Aturan PBJ pada Proyek Kerja Sama Pemerintah Swasta (KPBU)

1. Pendahuluan

Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) menjadi salah satu mekanisme penting dalam penyelenggaraan proyek infrastruktur dan layanan publik yang membutuhkan pembiayaan, kemampuan teknis, atau inovasi dari sektor swasta. Di banyak negara, termasuk Indonesia, KPBU dipandang sebagai solusi untuk menutup gap pendanaan, mempercepat penyediaan layanan publik, serta memanfaatkan keahlian manajemen proyek swasta. Namun karena melibatkan dana publik, hak dan kewajiban publik, serta risiko yang timbul dari kontrak jangka panjang, pelaksanaan KPBU harus tunduk pada aturan pengadaan barang/jasa (PBJ) dan tata kelola yang ketat agar kepentingan publik terlindungi.

Pendahuluan ini bertujuan memberi gambaran bahwa pembahasan aturan PBJ pada proyek KPBU bukan sekadar soal prosedur tender. Ia meliputi aspek hukum, perencanaan anggaran, desain kontrak komprehensif, struktur pembiayaan, manajemen risiko, hingga mekanisme pengawasan dan audit. Proyek KPBU seringkali berbeda dengan pengadaan konvensional-karena bersifat multi-tahun, melibatkan kombinasi modal publik-swasta, dan dapat mencakup transfer risiko yang kompleks-maka aturan PBJ harus diterjemahkan secara adaptif namun tetap memegang prinsip tata kelola publik: transparansi, akuntabilitas, persaingan sehat, efisiensi, serta fairness.

Dalam konteks ini, artikel keseluruhan akan menguraikan konsep KPBU, kaitannya dengan PBJ, kerangka hukum utama yang relevan, tahapan perencanaan dan kesiapan pengadaan khusus KPBU, mekanisme seleksi mitra swasta, elemen penting dalam struktur kontrak dan cara penyusunan mekanisme pembayaran atau pembiayaan, strategi manajemen risiko dan jaminan kinerja, serta tata cara pengawasan, audit, dan kepatuhan yang wajib. Setiap bagian akan membahas poin-poin praktis dan prinsip pengambilan kebijakan yang perlu diperhatikan oleh pembuat kebijakan, pejabat pengadaan, serta pihak swasta yang berpartisipasi.

Tujuan utamanya adalah memfasilitasi pemahaman komprehensif: bagaimana aturan PBJ harus diimplementasikan dalam kerangka KPBU yang kompleks sehingga proyek dapat memenuhi tujuan pembangunan publik tanpa mengorbankan akuntabilitas dan proteksi bagi anggaran negara. Pembaca diharapkan memperoleh panduan konseptual dan praktis yang membantu merancang, menilai, dan mengelola KPBU sesuai prinsip-prinsip pengadaan publik yang baik.

2. Konsep KPBU dan Hubungannya dengan PBJ

KPBU (Public-Private Partnership/PPP dalam istilah internasional) pada dasarnya adalah bentuk kontraktual di mana pihak publik dan swasta berbagi tanggung jawab, risiko, dan manfaat untuk menyediakan infrastruktur atau layanan publik. Bentuk KPBU bisa bermacam-macam: dari penyediaan desain & konstruksi (DB), desain-bangun-operasikan (DBO), hingga skema build-operate-transfer (BOT) atau availability payment yang menggabungkan pembayaran publik berdasarkan ketersediaan layanan. Intinya, KPBU memusatkan pada long-term contractual relationship-kontrak yang menuntut komitmen jangka menengah hingga panjang.

Hubungan antara KPBU dan aturan Pengadaan Barang/Jasa (PBJ) bersifat komplementer namun memerlukan penyesuaian. PBJ memiliki tujuan untuk memastikan proses pembelian barang/jasa publik berjalan efisien, kompetitif, dan adil. Dalam KPBU, proses pemilihan mitra, evaluasi penawaran, dan pengaturan kontraktual harus tetap mematuhi prinsip-prinsip PBJ: transparansi proses tender, nondiskriminasi, dan dokumentasi lengkap. Namun karena kompleksitas KPBU-misalnya pembiayaan terstruktur, kebutuhan due diligence finansial dan teknis, dan model sharing risiko-proses PBJ konvensional perlu adaptasi. Contohnya, kriteria evaluasi dalam KPBU sering melibatkan aspek teknis, keuangan, nilai ekonomi (value for money), serta kesiapan pembiayaan; bukan sekadar harga terendah.

KPBU juga menghendaki adanya pendekatan market-sounding dan competitive dialogue: sebelum lelang formal, pihak publik melakukan studi kelayakan dan konsultasi pasar (market sounding) untuk memahami appetite investor dan kapabilitas sektor swasta. Pada tahap ini, proses PBJ harus tetap mencerminkan prinsip fairness-informasi yang diberikan kepada calon peserta harus sama rata, dan proses transaksional harus didokumentasikan agar tidak menimbulkan persepsi keistimewaan. Selanjutnya, evaluasi penawaran KPBU kerap lebih kompleks: penilai harus menimbang model pembiayaan, risiko finansial, serta jaminan kinerja. Oleh karena itu, tim pengadaan perlu memiliki kapasitas analitis yang kuat-menggabungkan keahlian teknis, finansial, dan legal.

Kesimpulannya, KPBU menuntut harmonisasi antara prinsip PBJ yang memasok kerangka tata kelola publik dan praktik KPBU yang menuntut fleksibilitas kontraktual dan teknis. Implementasi yang baik menjaga keseimbangan: membuka ruang inovasi swasta dan pembiayaan alternatif, namun tetap melindungi kepentingan publik melalui aturan PBJ yang adaptif.

3. Kerangka Hukum dan Peraturan Terkait

Pelaksanaan KPBU harus berakar pada kerangka hukum yang jelas supaya kepastian hukum bagi kedua pihak (publik dan swasta) terjaga. Di tingkat nasional, terdapat undang-undang dan peraturan pelaksana yang mengatur pengadaan barang/jasa oleh pemerintah, penggunaan anggaran publik, serta ketentuan khusus terkait kerja sama dengan pihak swasta. Kerangka hukum ini meliputi aturan pengadaan (mis. undang-undang pengadaan/Perpres/Peraturan Menteri yang relevan), peraturan pengelolaan keuangan negara/daerah, aturan mengenai investasi asing, hukum kontrak, serta ketentuan perpajakan yang berdampak pada model pembiayaan KPBU.

Selain itu, ada guideline atau pedoman KPBU yang khusus mengatur proses screening proyek, penyusunan studi kelayakan, pola pembiayaan, dan mekanisme tender KPBU. Pedoman ini penting karena KPBU berbeda karakter dari tender konvensional: memerlukan assessment value for money, analisis pembagian risiko, serta standardisasi dokumen tender KPBU (mis. draft PPP contract, draft payment mechanism, model financing term sheet). Memiliki pedoman khusus membantu menciptakan praktik yang konsisten dan meminimalkan ketidakpastian bagi investor.

Di beberapa kasus, proyek KPBU mendapatkan pembiayaan atau jaminan dari lembaga internasional atau donor yang menetapkan standar pengadaan tersendiri (mis. procurement guidelines donor). Ketentuan donor ini harus disejajarkan dengan aturan domestik sehingga terjadi harmonisasi kepatuhan. Seringkali, ketentuan donor menambah layer persyaratan-mis. pengumuman tender internasional, standar lingkungan & sosial, dan persyaratan audit eksternal-yang perlu diperhitungkan dalam proses PBJ.

Aspek legal lainnya bersifat kontraktual: klausul force majeure, perubahan ruang lingkup, termination clauses, dispute resolution (mediasi, arbitrase), dan hak-hak atas aset setelah masa kerjasama berakhir. Kontrak KPBU harus mendefinisikan alokasi risiko yang jelas-siapa menanggung risiko konstruksi, risiko permintaan, risiko regulasi, dll.-serta mekanisme penyesuaian bila terjadi peristiwa tak terduga. Di sini, keterlibatan penasihat hukum dan finansial yang kompeten sangat vital.

Terakhir, kepatuhan terhadap aturan lingkungan, ketenagakerjaan, dan perlindungan sosial menjadi elemen legal yang tidak bisa diabaikan. Banyak proyek infrastruktur berdampak luas dan memerlukan AMDAL/UKL-UPL, proses konsultasi publik, dan pelaksanaan mitigasi sosial. Oleh karena itu, kerangka hukum PBJ harus meliputi checklist kepatuhan lingkungan dan sosial yang menjadi bagian dari evaluasi dan syarat kontraktual.

4. Perencanaan Proyek dan Kesiapan Pengadaan

Perencanaan yang matang adalah fondasi keberhasilan KPBU. Sebelum memulai proses PBJ, pihak publik perlu memastikan proyek layak secara teknis, finansial, dan hukum-umumnya melalui studi kelayakan (feasibility study), value for money assessment, dan preliminary risk allocation. Studi ini bukan hanya dokumen internal; ia menjadi basis bagi dokumen pengadaan KPBU seperti Request for Proposal (RFP), draft contract, dan term sheet. Kesiapan pengadaan juga mencakup ketersediaan anggaran (untuk availability payments atau kontribusi modal publik), legal clearance, serta political buy-in.

Tahapan perencanaan harus mencakup market sounding dan pre-procurement engagement. Market sounding bertujuan menguji minat pasar, mendapatkan masukan tentang struktur pembiayaan yang feasible, serta mengidentifikasi hambatan yang mungkin muncul dari sisi teknis atau regulasi. Hasilnya membantu menyusun model procurement yang realistis dan menarik bagi investor. Selain itu, desain proyek harus mempertimbangkan aspek affordability-mampukah publik membayar commitment jangka panjang (mis. availability payments) tanpa mengganggu anggaran dasar? Ini penting untuk menjaga sustainability fiskal.

Pelaksanaan perencanaan juga mencakup penyusunan dokumen pengadaan yang lengkap: TOR/RFP dengan kriteria evaluasi, rancangan kontrak, template jaminan, dan requirement teknik yang proporsional. Dalam konteks PBJ, penting memastikan bahwa kualifikasi teknis dan finansial dirancang agar tidak diskriminatif namun juga menjaga kemampuan calon mitra untuk melaksanakan proyek besar. Salah satu tantangan adalah menyeimbangkan antara membuka akses pasar dan menetapkan threshold kapabilitas yang realistis.

Aspek lain yang sering kurang diperhatikan adalah manajemen pemangku kepentingan. KPBU berdampak terhadap masyarakat lokal, operator layanan, dan stakeholder lain; proses konsultasi publik dan mekanisme grievance harus direncanakan sejak awal. Keterlibatan pemangku kepentingan juga membantu mengurangi risiko sosial-politik yang bisa mengganggu realisasi proyek.

Terakhir, kesiapan internal institusi pengadaan meliputi kapasitas tim: kemampuan melakukan evaluasi finansial kompleks, analisis risiko, dan negosiasi kontrak besar. Bila kelemahan kapasitas teridentifikasi, salah satu opsi adalah menggunakan konsultan advisor atau membentuk unit PPP khusus yang memiliki kompetensi end-to-end. Investasi pada kapasitas ini mengurangi risiko kesalahan desain pengadaan yang mahal di masa depan.

5. Proses Pengadaan pada Proyek KPBU

Proses pengadaan KPBU umumnya lebih panjang dan kompleks dibanding pengadaan barang/jasa konvensional. Ia meliputi beberapa tahap utama: penyaringan proyek (project screening), penyusunan dokumen dan pre-qualification, tender/competitive bidding atau competitive dialogue, evaluasi teknis-finansial, negoisasi final, penandatanganan kontrak, hingga fase financial close. Setiap tahapan harus dirancang agar sesuai prinsip PBJ: kompetitif, transparan, dan nondiskriminatif.

Tahap pre-qualification penting untuk menyaring calon mitra berdasarkan kapabilitas teknis dan finansial. Namun kriteria harus proporsional: terlalu ketat dapat membatasi persaingan; terlalu longgar dapat meningkatkan risiko pelaksana. Dokumentasi pre-qualification harus jelas dan dapat diverifikasi. Selanjutnya, banyak KPBU memakai pendekatan two-stage bidding atau competitive dialogue-mengingat kompleksitas struktur keuangan sehingga calon investor memerlukan ruang diskusi teknis-finansial sebelum mengajukan proposal final. Perlu diatur prosedur yang menjaga fairness selama dialog tersebut, seperti pencatatan meeting, penyamaan informasi kepada semua peserta, dan batasan komunikasi.

Evaluasi penawaran KPBU umumnya menilai kombinasi kriteria: kualitas teknis, strength finansial, price (atau struktur payment), serta nilai ekonomi (value for money). Penilai harus mampu membandingkan proposal yang seringkali tidak homogen-mis. perbedaan pada struktur financing, tenor pinjaman, atau asumsi permintaan. Oleh karenanya, penggunaan model pembanding (financial model standardized) dan metodologi scoring yang transparan menjadi krusial.

Seleksi pemenang diikuti proses negoisasi yang hati-hati-menyempurnakan perjanjian, mengatasi isu regulasi, dan menyelaraskan pemenuhan kondisi pendanaan hingga financial close. Financial close adalah momen kritis: terjalinnya komitmen kreditur dan terpenuhinya kondisi-kondisi pembiayaan. Hingga mencapai tahap ini, pihak publik harus menjaga kerahasiaan informasi sensitif namun tetap memenuhi prinsip keterbukaan yang diatur PBJ.

Di seluruh proses, dokumentasi lengkap dan audit trail sangat penting untuk menjaga akuntabilitas. Proses tender KPBU juga harus dilengkapi mekanisme desk clarifications dan kesempatan banding atau klarifikasi untuk peserta agar mengurangi risiko sengketa. Secara keseluruhan, proses PBJ pada KPBU menuntut keseimbangan: fleksibilitas teknis untuk menarik investor, namun ketegasan mekanisme tata kelola untuk melindungi kepentingan publik.

6. Kualifikasi, Evaluasi dan Seleksi Mitra

Kualifikasi mitra pada KPBU menjadi titik penentu keberhasilan proyek. Proses ini harus mengevaluasi kemampuan teknis, kapasitas manajerial, kapasitas finansial, pengalaman proyek serupa, serta reputasi kepatuhan etika. Dalam menyusun kriteria kualifikasi, pengadaan publik harus menghindari klausul yang secara tidak perlu mengunci kompetisi-misalnya menuntut pengalaman pada proyek identik yang hanya dimiliki oleh beberapa pelaku besar. Sebaliknya, pendekatan dapat memperhitungkan track record inti namun memungkinkan peserta dengan solusi inovatif untuk bersaing.

Evaluasi teknis harus mengukur aspek desain teknis, rencana implementasi, kualitas manajemen konstruksi & operasi, serta aspek lingkungan & sosial. Aspek teknis yang berorientasi hasil (outcome) sering lebih relevan dibanding spesifikasi preskriptif. Untuk penilaian finansial, evaluator perlu menilai robustnes financial model: sensitivitas asumsi permintaan, struktur pembiayaan, covenant, dan kemampuan memenuhi kewajiban jangka pendek. Clearance dari bank/creditor atau financial commitment letter seringkali menjadi bukti bahwa calon mitra dapat memperoleh pembiayaan.

Seleksi biasanya memakai kombinasi scoring teknis-dan-komersial. Transparency pada bobot penilaian, formula scoring, dan metode comparability sangat penting agar keputusan dapat dipertanggungjawabkan. Dalam kasus KPBU, dapat pula dipertimbangkan mekanisme best and final offer (BAFO) setelah evaluasi awal, memberi kesempatan peserta memperbaiki penawaran sebelum final selection.

Selain itu, due diligence intensif perlu dilakukan-baik oleh calon mitra (vendor due diligence) maupun oleh pihak publik (public due diligence). Public due diligence meliputi verifikasi legal, finansial, rekam jejak, serta analisis konflik kepentingan. Pemerintah juga perlu mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan & sosial calon mitra-apakah track record mereka menunjukkan kepatuhan terhadap standar lingkungan dan hak tenaga kerja.

Perlu diingat aspek lokal content dan pemberdayaan UKM yang sering menjadi syarat kebijakan. Kriteria kualifikasi bisa memasukkan komitmen penggunaan tenaga kerja lokal, transfer teknologi, atau keterlibatan subkontraktor lokal. Akhirnya, mekanisme seleksi harus disertai mekanisme debrief untuk peserta yang gagal agar memberi umpan balik konstruktif dan mengurangi potensi sengketa administratif.

7. Struktur Kontrak, Mekanisme Pembayaran dan Pembiayaan

Kontrak KPBU merupakan dokumen komprehensif yang mengatur hak dan kewajiban kedua belah pihak, pembagian risiko, mekanisme pembayaran, jaminan pelaksanaan, serta mekanisme resolving dispute. Struktur kontrak harus mengakomodasi durasi panjang, pembaruan klausul, dan mekanisme penyesuaian terhadap perubahan kondisi seperti inflasi atau perubahan regulasi.

Ada beberapa model pembayaran yang umum:

  1. Availability payment, di mana pemerintah membayar berdasarkan ketersediaan layanan;
  2. User-pay model, di mana pengguna membayar langsung (misalnya tol);
  3. Hybrid model, kombinasi pemerintah dan pengguna;
  4. Shadow toll atau performance-based payments.

Pemilihan model berimplikasi pada risiko permintaan dan struktur pembiayaan. Availability payment menggeser risiko permintaan ke publik, sehingga harus dikalkulasikan dalam kemampuan fiskal; user-pay menimpakan risiko pada operator.

Pembiayaan proyek KPBU umumnya berupa campuran ekuitas dari pengembang dan utang jangka panjang dari bank/investor. Oleh karena itu, kontrak harus mensyaratkan kondisi-kondisi financial close, mekanisme pembiayaan paritipatif, serta hak kreditur seperti step-in rights (hak kreditur untuk campur tangan jika peminjam gagal memenuhi kewajiban). Dalam beberapa kasus, pemerintah menyediakan kontribusi modal, jaminan ketersediaan pembayaran, atau perjanjian pembelian minimum (minimum revenue guarantee) untuk membuat proyek bankable.

Klausul penting lain meliputi: mekanisme change order & variation, force majeure, termination for convenience, termination for default, liquidated damages, dan mekanisme kompensasi. Setiap klausul harus jelas indikator pelanggaran, proses cure period, dan formula perhitungan kompensasi finansial. Dispute resolution clause (mediasi, adjudication, arbitrase) harus disepakati untuk meminimalkan eskalasi litigasi yang merugikan jangka panjang.

Dari sisi PBJ, kontrak KPBU perlu mengikuti peraturan pengadaan mengenai standard clauses yang wajib (mis. anti-collusion, anti-corruption clauses), serta memastikan adanya pelaporan berkala dan audit rights bagi pemerintah. Juga perlu diatur hak atas aset setelah masa kontrak-apakah aset diserahkan ke negara atau tetap di tangan operator dengan syarat tertentu.

Desain kontrak yang baik menyeimbangkan fleksibilitas operasional bagi operator dengan pengamanan kepentingan publik-clear performance indicators, mekanisme insentif/penalty, serta pengaturan renegotiation yang transparan sehingga tidak membuka celah moral hazard.

8. Manajemen Risiko dan Jaminan Kinerja

Manajemen risiko adalah elemen pusat pada KPBU. Risiko dalam proyek KPBU meliputi risiko konstruksi (cost overrun, delay), risiko permintaan (traffic/usage risk), risiko operasional (kualitas layanan), risiko finansial (rate/interest volatility), risiko regulasi, serta risiko lingkungan & sosial. Perencanaan alokasi risiko harus mengikuti prinsip: risiko harus dialokasikan kepada pihak yang paling mampu mengelolanya dan dengan biaya terendah. Artinya, risiko teknis sering menjadi tanggung jawab kontraktor, sementara risiko regulasi mungkin tetap pada publik jika terkait kebijakan pemerintah.

Untuk mitigasi risiko, ada berbagai instrumen: jaminan performance bond, retensi pembayaran, escrow accounts, asuransi construction/all risk, serta guarantees dari pemerintah (viability gap funding, guarantees on minimum revenue). Jaminan kinerja penting untuk memastikan komitmen kualitas dan waktu. Selain itu, mekanisme step-in rights bagi kreditur atau pemerintah menjaga continuity layanan jika operator gagal.

Risk management plan harus dinamis: menyertakan risk register, penilaian probabilitas vs dampak, rencana mitigasi, serta monitoring berkala. Sensitivity analysis pada financial model membantu memahami apakah proyek tahan terhadap skenario terburuk (penurunan permintaan, kenaikan biaya). Penting juga memasukkan contingency budgets dan trigger points untuk tindakan korektif.

Aspek lain adalah manajemen perubahan (change management). Dalam proyek jangka panjang, perubahan kebutuhan publik, teknologi, atau permintaan memerlukan mekanisme renegosiasi yang adil dan terstandarisasi-agar perubahan tidak menjadi alat untuk meraih keuntungan sepihak. Transparansi pada renegosiasi harus dijaga agar tidak menimbulkan persepsi korupsi.

Akhirnya, kapasitas institusi publik untuk monitoring risiko harus ditingkatkan. Ini mencakup kemampuan melakukan oversight teknis-finansial, melakukan audits, dan menilai implikasi fiskal jangka panjang. Tanpa monitoring yang kuat, jaminan kinerja dan mekanisme mitigasi hanya menjadi dokumen formal tanpa eksekusi.

9. Pengawasan, Audit, Kepatuhan dan Transparansi

Proyek KPBU memerlukan mekanisme pengawasan yang kuat karena berdampak pada dana publik dan layanan masyarakat. Pengawasan melibatkan monitoring periodik atas kinerja proyek, verifikasi pembayaran, review compliance terhadap kewajiban lingkungan & sosial, serta audit keuangan dan teknis. Komite pengawas atau steering committee yang melibatkan perwakilan pemerintah, pengguna, dan mungkin pihak independen dapat membantu oversight yang objektif.

Audit independen-baik audit keuangan oleh auditor eksternal maupun audit kinerja oleh lembaga pengawas-membantu memastikan akuntabilitas. Dalam PBJ, kontrak harus memberi hak audit kepada pemerintah dan donor (jika relevan). Selain itu, mekanisme pelaporan berkala dan dashboard performance memudahkan transparansi hasil. Publikasi ringkasan kinerja atau laporan tahunan dapat meningkatkan trust publik.

Kepatuhan terhadap peraturan pengadaan, lingkungan, ketenagakerjaan, dan pajak harus diawasi. Sanksi atas pelanggaran perlu jelas: penalti finansial, perbaikan remedial, atau termination. Di sisi lain, mekanisme grievance & complaint bagi masyarakat dan stakeholder lokal harus tersedia sehingga isu sosial dapat tertangani cepat.

Transparansi proses tender dan kontrak juga esensial. Meski beberapa aspek sensitif (detail finansial) mungkin dibatasi, setidaknya informasi penting-siapa pemenang, ringkasan kontrak, nilai proyek, dan indikator kinerja-harus dipublikasikan. Ini mengurangi ruang untuk korupsi dan meningkatkan kepercayaan investor yang paham tata kelola baik.

Pengawasan efektif memerlukan kapasitas internal pemerintah-unit PPP yang mampu melakukan monitoring teknis-finansial, knowledge management, serta resources untuk menindaklanjuti temuan audit. Keterlibatan pihak ketiga independen (auditor, konsultan) sering membantu menjaga objektivitas pengawasan.

10. Kesimpulan

Aturan PBJ pada proyek Kerja Sama Pemerintah Swasta (KPBU) harus dirancang dan diimplementasikan sedemikian rupa sehingga mengakomodasi keunikan KPBU-kontrak jangka panjang, struktur pembiayaan kompleks, serta pembagian risiko-tetapi tetap menjaga prinsip tata kelola publik: transparansi, akuntabilitas, kompetisi sehat, dan value for money. Kerangka hukum yang jelas, perencanaan proyek matang, proses pengadaan yang adaptif (termasuk market sounding dan competitive dialogue), kriteria seleksi yang proporsional, serta kontrak yang komprehensif menjadi fondasi keberhasilan.

Manajemen risiko dan jaminan kinerja, struktur pembiayaan yang realistis, serta mekanisme pengawasan dan audit yang kuat memastikan bahwa kepentingan publik terproteksi sepanjang masa kerjasama. Kapasitas institusi publik-dari unit PPP hingga tim pengadaan-harus ditingkatkan agar mampu melakukan evaluasi teknis-finansial, menegosiasikan perjanjian, dan melakukan monitoring berkelanjutan. Begitu pula keterlibatan pemangku kepentingan lokal, kepatuhan lingkungan & sosial, serta transparansi publik menjadi elemen non-nego yang menjaga legitimacy proyek.

KPBU menawarkan solusi pendanaan dan expertise yang berharga bagi pemerintah, namun juga menimbulkan risiko fiskal dan sosial jika tidak dikelola dengan baik. Oleh karena itu, aturan PBJ yang mengatur KPBU harus fleksibel tapi tegas-memungkinkan inovasi kontraktual dan pembiayaan, sembari menyediakan pengaman hukum dan mekanisme pengawasan yang efektif. Akhirnya, kolaborasi antara aparat pemerintah, penyedia jasa swasta, konsultan independen, dan masyarakat adalah resep penting agar KPBU benar-benar menghasilkan layanan publik yang berkelanjutan, efisien, dan berorientasi pada kepentingan umum.