Pemetaan Kebutuhan vs Realisasi Anggaran

Pendahuluan

Pemetaan kebutuhan dan realisasi anggaran adalah dua proses kunci dalam tata kelola keuangan publik maupun organisasi swasta. Pemetaan kebutuhan (needs mapping) bertujuan mengidentifikasi, memprioritaskan, dan merinci apa yang harus dibeli atau dikerjakan – baik berupa barang, jasa, maupun investasi – agar tujuan organisasi tercapai. Realisasi anggaran adalah proses implementasi anggaran yang telah disetujui: pencairan, pengadaan, pelaksanaan, dan pelaporan penggunaan dana. Idealnya, angka kebutuhan yang dipetakan di awal tercermin dalam realisasi anggaran secara akurat; dalam praktiknya sering terjadi gap atau selisih antara rencana kebutuhan dan apa yang terealisasi.

Artikel ini membahas hubungan antara pemetaan kebutuhan dan realisasi anggaran secara menyeluruh: konsep dasar, proses, penyebab kesenjangan, metode analisis, praktik terbaik untuk menyelaraskan keduanya, strategi pengoptimalan realisasi, contoh penerapan, dan rekomendasi kebijakan. Disusun untuk membantu pembuat kebijakan, pengelola anggaran, pejabat pengadaan, dan praktisi manajemen proyek agar dapat menutup jurang antara aspirasi kebutuhan dan keterbatasan anggaran. Pembahasan disajikan dalam bahasa mudah dipahami dan dilengkapi langkah praktis sehingga bisa menjadi panduan operasional dalam kegiatan perencanaan dan penganggaran.

Konsep Pemetaan Kebutuhan: Dari Inventarisasi ke Prioritisasi

Pemetaan kebutuhan adalah tahapan awal yang menentukan arah seluruh siklus penganggaran. Secara praktis, pemetaan dimulai dari inventarisasi kebutuhan yang bersumber dari unit-unit kerja: usulan program, kegiatan, dan sub-kegiatan yang menjawab masalah atau peluang organisasi. Inventarisasi harus mencakup identifikasi barang/jasa yang diperlukan, volume, spesifikasi teknis sederhana, estimasi biaya kasar, waktu pelaksanaan yang diharapkan, serta urgensi dan manfaatnya bagi penerima layanan.

Namun pemetaan kebutuhan tidak cukup berhenti pada daftar. Tahapan berikutnya adalah analisis kebutuhan – menilai relevansi, efektivitas, dan efisiensi setiap usulan. Analisis ini membantu menentukan prioritas: mana yang wajib didanai pada tahun berjalan, mana yang dapat ditunda, dan mana yang sebaiknya dikejar melalui skema pembiayaan lain (pinjaman, bantuan donor, kerjasama pihak ketiga). Metode prioritisasi bisa beragam: scoring berbasis kriteria (mis. dampak layanan, urgensi, kesiapan pelaksanaan), analisis cost-benefit sederhana, atau alignment dengan target strategis (RPJMN/RPJMD/renstra institusi).

Dokumentasi pemetaan kebutuhan biasanya dituangkan dalam dokumen teknis seperti Rencana Kerja dan Anggaran (RKA), Rencana Umum Pengadaan (RUP), atau daftar kebutuhan tahunan unit. Kualitas dokumentasi memengaruhi akurasi HPS (Harga Perkiraan Sendiri) dan pemaketan paket pengadaan. Di tahap perencanaan, penting pula melakukan market sounding: konsultasi singkat dengan pasar untuk mengetahui ketersediaan barang/jasa serta rentang harga yang realistis. Market sounding sederhana membantu memangkas risiko HPS tidak realistis yang nanti berkontribusi pada ketimpangan antara rencana dan realisasi.

Aspek lain yang kerap terlupakan adalah penghitungan biaya siklus hidup (life-cycle cost). Misalnya, membeli peralatan medis murah mungkin tampak hemat awalnya, tetapi biaya operasional, pemeliharaan, dan penggantian cepat bisa membuat pilihan tersebut jauh lebih mahal dalam jangka menengah. Menyertakan pendekatan siklus hidup memperbaiki kualitas pemetaan kebutuhan sehingga realisasi anggaran menghasilkan manfaat berkelanjutan.

Terakhir, pemetaan kebutuhan yang baik bersifat partisipatif: melibatkan pemangku kepentingan (pelaksana lapangan, pengguna akhir, unit teknis) untuk mengurangi blind-spot perencana. Dengan demikian, pemetaan bukan kegiatan administratif semata, melainkan alat strategis yang bila dikelola serius akan meminimalkan gap antara apa yang dibutuhkan dan apa yang bisa direalisasikan.

Realisasi Anggaran: Proses, Mekanisme, dan Tantangan Operasional

Realisasi anggaran adalah proses konkret menggunakan anggaran yang telah ditetapkan. Secara garis besar, realisasi melalui beberapa tahap: persiapan administrasi (dokumen anggaran dan persetujuan), pengadaan barang/jasa (sesuai metode yang dipilih: lelang, penunjukan langsung, e-purchasing), pelaksanaan kontrak, pembayaran, pelaporan keuangan, dan audit. Masing-masing langkah memiliki mekanisme kontrol yang berbeda; misalnya persetujuan SPM (Surat Perintah Membayar) akan diproses jika dokumen pendukung (kontrak, berkas SPK, berita acara) lengkap.

Satu tantangan utama adalah timing: ketersediaan anggaran di awal tahun tidak selalu sama dengan kebutuhan operasional yang bersifat musiman atau berkaitan dengan jendela pelaksanaan. Proyek fisik, misalnya, memiliki jendela cuaca untuk pengaspalan atau pekerjaan struktur; keterlambatan proses pengadaan dapat memindahkan realisasi keluar periode ideal sehingga menimbulkan pembengkakan biaya. Sementara itu, aturan fiskal dan cut-off anggaran (closing) pada akhir tahun memaksa percepatan realisasi yang kadang menyebabkan pembelian terburu-buru tanpa pertimbangan kebutuhan matang.

Birokrasi dan prosedur administratif juga memengaruhi kecepatan realisasi. Verifikasi dokumen yang berlapis, penerbitan izin internal, dan mekanisme klaim pembayaran yang rumit bisa menunda aliran dana ke kontraktor/penyedia sehingga pelaksanaan terhambat. Selain itu, sistem pengadaan elektronik yang belum terintegrasi atau sumber daya manusia yang belum mahir mengoperasikannya turut menjadi hambatan.

Dari sisi pengendalian anggaran, realisasi harus berjalan sesuai ketentuan: penyesuaian anggaran (revisi APBD/APBN) mungkin diperlukan jika kebutuhan awal berubah substantif. Namun proses revisi memerlukan waktu dan persetujuan tingkat lebih tinggi sehingga tidak bisa menjadi solusi cepat. Di sisi lain, pengawasan internal dan eksternal (inspektorat, BPK) menuntut kepatuhan prosedural yang ketat-ini baik untuk akuntabilitas tetapi bisa memperlambat pelaksanaan bila tidak diimbangi oleh kesiapan administrasi.

Kesimpulannya, realisasi anggaran adalah aktivitas yang memerlukan sinkronisasi teknis, administratif, dan waktu. Memahami bottleneck dalam jalur realisasi adalah kunci untuk memperkecil gap dengan pemetaan kebutuhan.

Kendala dan Penyebab Selisih Antara Kebutuhan dan Realisasi

Selisih antara pemetaan kebutuhan dan realisasi anggaran muncul dari kombinasi faktor teknis, administratif, dan politik. Kendala dan Penyebab Selisih Antara Kebutuhan dan Realisasi yaitu :

  1. Kesalahan perencanaan: HPS yang tidak akurat, spesifikasi teknis yang kabur, atau pemaketan paket yang tidak tepat (terlalu besar sehingga menyulitkan partisipasi pasar, atau terlalu kecil sehingga tidak ekonomis) dapat menyebabkan tender gagal atau harga penawaran jauh di atas estimasi, sehingga realisasi tertunda atau dikurangi.
  2. Ketidakpastian anggaran. Perubahan alokasi anggaran di tengah tahun – akibat refocusing, realokasi, atau pemotongan anggaran – memaksa revisi prioritas. Selain itu, penundaan penerimaan dana (transfer pusat-ke-daerah atau realisasi pendapatan) membuat beberapa kegiatan tertunda hingga dana tersedia.
  3. Masalah pasar dan pasokan. Kenaikan harga komoditas, kelangkaan bahan, atau gangguan rantai pasok – yang kini semakin sering – membuat estimasi biaya awal invalid. Contoh klasik: lonjakan harga baja atau aspal yang mendadak karena faktor global akan membuat biaya proyek infrastruktur membengkak.
  4. Kapasitas institusi lemah. Sumber daya manusia yang kurang terlatih dalam penyusunan dokumen pengadaan, perencanaan anggaran, atau pengelolaan kontrak menyebabkan proses berjalan lambat, banyak revisi, dan kesalahan administrasi yang merugikan realisasi. Kurangnya sistem informasi terintegrasi juga membuat pelacakan kebutuhan dan realisasi sulit dilakukan.
  5. Faktor politik dan kepentingan: tekanan untuk menyalurkan anggaran ke proyek populis menjelang pemilu atau pengaruh kelompok berkepentingan bisa mengubah prioritas semula. Proyek yang dipaksakan tanpa pemetaan kebutuhan matang berpotensi menyerap anggaran tapi memberikan sedikit manfaat.
  6. Kendala administratif seperti proses lelang yang harus diulang karena sanggahan atau cacat prosedural, masalah kepatuhan Hukum Pengadaan, hingga hambatan perizinan di lapangan (izin lingkungan, lahan, atau konstruksi) turut menunda realisasi.
  7. Fenomena force majeure atau kondisi darurat (bencana alam, pandemi) seringkali mengalihkan anggaran dan sumber daya secara tiba-tiba sehingga realisasi rencana awal berubah drastis.

Secara kumulatif, faktor-faktor ini menjelaskan mengapa gap antara kebutuhan dan realisasi sering terjadi; kuncinya adalah mendeteksi penyebab dominan dalam konteks lokal agar solusi bisa tepat sasaran.

Metode dan Alat untuk Menganalisis Kesenjangan (Gap Analysis)

Mengidentifikasi gap antara kebutuhan dan realisasi memerlukan metode analitis yang sistematis. Salah satu pendekatan yang umum adalah gap analysis kuantitatif dan kualitatif. Secara kuantitatif, data kebutuhan (dalam HPS/RUP/RKA) dibandingkan dengan realisasi keuangan per program/kegiatan berdasarkan sistem informasi akuntansi pemerintah (SIA) atau dashboard manajemen proyek. Analisis ini menunjukkan berapa besar persentase realisasi terhadap rencana, tren bulanan, dan pola keterlambatan.

Secara kualitatif, wawancara dengan unit pelaksana, pengadaan, dan pengguna akhir memberikan konteks mengapa perbedaan terjadi: apakah karena proses administratif, masalah pengadaan, hambatan lapangan, atau faktor eksternal. Metode mixed-method (kombinasi kuantitatif-kualitatif) memberi gambaran lengkap, sebab angka tanpa konteks sering menyesatkan.

Tool yang berguna antara lain: dashboard realisasi anggaran berbasis BI (Business Intelligence), Gantt chart untuk melihat keterkaitan jadwal dan milestone, serta heatmap risiko untuk memvisualisasikan area dengan gap besar. Audit trail digital dari sistem pengadaan elektronik membantu menelusuri kapan dan mengapa tender gagal, berapa lama proses sanggah, dan titik-titik administrasi yang memakan waktu.

Analisis varians (variance analysis) juga penting: menguraikan penyebab perbedaan biaya (volume berbeda, harga per unit berbeda, atau kombinasi keduanya). Untuk proyek infrastruktur, Earned Value Management (EVM) dapat diterapkan untuk menilai kinerja biaya dan jadwal secara bersamaan: mengukur nilai pekerjaan yang telah diselesaikan dibandingkan dengan biaya aktual dan rencana. EVM membantu mengidentifikasi pergeseran awal sebelum menjadi masalah besar.

Selain itu, scenario analysis (analisis skenario) berguna saat menghadapi ketidakpastian pasar: membuat beberapa skenario (optimis, realistis, pesimis) dan menilai dampak perubahan harga atau waktu pada realisasi anggaran. Sensitivity analysis memperlihatkan elemen mana (harga bahan, upah, waktu) yang paling berpengaruh terhadap biaya total.

Terakhir, benchmarking terhadap proyek sejenis atau referensi historis membantu menetapkan ekspektasi yang realistis. Mengkombinasikan alat kuantitatif, wawancara kualitatif, dan teknologi visualisasi menciptakan dasar yang kuat untuk rekomendasi perbaikan.

Praktik Terbaik dalam Menyusun Pemetaan Kebutuhan yang Realistis

Membuat pemetaan kebutuhan yang realistis membutuhkan kombinasi metode teknis, kolaborasi, dan disiplin administrasi, berikut :

  1. Lakukan due diligence dan market sounding awal. Libatkan tim pengadaan untuk menanyakan kisaran harga pasar, lead time penyedia, dan alternatif spesifikasi yang lebih ekonomis tanpa mengorbankan mutu. Market sounding ini sederhana namun efektif mengurangi gap HPS vs harga tender.
  2. Gunakan pendekatan berbasis bukti (evidence-based planning). Alih-alih menyalin kebutuhan dari tahun sebelumnya, kumpulkan data pemakaian riil, kondisi aset, dan indikator kinerja yang relevan. Misalnya untuk pengadaan ATK (alat tulis kantor), gunakan data konsumsi tiga tahun terakhir untuk menghitung kebutuhan tahun depan dengan koreksi inflasi.
  3. Terapkan pemaketan yang logis. Memecah paket besar menjadi beberapa paket yang manageable dapat meningkatkan partisipasi pasar dan fleksibilitas anggaran. Namun hindari fragmentasi berlebih yang membuat biaya administrasi membengkak. Balance antara ukuran ekonomis dan kelayakan teknis sangat penting.
  4. Sertakan life-cycle costing untuk barang modal. Perhitungkan biaya operasi, pemeliharaan, dan disposisi saat memilih opsi pengadaan. Keputusan awal yang mempertimbangkan siklus hidup mengurangi biaya tak terduga setelah realisasi.
  5. Partisipasi pemangku kepentingan. Libatkan pengguna akhir, teknisi, dan unit keuangan dalam workshop perencanaan agar kebutuhan diformulasikan dengan perspektif implementasi dan pembiayaan. Partisipatif juga meningkatkan komitmen unit terhadap realisasi.
  6. Siapkan rencana kontingensi. Alokasikan buffer anggaran untuk risiko yang teridentifikasi (mis. fluktuasi harga, keterlambatan pasokan). Buffer ini bukan untuk pemborosan, tapi sebagai alat manajemen risiko agar tidak perlu revisi mendadak saat kondisi berubah.
  7. Jadwalkan pemetaan kebutuhan lebih awal dan hindari pemaksaan memasukkan paket besar di akhir tahun. Perencanaan lebih awal memberi waktu untuk verifikasi, konsultasi pasar, dan penyusunan dokumen pengadaan yang baik.
  8. Dokumentasikan asumsi-asumsi perencanaan (harga acuan, kurs, estimasi volume) dalam dokumen RKA/RUP agar saat terjadi selisih, penyebabnya mudah dilacak. Praktik-praktik ini membentuk pemetaan kebutuhan yang tahan uji dan lebih mudah direalisasikan.

Strategi Mengoptimalkan Realisasi Anggaran: Dari Operasional sampai Kebijakan

Mengoptimalkan realisasi anggaran memerlukan intervensi di tingkat operasional, sistem, dan kebijakan. Di tingkat operasional, percepat proses pengadaan dengan digitalisasi dan standar template dokumen. Penggunaan SPSE terintegrasi, checklist pengadaan, serta template KAK/HPS yang sudah terverifikasi mengurangi revisi dokumen dan mempercepat lelang. Selain itu, memperkuat kapasitas SDM (pelatihan pengadaan, manajemen kontrak, dan penggunaan sistem) meningkatkan akurasi proses sehingga pengadaan tidak terulang karena cacat dokumen.

Di sisi manajemen proyek, sinkronkan jadwal pengadaan dengan critical path aktivitas fisik. Menyelaraskan milestone pembayaran dan waktu pelaksanaan mengurangi risiko kehilangan jendela cuaca atau keterlambatan suplai. Terapkan monitoring berkala berbasis KPI (mis. persentase progres fisik vs realisasi keuangan) untuk mengidentifikasi bottleneck secara cepat.

Secara kebijakan, pertimbangkan instrumen fleksibilitas anggaran: penyisihan dana kontingensi, mekanisme reprogramming yang lebih cepat untuk kebutuhan mendesak, dan prosedur persetujuan perubahan yang efisien namun tetap transparan. Kebijakan yang mempersulit revisi seringkali justru menambah gap karena ketika penyesuaian diperlukan, prosesnya memakan waktu panjang.

Selain itu, lakukan integrasi perencanaan dan penganggaran lintas unit: sistem yang memaksa input kebutuhan dalam format standar dan kolom justification membantu reviewer memahami urgensi paket. Integrasi data (asset registry, RUP, RKA, dan pelaporan realisasi) memudahkan analisis dan pemantauan.

Meningkatkan transparansi publik juga berdampak positif. Publikasi RUP, pengumuman tender, dan realisasi secara periodik menambah tekanan akuntabilitas sehingga unit kerja cenderung menuntaskan paket sesuai rencana. Mekanisme umpan balik publik dapat membantu mendeteksi kendala di lapangan lebih awal.

Terakhir, gunakan kontrak yang cerdas: performance-based contract atau output-based budgeting untuk pekerjaan yang memungkinkan penilaian hasil, bukan hanya input. Kontrak semacam ini meningkatkan fokus pada hasil sehingga realisasi anggaran diarahkan pada manfaat nyata, bukan sekadar serapan anggaran.

Studi Kasus Hipotetis: Mengilustrasikan Gap dan Solusinya

Untuk mengilustrasikan dinamika pemetaan kebutuhan versus realisasi, mari gunakan studi kasus hipotetis: Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten X merencanakan pengaspalan 20 km jalan desa tahun anggaran 20XX. Pemetaan kebutuhan menyusun volume, spesifikasi aspal, HPS berdasarkan tender serupa tahun lalu, dan jadwal pelaksanaan selama musim kemarau. RUP memuat paket dengan nilai Rp 10 miliar.

Selama proses pengadaan, terungkap bahwa harga aspal global naik 25% akibat gangguan suplai. Selain itu, jumlah peserta tender sedikit karena paket dianggap terlalu besar bagi kontraktor lokal yang umumnya menawar untuk paket lebih kecil. Tender berulang menghasilkan pemenang dengan penawaran 20% lebih tinggi dari HPS sehingga PPK memutuskan menunda sebagian paket untuk menunggu anggaran tambahan atau alternatif penawaran.

Akan tetapi, penundaan masuk musim hujan sehingga jendela pengaspalan yang ideal menjadi sempit. Akibatnya, realisasi fisik hanya mencapai 40% pada akhir tahun dan sebagian anggaran harus dialihkan ke perbaikan darurat pada jalan lain setelah curah hujan menyebabkan kerusakan. Gap antara rencana kebutuhan (20 km) dan realisasi (8 km) muncul karena kombinasi faktor harga, pemaketan, dan timing.

Solusi praktis yang bisa diambil di contoh ini: pertama, pecah paket menjadi dua atau tiga paket yang lebih kecil sehingga menarik lebih banyak kontraktor lokal dan memungkinkan kompetisi harga lebih sehat. Kedua, masukkan klausul penyesuaian harga berbasis indeks atau formula yang transparan untuk mengatasi fluktuasi harga material penting. Ketiga, lakukan market sounding awal untuk mengukur kapasitas kontraktor dan ketersediaan material yang realistis. Keempat, alokasikan buffer anggaran untuk volatilitas harga dan buat contingency plan jika jendela cuaca bergeser.

Dengan kombinasi pemetaan yang lebih realistis, pemaketan strategis, dan mekanisme kontrak adaptif, gap di contoh hipotetis ini dapat diminimalkan sehingga target infrastruktur tetap bisa dicapai tanpa pemborosan anggaran.

Rekomendasi Kebijakan dan Implementasi untuk Menutup Gap

Berdasarkan analisis di atas, ada beberapa rekomendasi kebijakan dan langkah implementasi yang bisa membantu menutup gap antara kebutuhan dan realisasi.

  1. Perkuat Integrasi Data Perencanaan dan Keuangan: Bangun sistem informasi terintegrasi yang menghubungkan asset registry, RUP, RKA, SPSE, dan pelaporan realisasi sehingga data kebutuhan dan realisasi dapat dilacak real-time. Interoperabilitas data mempercepat pengambilan keputusan.
  2. Standardisasi Dokumen Perencanaan dan HPS: Kembangkan template RKA/RUP/HPS yang memuat asumsi, metodologi penghitungan, dan referensi harga agar estimasi transparan dan mudah direvisi bila terjadi perubahan harga.
  3. Pelatihan dan Capacity Building: Investasi pada pelatihan penyusunan dokumen pengadaan, manajemen kontrak, dan penggunaan tools analitis (EVM, dashboard BI) meningkatkan kompetensi tim yang berperan langsung dalam menyusun pemetaan kebutuhan dan memastikan realisasi.
  4. Fleksibilitas Kebijakan Anggaran Terkendali: Sediakan mekanisme revisi cepat dan dana kontingensi yang terukur untuk menanggapi perubahan kondisi pasar atau kebutuhan mendesak tanpa harus menunggu proses legislasi panjang.
  5. Mekanisme Kontrak Adaptif: Terapkan klausul penyesuaian harga, milestone berbasis output, dan opsi pemecahan paket untuk meningkatkan fleksibilitas pelaksanaan dan menjaga keseimbangan antara kepentingan pemberi kerja dan penyedia.
  6. Penguatan Market Sounding dan Engagement Penyedia: Melakukan konsultasi pasar secara berkala membantu perencana memahami dinamika pasar serta kapasitas penyedia lokal sehingga pemaketan menjadi tepat.
  7. Transparansi dan Pengawasan Publik: Publikasi RUP dan realisasi anggaran, serta mekanisme pengaduan publik, memberi tekanan akuntabilitas yang menurunkan praktik sub-optimal.
  8. Audit Proaktif dan Feedback Loop: Lakukan audit interim yang fokus pada titik rawan gap, dan gunakan temuan sebagai input perbaikan proses perencanaan tahun berikutnya.

Implementasi rekomendasi ini harus disertai roadmap perubahan organisasi, alokasi anggaran untuk digitalisasi dan pelatihan, serta komitmen pimpinan. Perubahan bertahap dengan pilot project (mis. satu unit kerja atau satu sektor) dapat menunjukkan manfaat nyata sebelum skala diperluas.

Kesimpulan

Pemetaan kebutuhan dan realisasi anggaran adalah dua sisi koin yang mesti selaras agar tujuan organisasi tercapai secara efisien, efektif, dan akuntabel. Pemetaan kebutuhan yang matang-berdasarkan data, market sounding, life-cycle cost, dan partisipasi pemangku kepentingan-menjadi fondasi untuk penyusunan anggaran yang realistis. Di sisi lain, realisasi anggaran menuntut proses operasional yang andal: pengadaan yang cepat dan sah, manajemen kontrak yang efektif, serta pengendalian administrasi yang proporsional. Gap antara keduanya muncul karena kombinasi penyebab: perencanaan kurang teliti, fluktuasi pasar, kapasitas institusi yang lemah, hambatan administratif, dan dinamika politik atau kondisi darurat.

Mengatasi gap memerlukan pendekatan multi-dimensi: penerapan metode analisis (gap analysis, variance analysis, EVM), penggunaan alat digital untuk monitoring, perbaikan kapasitas SDM, desain kontrak yang adaptif, serta kebijakan anggaran yang menyediakan fleksibilitas terkontrol. Praktik terbaik meliputi pemaketan paket yang strategis, standardisasi dokumen perencanaan, rencana kontingensi, dan life-cycle costing. Di tingkat kebijakan, integrasi data, transparansi publik, dan mekanisme revisi cepat menjadi kunci agar perencanaan tetap relevan di tengah perubahan kondisi.

Lebih penting lagi, proses ini bukan sekadar teknis-ia butuh perubahan budaya kerja: dari sekadar “serapan anggaran” menuju orientasi pada hasil nyata (outcome). Perencana harus menilai setiap kebutuhan dari lensa manfaat publik dan keberlanjutan; pelaksana harus memprioritaskan mutu dan waktu; pengawas harus memperkuat kontrol berbasis risiko. Dengan kolaborasi antar-unit, dukungan teknologi, dan kebijakan yang mendukung adaptasi, gap antara kebutuhan dan realisasi dapat diperkecil sehingga anggaran publik dan organisasi bekerja optimal untuk kesejahteraan masyarakat.