I. Pendahuluan
Infrastruktur jalan dan jembatan memegang peranan strategis dalam mendukung pertumbuhan ekonomi, konektivitas antardaerah, dan kesejahteraan masyarakat. Melalui pengadaan barang dan jasa (PBJ) pemerintah, proyek-proyek skala besar ini diwujudkan dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, mulai dari perancang dan kontraktor hingga masyarakat lokal. Namun, proses PBJ untuk infrastruktur jalan dan jembatan tidak sesederhana sekadar memilih penyedia dan mengawasi pelaksanaan. Terdapat sejumlah tantangan mendalam yang meliputi aspek regulasi, pendanaan, teknis, sosial, hingga lingkungan. Artikel ini akan membahas secara mendalam delapan tantangan utama beserta solusi praktis yang dapat diadopsi oleh pemerintah dan pelaku proyek agar pelaksanaan PBJ berjalan efektif, efisien, dan berkelanjutan.
II. Kompleksitas Regulasi dan Tata Kelola PBJ
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PBJ) dalam sektor infrastruktur, khususnya jalan dan jembatan, tidak hanya berurusan dengan proses administrasi pelelangan semata, tetapi juga dengan struktur regulasi yang rumit, tumpang tindih, dan sering kali berubah. Kompleksitas ini menciptakan tantangan serius yang dapat memperlambat atau bahkan menggagalkan keberhasilan proyek.
A. Beragam Peraturan yang Saling Tumpang Tindih
Pengadaan jalan dan jembatan harus tunduk pada banyak regulasi-baik yang bersifat umum maupun sektoral. Di sisi umum, Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah menjadi kerangka utama. Namun, proyek infrastruktur jalan juga wajib mengikuti UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan, PP No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan, serta PP No. 100 Tahun 2015 dan berbagai peraturan teknis dari Direktorat Jenderal Bina Marga Kementerian PUPR.
Persoalannya, regulasi-regulasi tersebut tidak selalu sejalan. Dalam beberapa kasus, spesifikasi teknis jalan dalam standar Bina Marga berbeda dengan yang diacu dalam dokumen PBJ berbasis Perpres 16/2018, terutama terkait metode pelaksanaan, uji mutu, dan spesifikasi bahan. Ini menyulitkan penyusunan Kerangka Acuan Kerja (KAK) dan dokumen pemilihan, serta dapat memicu keberatan atau sanggahan dari peserta tender.
Ketika regulasi yang berlaku belum sepenuhnya harmonis, tim pengadaan menghadapi dilema: apakah memprioritaskan aturan teknis sektoral atau prinsip-prinsip dasar pengadaan dalam Perpres. Hal ini menimbulkan kerentanan terhadap gugatan hukum, risiko audit BPK atau BPKP, serta kebingungan di tingkat lapangan saat pelaksanaan pekerjaan.
B. Kepastian Hukum dan Administrasi
Selain tumpang tindih regulasi, kepastian hukum dalam tata kelola pengadaan juga masih menjadi masalah. Banyak sengketa pengadaan muncul karena substansi kontrak tidak mencerminkan regulasi yang berlaku atau karena penggunaan dokumen standar (SSUK, SSKK) yang belum diperbarui. Adakalanya, tim pengadaan melakukan addendum dokumen pemilihan tanpa memeriksa konsistensinya dengan peraturan sektoral atau ketentuan hukum kontrak.
Kelemahan dalam menyusun dokumen kontrak, seperti ketidakjelasan soal termin pembayaran, mekanisme perubahan pekerjaan (variation order), atau jaminan waktu pelaksanaan, memperbesar kemungkinan terjadinya konflik antara penyedia dan pemberi kerja. Dalam beberapa kasus, sengketa tersebut berujung pada pembatalan lelang, putusan keberatan oleh KPPU atau LKPP, hingga tuntutan hukum perdata yang dapat menghambat kelangsungan proyek dan menciptakan kerugian negara.
Kepastian administrasi juga terpengaruh oleh kapasitas SDM PBJ, terutama di daerah. Banyak pokja atau PPK belum terlatih dalam menyusun dokumen yang selaras antar-regulasi, atau tidak memiliki akses ke penasihat hukum kontrak yang memadai. Ini membuat proses pengadaan berjalan dengan pendekatan administratif semata tanpa landasan hukum substantif yang kuat.
III. Kendala Pendanaan dan Pembiayaan
Pembangunan jalan dan jembatan membutuhkan investasi modal yang besar dan berjangka panjang. Namun, kenyataannya pengadaan untuk sektor ini masih dibelenggu berbagai kendala pembiayaan, baik dari sisi sumber dana, pengelolaan anggaran, hingga risiko keuangan yang tidak terantisipasi.
A. Penyerapan Anggaran yang Tidak Merata
Meskipun dana APBN dan APBD setiap tahun mengalokasikan porsi signifikan untuk infrastruktur, implementasinya sering kali tidak optimal. Realisasi fisik dan keuangan kerap menumpuk di triwulan IV, yang menyebabkan pekerjaan dilaksanakan dalam waktu sempit dan kualitas pelaksanaan berisiko menurun.
Masalah ini disebabkan oleh panjangnya proses verifikasi administrasi di awal tahun, seperti revisi DPA, pengesahan KAK dan HPS, serta prosedur pelelangan yang bisa molor karena sanggahan atau kegagalan tender. Akibatnya, proyek jalan dan jembatan yang seharusnya memerlukan waktu pelaksanaan 6-9 bulan, justru hanya dikerjakan dalam 3 bulan terakhir. Kontraktor pun terpaksa bekerja dalam tekanan waktu dan cuaca yang tidak ideal, terutama jika sudah memasuki musim hujan.
Selain itu, sistem anggaran satu tahun (single year budgeting) tidak selalu cocok untuk proyek infrastruktur besar. Meski sudah ada mekanisme tahun jamak (multi-year), dalam praktiknya sering terganggu oleh perubahan prioritas pemerintah daerah, rotasi pejabat, atau keterbatasan fiskal, sehingga pelaksanaan proyek menjadi tersendat atau dihentikan di tengah jalan.
B. Ketergantungan pada Sumber Dana Fiskal
Proyek jalan dan jembatan di Indonesia masih sangat tergantung pada pendanaan fiskal (APBN/APBD), sementara upaya diversifikasi sumber pembiayaan-seperti melalui skema Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) atau Public-Private Partnership (PPP)-belum sepenuhnya berjalan efektif.
Beberapa kendala dalam mendorong pembiayaan non-fiskal mencakup: kurangnya bankability proyek, keterbatasan kapasitas pemda dalam merancang business case, serta belum adanya struktur regulasi lokal yang mendukung skema pembiayaan inovatif. Padahal, infrastruktur jalan-jembatan di wilayah strategis seperti kawasan industri, pariwisata, atau perbatasan bisa dikembangkan melalui skema kombinasi pembiayaan swasta dan publik.
Ketergantungan tunggal pada fiskal membuat proyek-proyek strategis nasional dan daerah sangat rentan terhadap dinamika APBN/APBD-misalnya terjadi refocusing anggaran akibat pandemi atau bencana. Hal ini menyebabkan banyak proyek strategis tertunda atau bahkan dibatalkan karena ketidakpastian alokasi anggaran.
C. Fluktuasi Harga Material
Salah satu tantangan terbesar dalam proyek konstruksi jalan dan jembatan adalah ketidakstabilan harga bahan bangunan utama, seperti aspal, semen, dan baja. Harga-harga ini sangat dipengaruhi oleh faktor global seperti kurs dolar, harga minyak dunia, dan inflasi bahan baku.
Dalam sistem pengadaan berbasis HPS, fluktuasi harga material dapat menciptakan risiko besar bagi kontraktor. Ketika harga aktual meningkat tajam setelah tender ditetapkan, penyedia jasa terpaksa menanggung kerugian atau mengurangi spesifikasi untuk menjaga margin. Hal ini berujung pada klaim tambahan (add cost), potensi sengketa, atau penurunan kualitas pekerjaan.
Sayangnya, banyak kontrak pengadaan belum menerapkan escalation clause atau mekanisme penyesuaian harga secara otomatis, terutama di tingkat pemda. Bahkan jika pun ada mekanisme addendum, prosedur birokratis dan lamanya proses persetujuan menyebabkan pelaksanaan tetap terganggu.
Selain itu, sistem pengadaan yang tidak adaptif terhadap volatilitas harga-misalnya dengan menetapkan HPS yang tidak realistis-dapat membuat lelang tidak menarik bagi kontraktor besar. Proyek pun berisiko hanya dijalankan oleh penyedia dengan kemampuan finansial terbatas atau yang berorientasi pada short-term gain.
IV. Tantangan Teknis dan Konstruksi
Pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan tidak hanya menuntut kecepatan pelaksanaan dan efisiensi anggaran, tetapi juga ketepatan teknis, ketahanan struktur, serta adaptasi terhadap kondisi geografis dan geologis setempat. Tantangan teknis kerap menjadi penyebab utama keterlambatan dan pembengkakan biaya proyek jika tidak ditangani sejak tahap perencanaan.
A. Kondisi Geografis dan Geologi Sulit
Banyak proyek jalan dan jembatan di Indonesia berlokasi di daerah yang secara geografis dan geologis sangat menantang. Wilayah seperti Papua, Kalimantan pedalaman, Nusa Tenggara, dan Sumatra pegunungan memiliki kondisi tanah yang labil, terjal, atau rawan gempa. Proyek jalan lintas hutan tropis, kawasan gambut, dan lereng curam membutuhkan analisis geoteknik yang sangat mendalam serta metode konstruksi yang disesuaikan.
Namun, dalam praktiknya, studi geoteknik seringkali hanya bersifat administratif atau dilakukan secara terburu-buru. Minimnya investigasi tanah dan pemodelan kontur bawah permukaan menyebabkan desain teknis menjadi tidak akurat. Akibatnya, setelah proyek berjalan, baru ditemukan bahwa fondasi jembatan tidak stabil, lereng longsor, atau badan jalan cepat retak akibat gerakan tanah.
Lebih jauh lagi, kondisi medan yang sulit menghambat pergerakan alat berat, menambah biaya mobilisasi, dan memperpanjang durasi pelaksanaan. Tantangan geografis ini harus disikapi dengan pendekatan perencanaan berbasis risiko dan penggunaan teknologi konstruksi adaptif, seperti jembatan modular atau teknik stabilisasi tanah.
B. Standar Mutu dan Ketersediaan Tenaga Ahli
Proyek jalan dan jembatan harus memenuhi standar teknis tinggi yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Bina Marga. Spesifikasi terkait tebal perkerasan, jenis beton, uji mutu aspal, dan desain jembatan harus ditaati. Untuk itu dibutuhkan tenaga ahli dari berbagai disiplin seperti teknik sipil, geoteknik, struktur, dan hidrologi.
Sayangnya, di banyak daerah terutama luar Jawa, ketersediaan tenaga ahli tersertifikasi masih sangat terbatas. Hal ini memaksa pemerintah daerah atau penyedia jasa untuk mendatangkan konsultan luar atau tenaga asing, yang tentu berdampak pada biaya. Rendahnya kapasitas lokal juga menyebabkan kesulitan dalam mengawasi pelaksanaan teknis secara langsung, sehingga mutu pekerjaan kerap baru diketahui saat dilakukan audit fisik atau bahkan setelah kerusakan terjadi.
Tanpa tenaga profesional yang memadai, pengujian mutu material, pengecekan prosedur pelaksanaan, dan dokumentasi konstruksi sering tidak dilakukan secara konsisten. Ini memperbesar risiko kegagalan struktural jangka panjang serta menurunkan daya tahan infrastruktur.
C. Pengelolaan Rantai Pasok Material
Pengadaan material konstruksi untuk proyek jalan dan jembatan tidak semudah membeli barang konsumsi biasa. Aspal panas, baja tulangan, semen curah, dan beton pracetak memiliki persyaratan logistik dan waktu yang sangat ketat. Aspal misalnya harus digunakan dalam jangka waktu tertentu sejak keluar dari AMP (Asphalt Mixing Plant), jika terlambat akan menurunkan kualitas perkerasan.
Di daerah terpencil, distribusi material ini sering kali menghadapi tantangan besar: jalan akses sempit, jembatan belum ada, cuaca buruk, atau keterbatasan moda transportasi. Akibatnya, jadwal proyek terganggu hanya karena keterlambatan pengiriman bahan.
Lebih rumit lagi, sebagian bahan bangunan harus diimpor atau didatangkan dari luar provinsi, sehingga harga naik dan stok tidak stabil. Dalam situasi ini, pengelolaan rantai pasok (supply chain management) menjadi sangat krusial-baik dari sisi perencanaan volume, pemilihan supplier, maupun logistik just-in-time. Tanpa sistem logistik yang kuat dan responsif, proyek akan berjalan dengan penuh ketidakpastian.
V. Faktor Sosial dan Lingkungan
Infrastruktur jalan dan jembatan berdampak langsung pada ruang hidup masyarakat dan ekosistem. Oleh karena itu, aspek sosial dan lingkungan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari proses pengadaan, mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan dan pasca-konstruksi.
A. Permasalahan Lahan dan Ganti Rugi
Salah satu kendala terbesar yang kerap menunda pelaksanaan proyek adalah pembebasan lahan. Proses ini tidak semata administratif, tetapi menyangkut aspek hukum, sosial, dan kultural yang kompleks. Masalah-masalah umum meliputi kepemilikan ganda, tanah adat yang belum terdaftar, keberatan atas nilai appraisal, atau konflik antar ahli waris.
Pada proyek-proyek strategis nasional, pembebasan lahan ditangani oleh Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN), namun di proyek daerah, tanggung jawab ini sering dibebankan ke pemda dengan kapasitas yang bervariasi. Banyak proyek terpaksa ditunda bertahun-tahun karena masyarakat belum sepakat, meski kontrak sudah ditandatangani. Kondisi ini menimbulkan ketidakpastian kontraktual, biaya idle, dan konflik sosial yang merugikan semua pihak.
Solusi terhadap hal ini mencakup: pendekatan sosial berbasis mediasi, percepatan legalisasi tanah, serta transparansi nilai ganti rugi. Tanpa strategi yang inklusif dan komunikatif, masalah lahan akan terus menjadi bom waktu dalam proyek infrastruktur.
B. Dampak Lingkungan dan Analisis AMDAL
Proyek jalan dan jembatan memiliki potensi dampak lingkungan yang signifikan, seperti penggundulan vegetasi, gangguan hidrologi, pencemaran air dan udara, serta hilangnya habitat satwa. Oleh karena itu, studi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) menjadi dokumen wajib.
Namun dalam praktiknya, banyak AMDAL disusun hanya sebagai formalitas. Tim penyusun tidak melibatkan ahli lingkungan, hanya menyalin data generik, dan mengabaikan mekanisme pemantauan serta rencana pengelolaan lingkungan (RKL/RPL). Akibatnya, ketika terjadi kerusakan atau protes masyarakat, tidak ada rujukan teknis untuk mitigasi yang cepat dan akurat.
Pembangunan jembatan yang melintasi sungai atau hutan lindung juga membutuhkan izin khusus serta koordinasi dengan KLHK. Ketika proses ini tidak tuntas sejak awal, proyek terancam sanksi, pemberhentian paksa, atau tekanan publik yang menurunkan legitimasi pemerintah.
C. Keterlibatan dan Sosialisasi Masyarakat
Partisipasi masyarakat adalah salah satu indikator utama keberhasilan proyek infrastruktur. Masyarakat bukan hanya obyek penerima manfaat, tetapi juga aktor penting dalam menjaga keamanan proyek, mengawasi kualitas pelaksanaan, dan memastikan keberlanjutan infrastruktur.
Namun sayangnya, banyak proyek dijalankan tanpa dialog bermakna dengan warga sekitar. Sosialisasi hanya dilakukan sekali pada tahap awal, tanpa mekanisme umpan balik atau pemberdayaan lokal. Akibatnya, masyarakat merasa diabaikan dan mulai melakukan aksi penolakan, sabotase, atau tuntutan tambahan (kompensasi, peluang kerja, dll).
Solusi jangka panjang mencakup pembentukan forum masyarakat, penyediaan tenaga liaison officer (LO), dan pendekatan partisipatif berbasis manfaat langsung (community benefit sharing). Jika komunikasi ini berjalan dengan baik, masyarakat justru akan menjadi penjaga utama keberlangsungan proyek.
VI. Kapasitas Institusi dan SDM PBJ
Tidak kalah penting dari sisi teknis dan sosial adalah kesiapan institusi dan SDM pengadaan dalam merancang, menjalankan, dan mengawasi proyek jalan dan jembatan secara efektif. Tanpa kapasitas kelembagaan yang kuat, proses pengadaan rentan terhadap kesalahan administratif, inefisiensi, bahkan potensi penyimpangan.
A. Kompetensi Pengelola Proyek di Pemerintah Daerah
Pengadaan infrastruktur besar memerlukan PPK dan Pokja Pemilihan yang tidak hanya memahami aturan pengadaan, tetapi juga memiliki pengetahuan teknis dan manajemen proyek. Sayangnya, di banyak daerah masih terjadi kekurangan pejabat pengadaan yang bersertifikasi kompetensi. Hal ini membuat kualitas dokumen pengadaan rendah, penyusunan HPS tidak akurat, dan pengawasan pelaksanaan tidak memadai.
Diperlukan kebijakan nasional untuk memperluas akses sertifikasi, mendorong pembinaan PJAP (Pejabat Pembuat Komitmen dan Pengadaan), serta menyediakan pelatihan teknis untuk proyek jalan dan jembatan. Tanpa SDM yang mumpuni, dokumen lelang sering keliru, kriteria evaluasi tidak tepat, dan risiko sengketa meningkat.
B. Koordinasi Antar-Unit dan Multi-Pihak
Proyek jalan dan jembatan tidak bisa dijalankan oleh satu instansi saja. Dibutuhkan kolaborasi antara Dinas PUPR, Bappeda, BPKAD, Inspektorat, dan bahkan pihak swasta. Namun dalam praktiknya, komunikasi dan koordinasi antarunit masih lemah. Miskomunikasi antar instansi menyebabkan duplikasi data, keterlambatan review dokumen, dan tumpang tindih wewenang.
Solusinya adalah dengan membentuk tim lintas sektoral (steering committee), SOP koordinasi proyek, serta sistem informasi proyek yang terintegrasi agar semua pihak mengakses data yang sama.
C. Penggunaan Teknologi e-Procurement
Sistem pengadaan elektronik (LPSE) telah banyak membantu meningkatkan transparansi dan efisiensi lelang. Namun, banyak daerah belum memanfaatkan sepenuhnya fitur-fitur lanjutan seperti evaluasi penyedia secara historis, integrasi ke sistem ERP keuangan daerah, atau dashboard pemantauan real-time.
Pemanfaatan teknologi juga bisa ditingkatkan dengan adopsi BIM (Building Information Modelling), e-catalog sektoral untuk material konstruksi, dan digitalisasi manajemen proyek. Tanpa digitalisasi yang optimal, proses pengadaan tetap rentan terhadap keterlambatan, duplikasi, dan manipulasi data.
VII. Tantangan Etika dan Korupsi
Salah satu aspek paling krusial dan sensitif dalam pengadaan infrastruktur jalan dan jembatan adalah integritas. Proyek dengan nilai anggaran besar, jangka waktu panjang, dan kompleksitas tinggi sangat rentan terhadap penyalahgunaan wewenang, konflik kepentingan, hingga praktik korupsi yang sistemik. Masalah ini bukan hanya berdampak pada kerugian keuangan negara, tetapi juga pada menurunnya kepercayaan publik dan kualitas infrastruktur yang dibangun.
A. Praktik Gratifikasi dan Mark-Up
Salah satu modus yang paling sering ditemukan dalam proyek jalan dan jembatan adalah mark-up harga material atau volume pekerjaan fiktif. Dalam praktiknya, ada proyek yang mencatat penggunaan 100 ton aspal, padahal di lapangan hanya digunakan 75 ton. Selisihnya menjadi “ruang gelap” yang sering kali dikorupsi. Selain itu, gratifikasi kepada panitia pengadaan, pejabat pembuat komitmen, atau pihak pengawas juga masih marak ditemukan dalam bentuk fee proyek, hadiah, bahkan imbal jasa dalam bentuk non-uang seperti fasilitas pribadi.
Kolusi dalam tender-melalui pengaturan pemenang, penyesuaian dokumen teknis, atau penggunaan perusahaan boneka-juga mengganggu asas kompetisi sehat dalam pengadaan. Ini menciptakan pasar yang tidak adil dan menurunkan kualitas pelaksanaan karena pemenang tidak selalu yang paling kompeten, melainkan yang paling dekat dengan pengambil keputusan.
Meski lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), BPKP, dan Kejaksaan telah memperkuat fungsi audit dan investigasi, upaya pencegahan internal-melalui penguatan SOP, budaya integritas, dan sistem pengendalian internal-masih menjadi titik lemah di banyak daerah.
B. Transparansi dan Akuntabilitas
Transparansi bukan sekadar menyatakan bahwa pengadaan dilakukan secara elektronik. Yang lebih penting adalah bagaimana data pengadaan dibuka ke publik secara real-time, dalam format yang mudah dipahami dan diawasi masyarakat. Informasi seperti dokumen lelang, daftar peserta, nilai penawaran, hasil evaluasi teknis, serta progres fisik proyek perlu dipublikasikan secara daring melalui portal pengadaan atau dashboard proyek.
Sayangnya, masih banyak daerah yang hanya mempublikasikan nama pemenang lelang tanpa rincian evaluasi. Hal ini menyulitkan masyarakat dan LSM dalam melakukan kontrol sosial. Tanpa akuntabilitas yang jelas, ruang abu-abu dalam pengambilan keputusan akan terus menjadi celah bagi penyalahgunaan.
Meningkatkan akuntabilitas juga berarti menempatkan penanggung jawab proyek secara jelas. Siapa penanggung jawab keterlambatan? Siapa yang bertanggung jawab atas cacat mutu? Ketegasan struktur pelaporan sangat penting agar tanggung jawab tidak saling lempar.
C. Sanksi dan Penguatan Regulasi
Penegakan hukum dalam pengadaan masih mengalami tantangan dari sisi kecepatan, konsistensi, dan efek jera. Banyak pelanggaran PBJ yang hanya dikenai sanksi administratif ringan, padahal merugikan negara miliaran rupiah. Selain itu, belum semua regulasi memberikan sanksi proporsional berbasis nilai proyek atau tingkat pelanggaran.
Idealnya, regulasi PBJ harus memasukkan ketentuan sanksi berjenjang, mulai dari teguran, blacklist penyedia, denda keterlambatan, hingga pemrosesan hukum bagi pejabat pengadaan yang terbukti lalai atau bersekongkol. Lebih jauh lagi, diperlukan reformulasi regulasi agar praktik pencegahan lebih diutamakan daripada sekadar penindakan. Misalnya, mewajibkan fit and proper test etika bagi panitia PBJ dan audit awal risiko pengadaan sebelum lelang dibuka.
VIII. Solusi dan Rekomendasi
Menghadapi berbagai tantangan yang telah diuraikan sebelumnya, penguatan sistem pengadaan barang/jasa untuk infrastruktur jalan dan jembatan harus dilakukan secara komprehensif. Berikut adalah solusi dan rekomendasi yang dapat diterapkan baik di tingkat nasional maupun daerah:
1. Harmonisasi Regulasi
Sinkronisasi antara Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2018 tentang PBJ dengan standar teknis Bina Marga, Peraturan Menteri PUPR, serta ketentuan sektoral lainnya harus terus diperkuat. Harmonisasi ini dapat dilakukan melalui joint committee antara LKPP, Kementerian PUPR, dan Kementerian Dalam Negeri untuk memastikan setiap dokumen lelang tidak mengandung ketidaksesuaian atau konflik aturan.
2. Diversifikasi Pembiayaan
Pemerintah pusat dan daerah harus secara aktif mengembangkan skema pembiayaan alternatif, seperti Public-Private Partnership (PPP) atau Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU). Skema ini tidak hanya mempercepat pelaksanaan proyek tetapi juga mengurangi beban fiskal negara. Peningkatan kapasitas PPP Unit di daerah serta percepatan proses penjaminan proyek dari PT PII (Penjamin Infrastruktur Indonesia) sangat diperlukan.
3. Penguatan Kapasitas SDM
Perluasan pelatihan berbasis kebutuhan nyata proyek seperti manajemen proyek konstruksi, geoteknik, dan hukum kontrak wajib dilaksanakan secara berkala. Sertifikasi PJAP, tenaga ahli konstruksi, dan inspektur pengawas harus menjadi prasyarat dalam pelaksanaan proyek strategis. Selain itu, penguatan peran Perguruan Tinggi Negeri dalam pendampingan teknis bisa menjadi katalis peningkatan mutu.
4. Manajemen Risiko Teknis
Studi kelayakan dan studi geoteknik tidak boleh menjadi formalitas. Perlu diterapkan standar uji awal yang lebih ketat dengan audit independen. Teknologi seperti Building Information Modeling (BIM) bisa membantu mendeteksi potensi konflik desain sejak awal dan meningkatkan akurasi estimasi biaya serta waktu.
5. Sosialisasi dan Keterlibatan Publik
Forum warga dan tim pemantau independen berbasis komunitas lokal dapat dilibatkan dalam proses sosialisasi proyek, verifikasi lapangan, serta monitoring kualitas hasil pekerjaan. Masyarakat tidak boleh hanya dijadikan penerima manfaat pasif, tetapi juga sebagai mitra aktif dalam pengawasan proyek.
6. Digitalisasi PBJ
Pengembangan sistem e-procurement harus diarahkan pada integrasi lintas platform: LPSE, e-catalog sektoral, SIRUP, dan dashboard proyek real-time. Aplikasi mobile juga dapat dikembangkan untuk pelaporan progres dan foto dokumentasi proyek lapangan.
7. Pengawasan Anti-Korupsi
Audit independen berbasis risiko (risk-based audit), sistem pelaporan internal (whistleblowing system), serta pelibatan Inspektorat dan BPKP dalam tahapan evaluasi dan monitoring sangat penting. Selain itu, penerapan teknologi blockchain di masa depan dapat menjadi alat untuk memastikan jejak transaksi tidak bisa diubah.
IX. Kesimpulan
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PBJ) untuk infrastruktur jalan dan jembatan merupakan salah satu proses paling strategis sekaligus paling kompleks dalam tata kelola pembangunan nasional. Tantangan-tantangan yang dihadapi tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga administratif, sosial, lingkungan, hingga etika dan integritas.
Regulasi yang tumpang tindih, keterbatasan dana, kondisi medan yang ekstrem, permasalahan sosial seperti pembebasan lahan, serta rendahnya kapasitas SDM pengadaan-semuanya menumpuk dalam satu ekosistem yang belum sepenuhnya sehat. Jika tidak dikelola dengan baik, proyek akan mengalami keterlambatan, kualitas rendah, atau bahkan gagal mencapai tujuan awal pembangunan.
Namun, dengan pendekatan solutif yang menyeluruh, reformasi sistemik, dan dukungan lintas sektor, tantangan ini bisa diubah menjadi peluang. Harmonisasi kebijakan, pembiayaan inovatif, pelibatan publik, digitalisasi, dan pengawasan berbasis integritas merupakan pilar penting yang harus diperkuat.
Akhirnya, kualitas jalan dan jembatan bukan hanya ditentukan oleh tebal aspal atau kekuatan struktur jembatan-tetapi oleh kualitas perencanaan, tata kelola, dan komitmen semua pihak dalam menjaga proses pengadaan yang bersih, efisien, dan berpihak pada kepentingan publik. Dengan demikian, PBJ infrastruktur bukan hanya soal membangun jalan, tetapi juga membangun masa depan bangsa.