Proyek Teknologi Informasi dan Risiko PBJ-nya

I. Pendahuluan

Dalam era digitalisasi yang semakin masif, proyek teknologi informasi (TI) menjadi salah satu jenis kegiatan pengadaan barang/jasa (PBJ) yang paling strategis dan kompleks dalam lingkungan pemerintahan. Baik berupa pembangunan sistem informasi, penyediaan infrastruktur jaringan, aplikasi berbasis cloud, maupun pengadaan perangkat keras, proyek TI menyimpan potensi besar untuk meningkatkan efisiensi birokrasi, mempercepat layanan publik, dan memperkuat akuntabilitas pemerintahan. Namun, proyek TI juga menjadi salah satu kategori pengadaan dengan tingkat kegagalan paling tinggi, baik dari sisi keterlambatan, pembengkakan anggaran, output tidak sesuai kebutuhan, hingga kesulitan integrasi. Oleh karena itu, memahami risiko-risiko dalam PBJ proyek TI dan strategi mitigasinya menjadi hal yang sangat penting bagi setiap pemangku kepentingan.

II. Karakteristik Khusus Proyek Teknologi Informasi

Proyek Teknologi Informasi (TI) memiliki serangkaian karakteristik unik yang secara substansial membedakannya dari proyek pengadaan barang dan jasa konvensional, baik dari sisi teknis, manajerial, maupun tata kelola.

  • Pertama-tama, sifat intangible atau tidak berwujud dari sebagian besar produk TI, khususnya perangkat lunak (software), menjadikan kegiatan perencanaan dan pengukuran spesifikasinya sangat menantang. Tidak seperti pengadaan barang fisik yang bisa diinspeksi secara kasat mata, produk TI lebih banyak mengandalkan representasi diagram arsitektur, mock-up antarmuka, atau deskripsi tekstual yang bisa ditafsirkan berbeda oleh masing-masing pihak, sehingga meningkatkan risiko miskomunikasi dan perbedaan ekspektasi.
  • Kedua, proyek TI memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap sumber daya manusia yang tidak hanya memahami teknis pemrograman atau jaringan, tetapi juga konteks organisasi dan domain permasalahan yang ingin diselesaikan. Sumber daya ini mencakup dua sisi: penyedia layanan yang mengembangkan sistem dan pihak pengguna (user) dari instansi pemerintah sebagai pemilik kebutuhan. Ketika salah satu pihak memiliki gap dalam pemahaman, baik terhadap sistem maupun proses bisnis yang hendak diotomatisasi, maka integrasi solusi menjadi tidak optimal. Akibatnya, sistem bisa jadi selesai dibangun, tetapi tidak benar-benar digunakan atau bahkan ditinggalkan.
  • Ketiga, siklus hidup proyek TI umumnya lebih panjang dan kompleks dibanding proyek fisik seperti pembangunan gedung. Proyek ini harus melalui fase-fase terstruktur yang mencakup analisis kebutuhan mendalam, desain sistem, pengembangan (development), uji coba internal (unit testing) dan eksternal (user acceptance testing), pelatihan pengguna, implementasi bertahap, hingga pemeliharaan jangka panjang. Setiap fase tersebut saling bergantung dan kesalahan pada satu tahapan dapat berdampak domino ke fase-fase berikutnya. Apabila tidak dikelola dengan metodologi proyek yang ketat, risiko pembengkakan waktu dan biaya sangat tinggi.
  • Keempat, perkembangan teknologi yang sangat cepat membuat proyek TI berada dalam tekanan waktu yang unik. Sebuah sistem yang dirancang hari ini bisa menjadi usang dalam kurun waktu 12-24 bulan jika tidak dirancang secara modular dan berorientasi pada adaptabilitas. Oleh karena itu, proses pengadaan yang lambat, birokratis, atau terlalu administratif akan sangat rentan menghasilkan sistem yang ketika selesai dibangun justru sudah ketinggalan zaman-baik dari sisi teknologi maupun fungsionalitas.
  • Di samping itu, proyek TI juga menghadirkan tantangan tambahan yang berasal dari ketergantungan lintas sektor. Sistem yang dikembangkan hampir selalu harus terhubung atau berinteroperasi dengan sistem lain yang sudah ada (legacy system), baik secara internal antarunit kerja maupun eksternal lintas instansi atau kementerian. Persoalan interoperabilitas ini sering diabaikan dalam proses PBJ, padahal jika tidak direncanakan sejak awal, integrasi sistem dapat memerlukan tambahan waktu, biaya, atau bahkan gagal dilakukan.
  • Terakhir, kompleksitas proyek TI juga meningkat seiring dengan regulasi baru di bidang keamanan siber, perlindungan data pribadi, dan ketahanan informasi. Sistem yang menyimpan data strategis, seperti sistem informasi kepegawaian, keuangan, atau pelayanan publik, wajib mengadopsi prinsip security by design dan memenuhi standar teknis tertentu. Sayangnya, banyak proyek TI yang tidak memasukkan aspek ini sejak awal, sehingga pada akhirnya menimbulkan risiko hukum dan reputasi bagi instansi pengelola.

III. Risiko-Risiko Umum dalam PBJ Proyek TI

Pengadaan Barang dan Jasa untuk proyek Teknologi Informasi menyimpan banyak potensi risiko yang perlu dikenali secara mendalam agar dapat dikelola dengan tepat. Salah satu risiko yang paling awal muncul adalah risiko dalam perumusan kebutuhan, yaitu ketika dokumen Kerangka Acuan Kerja (KAK), spesifikasi teknis, dan Rencana Anggaran Biaya (RAB) disusun oleh tim yang tidak memahami seluk-beluk sistem informasi. Akibatnya, sistem yang dibangun berpotensi tidak sesuai dengan kebutuhan aktual pengguna. Misalnya, sistem bisa terlalu kompleks untuk kebutuhan sederhana, atau justru terlalu dangkal untuk menyelesaikan masalah yang ada. Ketidaksesuaian ini menyebabkan pemborosan anggaran dan sistem yang tidak dimanfaatkan secara maksimal.

Selanjutnya, terdapat risiko dalam evaluasi dan seleksi penyedia, di mana kriteria teknis seringkali dikalahkan oleh aspek administratif. Penyedia yang mahir membuat proposal dan menyusun dokumen seringkali lebih unggul daripada penyedia yang benar-benar memiliki keahlian teknis, terutama dalam sistem evaluasi berbasis harga terendah. Hal ini sangat riskan karena proyek TI sangat bergantung pada kapabilitas teknis tim pengembang. Ketika penyedia dipilih semata karena harga termurah, maka kualitas sistem yang dibangun sangat mungkin tidak memenuhi standar yang dibutuhkan.

Setelah kontrak berjalan, proyek TI seringkali menghadapi risiko teknis dalam implementasi, seperti ketidaksesuaian perangkat keras, kegagalan integrasi dengan sistem lain, atau terjadinya error yang tidak kunjung selesai meski proyek telah dinyatakan selesai. Hal ini bisa terjadi karena kurangnya waktu untuk melakukan uji coba menyeluruh, baik dari sisi fungsionalitas maupun performa sistem. Uji coba hanya dilakukan secara formalitas tanpa benar-benar mensimulasikan kondisi nyata di lapangan, sehingga potensi error baru teridentifikasi setelah sistem digunakan secara luas.

Risiko keterlambatan juga menjadi momok yang umum terjadi. Proyek yang semula direncanakan selesai dalam 6 bulan bisa molor hingga 12 bulan atau lebih. Penyebabnya bisa beragam, mulai dari perubahan kebutuhan di tengah jalan, keterlambatan penyedia, hingga hambatan koordinasi antarunit. Dalam proyek TI, penyesuaian kebutuhan selama proses berlangsung sering tidak dapat dihindari karena adanya pemahaman baru atau dinamika regulasi. Namun, jika tidak disertai fleksibilitas dalam kontrak atau manajemen perubahan yang baik, hal ini bisa menyebabkan konflik dan deviasi jadwal.

Lebih jauh lagi, proyek TI pemerintah menghadapi risiko keamanan siber dan privasi data yang tidak bisa diabaikan. Dalam banyak kasus, sistem dibangun tanpa standar keamanan minimum seperti enkripsi data, autentikasi berlapis, atau audit log yang dapat ditelusuri. Ketika sistem ini digunakan untuk layanan publik atau menyimpan data sensitif, kebocoran data bisa berujung pada krisis kepercayaan publik atau bahkan pelanggaran hukum. Risiko ini meningkat jika aspek keamanan tidak dirancang sejak awal, dan baru ditambal di akhir proyek secara reaktif.

Terakhir, risiko transfer pengetahuan dan keberlanjutan sistem sering kali muncul ketika proyek telah selesai. Banyak instansi yang mengalami kesulitan mengelola atau mengembangkan sistem lebih lanjut karena tidak adanya dokumentasi teknis, minimnya pelatihan kepada staf internal, dan tidak adanya pengalihan pengetahuan yang sistematis dari penyedia. Hal ini menyebabkan ketergantungan jangka panjang pada penyedia, yang pada akhirnya membuat biaya pemeliharaan membengkak dan keberlanjutan sistem menjadi terancam.

IV. Penyebab Risiko PBJ Proyek TI

Untuk memahami dan mengelola risiko secara lebih efektif, penting bagi pelaksana pengadaan untuk menggali akar penyebab risiko proyek TI secara sistemik. Salah satu penyebab utama adalah keterbatasan kapasitas sumber daya manusia dalam Pokja dan PPK, khususnya yang tidak memiliki latar belakang atau pengalaman di bidang Teknologi Informasi. Tanpa pemahaman dasar mengenai struktur sistem informasi, proses pengembangan perangkat lunak, atau kebutuhan integrasi sistem, mereka cenderung hanya menyalin format KAK dari proyek sebelumnya tanpa mempertimbangkan konteks spesifik kebutuhan baru. Ketika penyusunan dokumen perencanaan dilakukan tanpa pemahaman mendalam, kualitas pengadaan sejak awal sudah berada dalam jalur risiko tinggi.

Selain itu, kualitas dokumen pengadaan yang rendah juga merupakan penyebab utama munculnya masalah di kemudian hari. Dokumen seperti KAK, spesifikasi teknis, dan RAB seringkali tidak disusun berdasarkan hasil kajian kebutuhan, studi kelayakan, atau benchmarking teknologi yang valid. Sebaliknya, dokumen tersebut dibuat tergesa-gesa untuk mengejar tenggat waktu, atau bahkan sekadar copy-paste dari proyek sebelumnya yang tidak relevan. Akibatnya, sistem yang dibangun tidak sesuai konteks, tidak fleksibel, dan sulit disesuaikan dengan kebutuhan yang berkembang.

Faktor lain yang turut memperparah kondisi adalah minimnya pelibatan pengguna (user) dan pemangku kepentingan (stakeholders) sejak awal perencanaan proyek. Pengguna seringkali baru dilibatkan saat pelatihan atau uji coba, padahal mereka yang paling memahami proses bisnis yang hendak diotomatisasi. Tanpa pelibatan user sejak tahap perencanaan, proyek sangat berisiko gagal memenuhi ekspektasi, bahkan walau secara teknis sistem sudah sesuai spesifikasi.

Ketiadaan atau lemahnya metodologi manajemen proyek TI juga menjadi sumber risiko utama. Banyak proyek TI yang berjalan tanpa peta jalan (roadmap), tidak memiliki tahapan yang jelas, serta tanpa indikator keberhasilan (milestone) yang terukur. Akibatnya, monitoring menjadi reaktif dan proyek sulit dikendalikan jika terjadi deviasi. Manajemen perubahan juga tidak tertangani dengan baik, sehingga setiap permintaan revisi dari pengguna menjadi konflik yang membebani jadwal dan anggaran.

Tak kalah penting adalah minimnya quality assurance dan proses uji coba menyeluruh. Dalam banyak kasus, kegiatan pengujian dilakukan secara formalitas, hanya untuk memenuhi berita acara serah terima. Tidak ada verifikasi mendalam terhadap ketahanan sistem, integrasi, kapasitas beban, dan skenario ekstrem. Padahal, pengujian yang menyeluruh dapat mendeteksi error sebelum sistem digunakan secara nyata dan membantu menghindari risiko reputasi serta operasional.

Semua faktor penyebab ini saling terkait dan memperkuat satu sama lain. Ketika kelemahan dalam perencanaan, pelibatan user, manajemen proyek, dan pengujian terjadi secara bersamaan, maka risiko proyek akan berlipat ganda dan menyebabkan proyek TI gagal mencapai tujuannya.

V. Strategi Pengurangan Risiko dalam PBJ Proyek TI

Pengadaan Barang/Jasa (PBJ) untuk proyek Teknologi Informasi (TI) memiliki kompleksitas yang tinggi, dengan potensi risiko yang jauh lebih besar dibandingkan pengadaan konvensional seperti infrastruktur fisik. Risiko dapat muncul dari ketidakjelasan kebutuhan pengguna, perubahan spesifikasi teknologi di tengah jalan, hingga kegagalan integrasi sistem. Oleh karena itu, strategi pengurangan risiko harus diterapkan secara menyeluruh dan sistematis sejak tahap perencanaan hingga pasca-implementasi.

Penguatan Tahap Perencanaan

Langkah awal yang krusial dalam mitigasi risiko adalah penguatan tahap perencanaan. Banyak proyek TI gagal karena pendekatan “asal ada anggaran”, tanpa benar-benar memahami kebutuhan yang harus dipenuhi sistem. Oleh sebab itu, perlu dilakukan feasibility study atau studi kelayakan yang menyeluruh, baik dari sisi teknis, operasional, maupun finansial. Assessment kebutuhan pengguna (user requirement analysis) wajib dilakukan secara partisipatif, melibatkan pengguna akhir, manajer sistem, serta tim pengadaan.

Selanjutnya, desain awal berupa mockup, prototyping, atau proof of concept sangat penting untuk menguji kelayakan dan ekspektasi fungsionalitas. Desain ini membantu menyamakan persepsi antara penyedia dan pengguna, sekaligus menjadi alat verifikasi awal. Pendekatan berbasis risiko perlu diterapkan dalam menilai berbagai alternatif teknologi, misalnya melalui risk-impact matrix untuk melihat potensi dampak jika suatu platform gagal mendukung kebutuhan institusi.

Spesifikasi Berbasis Kinerja dan Output

Kesalahan umum dalam PBJ TI adalah membuat spesifikasi yang terlalu rinci secara teknis atau bahkan menyebut merek, sehingga mengurangi kompetisi sehat dan membuka peluang vendor lock-in. Sebaliknya, pendekatan yang lebih tepat adalah membuat spesifikasi yang berbasis kinerja (performance-based specification) dan output fungsional.

Misalnya, daripada menyebut “server dengan prosesor 24-core dan RAM 128GB”, lebih baik menuliskan “server mampu memproses transaksi data pengguna hingga 1 juta per hari dengan uptime 99,99%”. Pendekatan ini memaksa penyedia untuk menawarkan solusi berdasarkan kebutuhan fungsional, bukan sekadar hardware. Di sisi lain, penulisan spesifikasi semacam ini juga menuntut pokja pengadaan untuk benar-benar memahami fungsi akhir yang diharapkan dari sistem.

Seleksi Penyedia Berbasis Kemampuan Teknis

Strategi pengurangan risiko selanjutnya terletak pada proses seleksi penyedia. Pemilihan harus berbasis kombinasi kualitas dan biaya (Quality and Cost Based Selection/ QCBS), bukan hanya harga terendah. Evaluasi kualifikasi harus mencakup rekam jejak proyek sejenis, keberadaan tim teknis internal, serta metodologi pelaksanaan proyek. Uji teknis di laboratorium atau demo lapangan juga bisa dijadikan metode validasi awal untuk menjamin bahwa solusi yang ditawarkan benar-benar mampu berfungsi.

Manajemen Proyek dan Kontrak yang Adaptif

TI adalah bidang yang sangat dinamis. Oleh karena itu, pendekatan manajemen proyek juga harus adaptif. Model tradisional seperti waterfall cenderung rentan terhadap perubahan kebutuhan pengguna yang terjadi selama proyek berlangsung. Sebaliknya, model Agile atau iteratif, seperti Scrum atau DevOps, memungkinkan pengembangan dilakukan secara bertahap sambil menerima masukan pengguna.

Dari sisi kontrak, sistem berbasis milestone atau deliverable bertahap perlu diterapkan, misalnya melalui kontrak tahun jamak (multi-years contract) dengan indikator kinerja yang jelas untuk tiap fase. Ini tidak hanya membantu manajemen anggaran, tapi juga memberi ruang untuk evaluasi berkelanjutan.

Penguatan Aspek Keamanan dan Interoperabilitas

Keamanan siber dan interoperabilitas merupakan dua aspek yang sering terabaikan dalam PBJ TI. Padahal, keduanya merupakan sumber risiko besar. Maka, tim keamanan informasi perlu dilibatkan sejak tahap perencanaan hingga implementasi. Sistem yang dibangun harus mengikuti standar terbuka (open standard) dan menyediakan API yang terdokumentasi dengan baik agar bisa diintegrasikan dengan sistem lain. Ini menghindari sistem yang berdiri sendiri (silo) dan memperkuat ekosistem digital pemerintah.

Dokumentasi dan Transfer Pengetahuan

Transfer pengetahuan adalah aspek yang tidak kalah penting, terutama untuk menjamin keberlanjutan sistem setelah proyek selesai. Oleh karena itu, kontrak perlu mencantumkan kewajiban penyedia untuk menyusun dokumentasi lengkap, melatih pengguna secara intensif, dan menyediakan dukungan teknis (helpdesk) minimal selama 6-12 bulan pasca-go-live. Hal ini penting untuk menghindari ketergantungan jangka panjang dan memastikan instansi memiliki kapasitas internal untuk mengelola sistem.

Monitoring dan Evaluasi Berbasis Digital

Strategi terakhir adalah mengadopsi sistem monitoring berbasis digital yang memungkinkan pemantauan progres proyek secara real-time. Dashboard proyek dapat menampilkan status pekerjaan, anggaran yang terserap, dan deviasi dari jadwal. Ini penting sebagai alat peringatan dini terhadap potensi kegagalan dan sebagai bahan pengambilan keputusan cepat.

VI. Praktik Baik PBJ Proyek TI di Pemerintahan

Belajar dari praktik baik adalah salah satu pendekatan paling efektif dalam memperbaiki tata kelola PBJ proyek TI. Di Indonesia, beberapa kementerian/lembaga dan pemerintah daerah telah menunjukkan keberhasilan dalam merancang dan mengimplementasikan proyek TI yang tepat guna, efisien, serta berkelanjutan.

Satu Data Indonesia

Program nasional “Satu Data Indonesia” merupakan contoh proyek yang dikelola dengan prinsip PBJ yang baik. Salah satu kekuatan proyek ini adalah pelibatan multipihak secara sistematis, mulai dari perencanaan, penetapan standar data, hingga pengembangan portal publik. Proyek ini menekankan interoperabilitas antar sistem K/L, yang diwujudkan melalui penggunaan metadata standar, API terbuka, dan model pengelolaan data yang terdesentralisasi namun saling terhubung. Proses pengadaan perangkat lunak dan infrastruktur pendukung dilakukan dengan tender berbasis output dan dilengkapi dengan pelatihan pengguna di berbagai tingkat instansi.

SP4N-LAPOR

Sistem Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik Nasional (SP4N-LAPOR) juga merupakan contoh PBJ proyek TI yang sukses. Pendekatan iteratif dalam pengembangan aplikasinya memungkinkan tim untuk menyesuaikan fitur sesuai masukan pengguna secara berkala. Validasi dilakukan dengan pendekatan user acceptance testing yang ketat dan integrasi sistem dilakukan dengan melibatkan instansi pusat dan daerah. Proyek ini juga menunjukkan bahwa kemitraan antara pemerintah dan LSM atau komunitas digital dapat menjadi kunci keberhasilan, terutama dalam hal sosialisasi dan pelatihan.

Pemda DKI Jakarta

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta adalah salah satu daerah yang aktif mengembangkan berbagai sistem informasi berbasis TI. Proyek sistem informasi pendidikan, monitoring bansos, serta e-budgeting menjadi contoh implementasi teknologi yang strategis. PBJ untuk sistem ini dilakukan dengan pendekatan kontrak berbasis output yang terukur, seperti jumlah sekolah yang terdigitalisasi, jumlah pengguna aktif, dan efektivitas distribusi bansos. Selain itu, pelatihan pengguna dilakukan tidak hanya di tingkat kepala sekolah, tetapi juga hingga operator dan guru kelas.

Dalam setiap proyek tersebut, keberhasilan tidak hanya datang dari teknologi yang dipilih, tetapi dari perencanaan yang matang, pelibatan pemangku kepentingan, serta monitoring yang transparan dan partisipatif. Hal ini menegaskan bahwa tata kelola dan manajemen risiko merupakan komponen utama dalam PBJ proyek TI yang sukses.

VII. Kebijakan dan Dukungan Institusional

Keberhasilan pengadaan proyek TI dalam pemerintahan tidak semata ditentukan oleh pelaksana teknis di lapangan. Ia memerlukan kerangka kebijakan yang jelas, dukungan kelembagaan, serta penguatan ekosistem pengadaan yang responsif terhadap perkembangan teknologi.

Regulasi PBJ Khusus TI

Meskipun Perpres 16/2018 telah menjadi acuan utama dalam PBJ nasional, regulasi tersebut belum cukup spesifik dalam mengatur karakteristik PBJ TI. Oleh karena itu, diperlukan regulasi turunan yang secara khusus mengatur proyek TI-mulai dari standar desain sistem, manajemen data, sampai tata cara evaluasi keamanan siber. Regulasi ini juga harus mengantisipasi kontrak jangka panjang, penyimpanan cloud, dan penggunaan open source, yang selama ini belum banyak diakomodasi secara eksplisit dalam sistem PBJ nasional.

Standardisasi Arsitektur TI Pemerintah

Tanpa standar arsitektur yang seragam, berbagai sistem informasi yang dibangun oleh instansi pemerintah akan cenderung silo, sulit diintegrasikan, dan menimbulkan redundansi anggaran. Maka, penguatan kebijakan dalam bentuk Enterprise Architecture pemerintah sangat dibutuhkan. Arsitektur ini mencakup standar interoperabilitas, kebijakan keamanan, dan tata kelola data, sehingga setiap sistem yang dikembangkan dapat terhubung secara mulus dengan sistem lain di tingkat nasional maupun daerah.

Bimbingan Teknis Berkelanjutan

Peningkatan kapasitas SDM menjadi kebutuhan mutlak dalam proyek TI. Pokja pengadaan, PPK, maupun pengguna akhir harus memahami bahwa proyek TI bukan hanya soal barang, tetapi juga soal layanan, perubahan proses bisnis, dan tata kelola data. Oleh karena itu, bimbingan teknis dan pelatihan tidak bisa bersifat satu kali, melainkan harus berkelanjutan dan kontekstual dengan proyek masing-masing.

Kolaborasi dengan Asosiasi Profesional TI

Pemerintah tidak dapat bekerja sendiri dalam menjamin mutu proyek TI. Kolaborasi dengan asosiasi seperti Asosiasi Pranata Komputer Pemerintah Indonesia (APKOMINDO), Indonesia Information Technology Federation (IITF), dan komunitas developer open source bisa memberi kontribusi besar dalam hal validasi solusi, penyusunan TOR, dan pengawasan independen. Ini sekaligus membuka ruang bagi partisipasi publik dalam pengadaan TI yang transparan.

Audit TI oleh BPK/BPKP secara Tematik dan Berkala

Terakhir, agar akuntabilitas proyek TI tetap terjaga, audit tematik secara berkala oleh BPK atau BPKP sangat diperlukan. Audit ini tidak hanya fokus pada keuangan, tapi juga pada kesesuaian fungsionalitas, efektivitas pemanfaatan, dan aspek keberlanjutan sistem. Dengan demikian, hasil audit dapat menjadi masukan penting dalam perbaikan perencanaan dan penganggaran di tahun berikutnya.

VIII. Kesimpulan

Proyek teknologi informasi menawarkan potensi transformasi layanan publik yang sangat besar, tetapi juga menyimpan risiko yang kompleks dan berdampak sistemik jika tidak dikelola dengan baik. Untuk itu, pendekatan pengadaan barang/jasa harus disesuaikan dengan karakteristik unik proyek TI: mulai dari perencanaan yang berbasis kebutuhan dan risiko, seleksi penyedia yang mempertimbangkan kualitas, sampai pada implementasi yang melibatkan user secara aktif dan bertahap. Sinergi antara kebijakan PBJ, tata kelola TI, dan penguatan SDM menjadi kunci keberhasilan proyek-proyek digital di sektor pemerintahan. Dengan strategi mitigasi risiko yang sistematis, proyek TI bukan lagi menjadi jebakan pengadaan, melainkan katalis reformasi birokrasi berbasis digital.