Belanja Modal vs Belanja Operasional

Pendahuluan

Perdebatan mengenai prioritas antara belanja modal dan belanja operasional merupakan salah satu persoalan mendasar dalam tata kelola keuangan publik dan manajemen keuangan korporasi karena keputusan alokasi anggaran yang diambil bukan sekadar pilihan teknis akuntansi, melainkan juga cerminan orientasi pembangunan, kapasitas institusional, dan strategi fiskal jangka menengah hingga panjang.

Di satu sisi belanja modal – yang lazim dipahami sebagai pengeluaran untuk memperoleh, meningkatkan, atau memperpanjang masa manfaat aset tetap seperti infrastruktur jalan, jembatan, gedung, mesin, dan sistem teknologi informasi. Sering diposisikan sebagai motor penggerak produktivitas dan daya saing karena menciptakan kapasitas baru yang dapat menurunkan biaya transaksi dan mendorong investasi swasta komplementer. Sementara di sisi lain belanja operasional – yang meliputi pengeluaran rutin seperti gaji pegawai, biaya pemeliharaan, bahan habis pakai, listrik, dan layanan sehari-hari – merupakan tulang punggung berjalannya layanan publik dan kontinuitas operasional yang jika diabaikan akan merusak fungsi pelayanan meskipun infrastruktur fisik telah tersedia.

Oleh karenanya, artikel ini berupaya menguraikan secara panjang, mendalam, dan sistematis perbedaan konseptual antara belanja modal dan belanja operasional, implikasinya terhadap perencanaan anggaran, dampak ekonomi makro dan mikro, tantangan tata kelola serta pengawasan, pilihan pembiayaan dan risiko keberlanjutan fiskal, hingga rekomendasi kebijakan praktis yang dapat membantu pembuat kebijakan menyeimbangkan kedua jenis belanja agar tujuan pembangunan, efisiensi, dan akuntabilitas dapat tercapai secara simultan.

I. Definisi Konseptual dan Perbedaan Utama

Secara konseptual, belanja modal (capital expenditure atau CAPEX) dan belanja operasional (operational expenditure atau OPEX) merupakan dua kategori pengeluaran yang sangat fundamental dalam pengelolaan keuangan, baik di sektor publik maupun sektor swasta. Perbedaan mendasarnya dapat dianalisis dari tiga dimensi pokok, yaitu tujuan ekonomi, masa manfaat, dan perlakuan akuntansi.

Pertama, dari tujuan ekonomi, belanja modal berorientasi pada penciptaan, penambahan, atau peningkatan aset tetap yang mampu memberikan manfaat ekonomi atau pelayanan dalam jangka waktu lebih dari satu periode anggaran. Contohnya mencakup pembangunan gedung kantor, pengadaan mesin industri, pembangunan jembatan, pembelian tanah, atau pengembangan sistem teknologi informasi skala besar. Sifatnya adalah investasi jangka panjang yang bertujuan meningkatkan kapasitas, produktivitas, atau efisiensi suatu organisasi atau entitas. Sebaliknya, belanja operasional berorientasi pada pemeliharaan kelangsungan operasi yang bersifat rutin dan berulang setiap periode. Pengeluaran ini digunakan untuk membayar gaji pegawai, biaya listrik, air, telekomunikasi, bahan habis pakai, jasa pihak ketiga, hingga biaya perawatan aset. Tanpa OPEX yang memadai, operasional harian tidak dapat berjalan lancar, meskipun aset yang dimiliki sudah sangat modern dan canggih.

Kedua, dari dimensi masa manfaat, CAPEX umumnya menghasilkan aset yang manfaatnya dirasakan dalam jangka panjang – biasanya bertahun-tahun – dan penggunaannya sering kali lintas periode anggaran. Sementara itu, OPEX memberikan manfaat yang habis atau selesai dalam satu periode akuntansi, biasanya setahun, dan harus dialokasikan kembali setiap periode berikutnya. Misalnya, pembangunan pabrik (CAPEX) dapat memberikan manfaat hingga 20 tahun ke depan, sedangkan biaya listrik untuk menjalankan pabrik tersebut (OPEX) hanya berlaku untuk periode tertentu dan harus dibayar kembali di periode selanjutnya.

Ketiga, dari perlakuan akuntansi, belanja modal dikapitalisasi di neraca (balance sheet) sebagai aset, kemudian disusutkan atau diamortisasi sesuai masa manfaatnya. Proses depresiasi ini mencerminkan penurunan nilai ekonomis atau manfaat aset seiring waktu. Sebaliknya, belanja operasional langsung dicatat sebagai biaya (expense) dalam laporan laba rugi atau laporan realisasi anggaran pada periode berjalan, sehingga langsung mengurangi surplus atau laba bersih pada periode tersebut.

Perbedaan ini bukan sekadar teknis akuntansi, melainkan membawa implikasi praktis yang signifikan. CAPEX umumnya memerlukan studi kelayakan yang komprehensif, analisis biaya-manfaat (cost-benefit analysis), penilaian risiko proyek, dan perencanaan multiyear karena sifatnya yang besar dan berdampak panjang. OPEX, meskipun tidak memerlukan perencanaan multiyear secara detail, tetap memerlukan prediktabilitas dan kestabilan anggaran karena terkait langsung dengan keberlangsungan pelayanan dan kesejahteraan pegawai.

Dari sudut pandang manajemen risiko, CAPEX membawa risiko eksekusi proyek seperti pembengkakan biaya (cost overrun), keterlambatan jadwal, kegagalan spesifikasi teknis, hingga masalah operasional pada fase awal penggunaan. OPEX membawa risiko struktural, seperti beban biaya tetap yang terus meningkat (misalnya belanja pegawai) sehingga menggerus fleksibilitas fiskal jika pendapatan menurun.

Memahami perbedaan ini secara komprehensif akan membantu pengambil keputusan merancang kebijakan anggaran yang tidak hanya responsif terhadap kebutuhan saat ini, tetapi juga berkelanjutan dalam jangka panjang. Dengan kata lain, keseimbangan yang tepat antara CAPEX dan OPEX menjadi kunci agar organisasi tidak hanya mampu tumbuh dan berkembang, tetapi juga tetap sehat secara fiskal dan operasional.

II. Implikasi terhadap Perencanaan Anggaran dan Keberlanjutan Fiskal

Alokasi antara belanja modal dan belanja operasional bukan hanya soal teknis pembukuan, tetapi merupakan keputusan strategis yang memengaruhi kesehatan fiskal, ruang kebijakan, dan arah pembangunan jangka panjang. Dampaknya begitu krusial sehingga banyak negara maupun korporasi besar menggunakan kerangka perencanaan jangka menengah (Medium Term Fiscal Framework atau MTFF) untuk memastikan koherensi antara investasi modal dan kebutuhan operasional yang mengikutinya.

Ketika pemerintah atau organisasi memutuskan untuk meningkatkan CAPEX secara besar-besaran – misalnya membangun jaringan infrastruktur baru, memperluas fasilitas produksi, atau mengakuisisi aset strategis – tanpa memperhitungkan biaya operasional dan pemeliharaan yang akan muncul di masa depan, risiko infrastruktur terlantar menjadi nyata. Jalan tol yang megah tetapi tidak memiliki anggaran perawatan akan cepat rusak. Pabrik yang canggih namun tidak ada biaya untuk gaji operator dan perawatan mesin akan mangkrak.

Sebaliknya, jika OPEX dibiarkan mendominasi anggaran secara berlebihan tanpa investasi modal yang memadai, maka kapasitas pelayanan akan stagnan. Organisasi akan sibuk mempertahankan status quo, membayar gaji dan biaya rutin, tetapi tidak memiliki sarana baru untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas layanan. Dalam jangka panjang, hal ini dapat menghambat pertumbuhan ekonomi, menurunkan daya saing, dan membuat organisasi kehilangan peluang strategis.

Dalam konteks pembiayaan, CAPEX sering kali memerlukan diversifikasi sumber dana, seperti alokasi dari APBN/APBD, pinjaman luar negeri, penerbitan obligasi, atau skema pembiayaan campuran seperti Public-Private Partnership (PPP). Masing-masing sumber dana membawa implikasi terhadap arus kas, kewajiban pembayaran, dan profil utang jangka panjang. Oleh karena itu, analisis keberlanjutan fiskal (fiscal sustainability) sangat penting untuk memastikan bahwa pembiayaan tersebut tidak mengorbankan stabilitas fiskal di masa depan.

OPEX, di sisi lain, harus dimonitor dengan indikator rasio seperti:

  • Persentase belanja pegawai terhadap total pendapatan.
  • Rasio pemeliharaan terhadap total nilai aset.
  • Proporsi biaya operasional terhadap total belanja.

Rasio ini membantu mendeteksi potensi kebocoran anggaran dan memastikan bahwa beban OPEX tidak menggerus ruang fiskal untuk investasi.

Praktik terbaik (best practice) yang banyak digunakan adalah mengintegrasikan perencanaan CAPEX dan OPEX dalam kerangka multi-tahun. Artinya, setiap proyek modal yang direncanakan harus sudah disertai perhitungan realistis mengenai kebutuhan OPEX yang menyertainya, termasuk biaya perawatan, gaji operator, dan biaya energi. Pendekatan ini memastikan bahwa investasi benar-benar memberikan manfaat berkelanjutan dan tidak berubah menjadi beban anggaran yang tak tertanggungkan.

III. Dampak Ekonomi dan Pembangunan: Multiplier, Produktivitas, dan Kesejahteraan

Dari perspektif ekonomi makro, belanja modal (CAPEX) yang direncanakan dan dieksekusi secara efektif memiliki potensi multiplier yang relatif tinggi, yaitu kemampuan setiap rupiah yang dibelanjakan untuk memicu aktivitas ekonomi tambahan di luar nilai awal belanja tersebut. Misalnya, pembangunan jalan tol baru tidak hanya mempermudah mobilitas barang dan manusia, tetapi juga secara langsung mengurangi biaya logistik yang selama ini menjadi salah satu hambatan utama daya saing. Penurunan biaya logistik ini membuat harga barang lebih kompetitif, memperluas akses pasar bagi produsen daerah, dan memungkinkan pelaku usaha memperluas distribusi. Selain itu, perbaikan infrastruktur transportasi dapat memperpendek waktu tempuh, meningkatkan reliabilitas pasokan, dan meminimalkan risiko keterlambatan yang berdampak pada rantai pasok.

Manfaat CAPEX tidak berhenti di sana. Infrastruktur yang memadai mampu meningkatkan produktivitas faktor produksi, baik tenaga kerja maupun modal. Misalnya, sebuah kawasan industri dengan pasokan listrik stabil dan akses transportasi memadai akan mampu beroperasi lebih efisien, mengurangi biaya downtime, dan meningkatkan output per pekerja. Efek ini, jika dirasakan luas, dapat menjadi pemicu investasi swasta baru, karena pelaku usaha cenderung masuk ke wilayah dengan infrastruktur yang baik. Peningkatan investasi pada gilirannya menciptakan lapangan kerja baru, memperluas basis pajak, dan memberi dorongan tambahan bagi pertumbuhan ekonomi.

Namun, besar kecilnya efek multiplier tersebut sangat bergantung pada kualitas perencanaan dan pelaksanaan proyek. Infrastruktur yang dibangun tanpa kajian kelayakan yang tepat atau tidak sesuai kebutuhan pasar cenderung memiliki multiplier rendah, bahkan bisa menjadi beban fiskal. Kapasitas penyerapan ekonomi lokal juga mempengaruhi hasil; misalnya, jalan tol di daerah dengan aktivitas ekonomi rendah mungkin tidak segera menghasilkan peningkatan signifikan jika tidak dibarengi kebijakan pengembangan kawasan. Selain itu, keselarasan CAPEX dengan kebijakan makro lain seperti stabilitas moneter, iklim investasi, dan regulasi perdagangan menjadi faktor penting agar manfaatnya optimal.

Sementara itu, belanja operasional (OPEX) memiliki peran strategis yang berbeda. OPEX yang diarahkan pada program sosial, upah pegawai, dan subsidi merupakan instrumen vital untuk menjaga permintaan agregat dan stabilitas sosial. Misalnya, pembayaran gaji pegawai negeri dan tenaga kesehatan memastikan perputaran ekonomi lokal karena pendapatan tersebut dibelanjakan kembali di daerah. Program bantuan sosial seperti subsidi pangan atau tunjangan pendidikan dapat mengurangi ketimpangan dan memastikan kelompok rentan tetap memiliki daya beli. Dalam kondisi resesi, peningkatan OPEX yang terarah dapat menjadi alat stabilisasi jangka pendek karena langsung mengalir ke konsumsi rumah tangga, yang merupakan komponen terbesar dalam PDB di banyak negara.

Hubungan antara CAPEX dan OPEX bersifat komplementer. Infrastruktur yang dibangun tanpa anggaran perawatan yang memadai (bagian dari OPEX) akan cepat mengalami degradasi, sehingga manfaat ekonominya menyusut. Sebaliknya, layanan publik yang efisien memerlukan dukungan infrastruktur fisik dan modal manusia yang pada dasarnya adalah hasil investasi CAPEX. Ketidakseimbangan di salah satu sisi dapat menciptakan konsekuensi jangka panjang.

Dari sudut pandang distribusi manfaat, dominasi kebijakan pada CAPEX tanpa perhatian memadai terhadap OPEX berisiko menghasilkan pertumbuhan yang tidak inklusif. Infrastruktur megah mungkin dibangun, tetapi layanan dasar seperti kesehatan, pendidikan, atau keamanan tidak optimal karena kekurangan dana operasional. Sebaliknya, alokasi OPEX yang sangat besar tanpa investasi modal bisa mempertahankan status quo – layanan berjalan, tetapi tidak ada peningkatan kapasitas atau produktivitas yang signifikan. Oleh karena itu, desain kebijakan anggaran perlu melihat CAPEX dan OPEX sebagai dua sisi mata uang yang harus direncanakan secara terpadu untuk memaksimalkan multiplier, menjaga produktivitas, dan meningkatkan kesejahteraan secara berkelanjutan.

IV. Pengelolaan, Akuntabilitas, dan Tantangan Operasional

Pengelolaan belanja modal (CAPEX) membutuhkan tata kelola proyek yang sangat ketat, mulai dari perencanaan, pengadaan, pelaksanaan, hingga evaluasi. Pada tahap perencanaan, penting dilakukan studi kelayakan komprehensif untuk memastikan proyek layak secara teknis, ekonomis, dan lingkungan. Selanjutnya, mekanisme pengadaan barang/jasa harus dilakukan secara transparan dan kompetitif untuk meminimalkan risiko korupsi dan memperoleh penawaran terbaik. Manajemen kontrak memerlukan keahlian profesional agar spesifikasi teknis, jadwal pelaksanaan, dan kualitas hasil sesuai dengan dokumen kontrak.

Supervisi teknis di lapangan menjadi krusial untuk menghindari penyimpangan fisik maupun spesifikasi. Setelah proyek selesai, evaluasi pasca proyek harus dilakukan untuk mengukur value for money – apakah manfaat yang dihasilkan sebanding dengan biaya yang dikeluarkan. Tantangan klasik CAPEX antara lain optimism bias dalam estimasi biaya dan waktu, praktik rent seeking dalam pengadaan, keterbatasan kapasitas kelembagaan dalam mengelola proyek berskala besar, serta potensi fraud atau korupsi di fase konstruksi.

Sebaliknya, pengelolaan belanja operasional (OPEX) memiliki tantangan yang lebih berkelanjutan. Sistem penganggaran berbasis kinerja (performance-based budgeting) menjadi salah satu pendekatan terbaik untuk memastikan setiap rupiah yang dibelanjakan memberikan output dan outcome yang terukur. Pengendalian biaya operasional sangat penting untuk mencegah eskalasi biaya rutin yang bisa membebani anggaran, khususnya gaji dan tunjangan pegawai. Tantangannya adalah bagaimana mengendalikan biaya ini tanpa menurunkan insentif dan motivasi kerja pegawai, karena produktivitas sumber daya manusia sangat memengaruhi efektivitas layanan publik.

Dari sisi akuntabilitas dan transparansi, publikasi data CAPEX yang lengkap – meliputi dokumen tender, rincian kontrak, progres fisik, dan laporan keuangan – sangat penting untuk membangun kepercayaan publik dan mencegah penyalahgunaan dana. Untuk OPEX, penggunaan sistem e-budgeting dan e-procurement dapat mengurangi ruang pengeluaran fiktif atau mark-up pada pengadaan barang/jasa rutin.

Kapasitas sumber daya manusia merupakan faktor penentu di kedua ranah. Di CAPEX, diperlukan manajer proyek yang berpengalaman, insinyur, dan pengawas teknis yang memiliki integritas serta kompetensi teknis tinggi. Di OPEX, dibutuhkan perencana anggaran, analis kebijakan, dan pengendali biaya yang mampu mengoptimalkan alokasi sumber daya. Investasi pada peningkatan kapasitas SDM ini sendiri dapat dianggap sebagai belanja modal non-fisik yang memberikan efek jangka panjang pada efisiensi dan efektivitas pengelolaan keuangan.

V. Pembiayaan, Risiko, dan Strategi Keberlanjutan

Dalam proses pengambilan keputusan antara memperbesar porsi belanja modal (CAPEX) atau belanja operasional (OPEX), pembuat kebijakan tidak hanya dihadapkan pada pertimbangan manfaat langsung, tetapi juga pada evaluasi risiko fiskal jangka panjang dan opsi pembiayaan yang tersedia. Setiap keputusan belanja membawa konsekuensi bagi kesehatan fiskal di masa depan, terutama karena komitmen anggaran pemerintah tidak hanya bersifat tahunan, tetapi bisa melekat dalam jangka panjang.

Pembiayaan belanja modal melalui utang jangka panjang sering kali dipandang wajar, bahkan strategis, apabila proyek yang dibiayai memiliki aliran manfaat (benefit stream) atau pendapatan yang jelas dan terukur untuk menutup biaya pembiayaan. Misalnya, pembangunan pelabuhan baru yang akan menghasilkan pendapatan dari biaya bongkar muat dan jasa kepelabuhanan bisa menjadi pembenaran yang kuat untuk menggunakan pinjaman luar negeri atau obligasi daerah. Namun, jika utang digunakan untuk membiayai OPEX yang sifatnya rutin – seperti pembayaran gaji pegawai atau subsidi konsumsi – tanpa ada sumber pendapatan baru yang jelas, hal ini menandakan masalah keberlanjutan fiskal. Dalam skenario seperti ini, beban pembayaran bunga dan pokok utang di masa depan akan menggerus ruang fiskal yang seharusnya dialokasikan untuk layanan dasar publik.

Strategi keberlanjutan anggaran menuntut penerapan konsep lifecycle costing, yaitu perhitungan biaya total kepemilikan aset yang mencakup seluruh fase: biaya investasi awal (CAPEX), biaya operasi dan pemeliharaan (OPEX), hingga biaya dekomisioning atau penghapusan aset di akhir umur ekonomisnya. Dengan pendekatan ini, keputusan investasi tidak hanya dilihat dari angka CAPEX awal yang sering kali terlihat “terjangkau”, tetapi juga mempertimbangkan biaya jangka panjang yang bisa saja jauh lebih besar dari investasi awal itu sendiri.

Penggunaan mekanisme pembiayaan inovatif seperti Public-Private Partnership (PPP) atau Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) menjadi salah satu cara untuk mengalihkan sebagian risiko kepada sektor swasta. Dalam skema ini, pemerintah tidak perlu membayar seluruh biaya di awal, tetapi membaginya dengan pihak swasta yang memperoleh imbal hasil melalui mekanisme tarif, availability payment, atau bentuk kontrak lainnya. Namun, agar PPP memberikan manfaat optimal, diperlukan struktur kontrak yang adil, transparan, dan jelas pembagian risikonya. Tanpa kejelasan ini, PPP justru bisa menjadi sumber beban fiskal tersembunyi yang muncul di kemudian hari.

Langkah antisipatif lainnya adalah pembentukan cadangan fiskal (fiscal reserve) dan post-project maintenance fund, yaitu dana khusus yang dipersiapkan untuk membiayai pemeliharaan aset setelah proyek selesai. Dengan adanya dana ini, pemerintah dapat memastikan bahwa aset modal – seperti jalan, jembatan, atau sistem IT – tetap berfungsi optimal tanpa harus mengorbankan anggaran OPEX rutin yang digunakan untuk pelayanan publik. Strategi ini juga membantu menghindari pola umum di mana infrastruktur baru cepat menurun kualitasnya karena minimnya anggaran perawatan.

VI. Rekomendasi Kebijakan dan Praktis untuk Menyeimbangkan CAPEX dan OPEX

Untuk mencapai keseimbangan optimal antara belanja modal dan operasional, dibutuhkan langkah-langkah kebijakan yang tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga mempertimbangkan dinamika politik anggaran dan persepsi publik. Keseimbangan ini penting karena CAPEX dan OPEX memiliki sifat saling melengkapi – investasi modal akan sia-sia tanpa dukungan biaya operasional yang memadai, sementara layanan publik akan stagnan tanpa investasi modal untuk memperluas kapasitas atau meningkatkan kualitas.

  • Pertama, integrasi perencanaan CAPEX dan OPEX dalam kerangka perencanaan anggaran menengah seperti Medium-Term Budget Framework (MTBF) atau Medium-Term Fiscal Framework (MTFF) adalah keharusan. Dengan pendekatan ini, setiap proyek modal yang diusulkan harus disertai rencana alokasi OPEX yang realistis untuk mendukung operasional dan pemeliharaannya selama umur ekonomis aset tersebut.
  • Kedua, penerapan studi kelayakan komprehensif yang mencakup requirement technical design dan penilaian implikasi operasional jangka panjang. Studi ini tidak boleh hanya menilai manfaat ekonomi di awal, tetapi juga harus mengantisipasi kebutuhan biaya operasional tambahan yang akan timbul. Misalnya, pembangunan rumah sakit baru tidak hanya membutuhkan biaya konstruksi, tetapi juga perekrutan tenaga medis, pembelian peralatan, dan biaya utilitas yang berkelanjutan.
  • Ketiga, peningkatan kapasitas pengadaan dan manajemen proyek melalui pelatihan, penerapan standar kontrak yang baik, dan penggunaan sistem e-procurement yang transparan. Langkah ini bertujuan mencegah praktik korupsi, memperkecil potensi keterlambatan, dan meningkatkan efisiensi penggunaan dana publik.
  • Keempat, evaluasi efektivitas belanja harus berbasis indikator hasil (outcomes), bukan hanya pada input atau output fisik. Artinya, keberhasilan proyek tidak diukur dari seberapa banyak gedung yang dibangun, tetapi dari seberapa besar peningkatan kualitas layanan atau manfaat ekonomi yang dihasilkan.
  • Kelima, penerapan lifecycle costing secara konsisten, disertai pelaporan terintegrasi yang memisahkan CAPEX dan OPEX secara jelas. Transparansi ini memungkinkan publik dan lembaga pengawas untuk menilai kelayakan serta kesinambungan pengeluaran.
  • Keenam, mempertimbangkan penggunaan instrumen pembiayaan campuran (blended finance) yang memanfaatkan dana publik, swasta, dan lembaga donor secara sinergis. Untuk proyek-proyek dengan nilai sosial tinggi tetapi daya tarik komersial rendah, pemerintah dapat menyediakan insentif fiskal atau jaminan tertentu agar sektor swasta mau berpartisipasi.

Kesimpulan

Belanja modal dan belanja operasional bukanlah dua pilihan yang saling meniadakan, melainkan dua komponen anggaran yang saling membutuhkan untuk menciptakan ekosistem pembangunan yang berkelanjutan. Belanja modal menyediakan fondasi fisik dan kapasitas awal, sedangkan belanja operasional memastikan fondasi tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan.

Keputusan alokasi anggaran yang optimal menuntut perencanaan strategis multi-tahun yang memadukan analisis biaya-manfaat (cost-benefit analysis), perhitungan biaya siklus hidup (lifecycle costing), dan penilaian risiko fiskal jangka panjang. Tanpa integrasi ini, investasi modal berisiko menjadi aset mangkrak, atau belanja operasional membengkak tanpa dukungan infrastruktur memadai.

Praktik tata kelola yang baik menjadi kunci, mulai dari pengadaan yang transparan, manajemen proyek yang profesional, hingga pelaporan yang akuntabel. Pendekatan berbasis hasil (outcome-based approach) memastikan bahwa setiap rupiah yang dibelanjakan – baik untuk membangun kapasitas baru maupun mempertahankan layanan yang ada – benar-benar memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat dan perekonomian.

Dengan mengelola CAPEX dan OPEX secara sinergis, memanfaatkan opsi pembiayaan yang bijak, dan menerapkan prinsip keberlanjutan fiskal, pemerintah dan organisasi dapat memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak hanya cepat, tetapi juga inklusif, tahan lama, dan berpihak pada kesejahteraan masyarakat luas.