, memberdayakan UMKM, dan mendorong inovasi hijau. Tantangan teknis dan regulasi masih ada, namun dengan pedoman jelas, digitalisasi data, serta insentif yang tepat, pengadaan dapat menjadi pendorong utama bagi transformasi ke masa depan yang adil, hijau, dan sejahtera bagi generasi mendatang.