Pendahuluan
Proses pengadaan barang dan jasa publik melibatkan banyak aktor: unit teknis pemakai, pejabat pengadaan, tim evaluasi, bagian keuangan, unit hukum, pembuat kebijakan daerah, serta pemangku kepentingan eksternal seperti penyedia dan masyarakat. Karena kepentingan, perspektif, aturan tugas, dan prioritas berbeda-beda, konflik antarinstansi dalam pengadaan adalah fenomena yang sering terjadi. Konflik ini dapat berwujud perselisihan teknis tentang spesifikasi, rebutan anggaran, klaim tanggung jawab terhadap risiko, intervensi politik, atau perbedaan interpretasi regulasi. Dampaknya nyata: penundaan proyek, pembengkakan biaya, penurunan kualitas, dan menurunnya kepercayaan publik.
Artikel ini menyajikan analisis mendalam, terstruktur, dan praktis tentang konflik antarinstansi dalam pengadaan. Kita akan menelaah sumber-sumber konflik, bentuk-bentuknya, bagaimana peraturan dan struktur organisasi berperan, serta konsekuensi operasional dan fiskal. Lebih penting lagi, artikel ini menghadirkan mekanisme penyelesaian-dari pendekatan internal hingga jalur hukum-dan strategi pencegahan berbasis tata kelola, teknologi, dan budaya organisasi. Tulisan ini ditujukan untuk pejabat pengadaan, manajer proyek, auditor, dan pembuat kebijakan yang ingin mengurangi gesekan antarunit agar proses pengadaan berjalan lebih lancar, transparan, dan bertanggung jawab.
1. Sumber dan bentuk konflik antarinstansi
Konflik antarinstansi dalam pengadaan muncul dari kombinasi faktor struktural, administratif, teknis, dan politis.
- Perbedaan kepentingan: unit teknis (user) ingin spesifikasi optimal dan cepat terpasang; bagian keuangan fokus pada kepatuhan anggaran dan cashflow; unit pengadaan mengejar prosedur dan kepatuhan regulasi; sementara pimpinan daerah mungkin menekankan capaian serapan anggaran. Ketidaksamaan tujuan ini menciptakan tarik-menarik yang kerap memicu konflik.
- Ketidakjelasan wewenang dan tanggung jawab. Di organisasi besar, garis batas kewenangan tidak selalu terdokumentasi dengan jelas atau tidak diikuti secara konsisten-mis. siapa berhak menetapkan spesifikasi akhir, siapa yang menandatangani change order, atau siapa berwenang mengesahkan biaya tak terduga. Ketika batas ini kabur, setiap unit cenderung mempertahankan posisinya, memicu sengketa administratif.
- Perbedaan interpretasi peraturan dan prosedur. Aturan pengadaan sering kompleks dan berlapis-aturan pusat, pedoman teknis, peraturan daerah-sehingga interpretasi soal metode, ambang nilai, atau permissibility change order bisa berbeda antar unit. Perbedaan ini menjadi pemicu klaim bahwa “yang lain melanggar aturan”, yang berujung pada proses sanggahan atau audit.
- Tekana politik dan intervensi eksternal. Aktor politik atau pemangku kepentingan eksternal dapat menekan instansi untuk memilih penyedia tertentu atau mempercepat proyek. Intervensi semacam ini memicu resistensi dari unit pengadaan atau hukum yang menuntut kepatuhan.
Bentuk konflik beragam: dari diskusi sengit dalam rapat, surat-menyurat berulang hingga pemberhentian pekerjaan (stop work order), hingga eskalasi ke pengawas internal, Inspektorat, atau gugatan ke Pengadilan Tata Usaha. Ada konflik teknis (spesifikasi tidak realistis), administratif (dokumen tidak lengkap), keuangan (klaim pembayaran vs verifikasi progres), hingga etika (konflik kepentingan). Menyadari jenis dan sumber konflik membantu desain intervensi yang tepat-apakah lewat klarifikasi wewenang, mediasi teknis, atau perbaikan SOP-agar sengketa tidak berlarut dan tidak menjerat proyek lebih lanjut.
2. Kerangka hukum dan peran masing-masing instansi
Memahami konflik antarinstansi menuntut pengetahuan atas kerangka hukum yang mengatur pengadaan dan pembagian peran di dalamnya. Regulasi pengadaan menetapkan proses: perencanaan, pemilihan metode, evaluasi, kontrak, pelaksanaan sampai penyerahan. Namun aturan yang ideal di buku seringkali harus diinterpretasikan oleh berbagai unit yang memegang tugas spesifik.
Unit perencanaan/teknis berperan menyusun terms of reference (TOR) dan spesifikasi teknis. Mereka memutuskan kebutuhan fungsional dan parameter kualitas. Unit pengadaan (PPK/Pejabat Pengadaan) bertugas merancang proses tender, menyiapkan dokumen, melakukan evaluasi administratif dan teknis bersama tim panel, serta menandatangani kontrak sesuai delegasi. Bagian keuangan memastikan ketersediaan anggaran, memproses pembayaran, dan menerapkan aturan pengeluaran publik. Unit hukum mengkaji risiko kontraktual, kepatuhan terhadap peraturan, serta menyusun klausul mitigasi. Inspektorat/PMO/Unit Audit melakukan pengawasan dan perbaikan sistem.
Konflik sering muncul ketika peran ini tumpang tindih atau ketika mekanisme koordinasi tidak berjalan. Misalnya, unit teknis dapat menuntut perubahan spesifikasi di tengah proses tanpa melalui prosedur change order yang benar-ini menimbulkan masalah bagi pengadaan dan keuangan. Atau bagian keuangan menahan pencairan karena persoalan administrasi meskipun pekerjaan lapangan sudah dilakukan, sehingga kontraktor mengancam untuk menghentikan pekerjaan.
Hukum umumnya memberikan jalan penyelesaian: prosedur penjelasan (clarification), sanggahan atas hasil evaluasi, dan banding administratif. Namun proses formal butuh waktu-sementara proyek terus berjalan atau tertunda. Ada juga norma tentang segregasi tugas (segregation of duties) yang dimaksudkan untuk mencegah konflik kepentingan-mis. yang menilai teknis tidak boleh yang menilai keuangan sama. Jika diabaikan, pengawasan eksternal (inspektorat, penegak hukum) dapat menilai adanya maladministrasi atau korupsi.
Demi meminimalkan konflik, dokumen peran dan tanggung jawab perlu jelas (RACI matrix), otorisasi delegasi tertulis, serta alur kerja yang memaksa sign-offs berjenjang. Jika kerangka hukum dilengkapi dengan SOP internal yang rinci dan disosialisasikan, interpretasi aturan akan lebih seragam sehingga sumber konflik berkurang. Selain itu, mekanisme resolusi cepat pada tingkat institusi (komite koordinasi proyek) penting untuk menyelesaikan perbedaan sebelum eskalasi ke jalur formal.
3. Turf wars dan konflik kepentingan: politik internal dan eksternal
Konflik antarinstansi sering berwujud turf wars-perebutan wilayah kewenangan dan sumber daya-yang dipicu oleh motif kebijakan, karier, dan politik. Di organisasi pemerintahan, kontrol atas anggaran dan program tertentu memberikan otoritas, pengaruh, dan kesempatan untuk menunjukkan kinerja. Ketika sebuah proyek bernilai tinggi, berbagai unit dapat mengincar peran pengendali: siapa yang jadi PPK, siapa yang menetapkan TOR, atau siapa yang mengelola kontrak setelah award. Perebutan ini seringkali tidak transparan dan menyebabkan gesekan.
Konflik kepentingan juga memainkan peran besar: pejabat yang memiliki hubungan pribadi atau bisnis dengan calon penyedia dapat terdorong melakukan perlindungan terhadap pihak tertentu. Bahkan tanpa niat jahat, bias kognitif dan budaya patronase membuat keputusan pengadaan terdistorsi-mis. memilih penyedia “aman” yang berasal dari jaringan personal. Intervensi politik lokal memperparah hal ini: kepala daerah atau pejabat politik lokal dapat memberi tekanan untuk memilih penyedia dari konstituen atau simpatisan mereka.
Turf wars bisa berimbas pada keputusan teknis: spesifikasi diputar agar cocok untuk satu pemasok, pemecahan paket (splitting) untuk menguntungkan pihak tertentu, atau penggunaan metode pengadaan nonkompetitif. Dampak lainnya adalah penundaan karena rapat koordinasi yang tak pernah tuntas, perubahan dokumen berulang, atau penundaan tanda tangan oleh unit yang merasa dibuat keluar dari proses.
Menghadapi turf wars memerlukan pendekatan budaya dan struktural. Budaya organisasi yang mengutamakan kolaborasi perlu dibangun melalui tone from the top-pimpinan yang menetapkan nilai integritas dan pembagian tugas jelas. Secara struktural, penguncian peran lewat delegasi formal, RACI matrix, serta mekanisme rotasi personel di posisi sensitif dapat mengurangi akumulasi kekuatan yang mendorong turf behavior. Pengungkapan aset dan konflik kepentingan wajib serta mekanisme sanksi internal bagi pelanggar juga berperan mengurangi insentif opportunistik.
Di level eksternal, keterlibatan publik-publikasi rencana pengadaan, daftar penyedia, dan hasil tender-meningkatkan tekanan reputasi bagi pejabat yang mencoba memusatkan keuntungan. Ketika pasar dan media dapat mengamati, peluang manuver tidak etis berkurang. Dengan pendekatan komprehensif-budaya, struktur, dan transparansi-turf wars dapat diminimalkan sehingga pengadaan lebih adil dan efisien.
4. Perselisihan teknis: spesifikasi, perubahan scope, dan manajemen perubahan
Perselisihan teknis adalah salah satu bentuk konflik paling sering dalam proyek pengadaan. Seringkali perselisihan berawal dari spesifikasi yang tidak jelas atau over-specified. Unit teknis yang menyusun TOR mungkin menuntut standar tinggi tanpa mempertimbangkan pasar lokal-menghasilkan dokumen yang sarat merek atau model tertentu. Panel evaluasi atau unit pengadaan kemudian menghadapi tantangan: apakah menolak penawaran yang tidak sempurna atau merekomendasikan revisi spesifikasi? Perbedaan pandangan ini memicu ketegangan.
Saat proyek berjalan, kebutuhan di lapangan dapat berubah sehingga muncul permintaan change order (perubahan scope). Jika prosedur change order tidak jelas-mis. mekanisme evaluasi tambahan biaya, otorisasi berjenjang, dan dokumentasi-maka pihak kontraktor, pengadaan, dan teknis bisa berkonfrontasi. Unit teknis mungkin ingin mempercepat perubahan demi fungsi, tetapi bagian keuangan khawatir soal dampak anggaran; pengadaan ingin agar aturan dipatuhi. Tanpa aturan yang terstandar, perubahan dapat menjadi pintu bagi penyalahgunaan, atau sebaliknya, menimbulkan stagnasi karena birokrasi menolak perubahan yang sebenarnya perlu.
Manajemen perubahan yang baik bergantung pada three things:
- Clear change control process dengan forms, thresholds, dan approval matrix.
- Technical justification yang obyektif, mis. test reports atau site assessments.
- Financial assessment yang terintegrasi dengan anggaran dan cashflow forecast.
Dokumen change order harus menyertakan analisis risiko, cost-benefit, dan dampak jadwal.
Untuk meredam konflik teknis, langkah pencegahan meliputi: quality TOR drafting (libatkan pengadaan di awal untuk menyelaraskan kebutuhan teknis dan pasar), market sounding sebelum finalisasi spesifikasi, serta penggunaan performance-based specification (menetapkan hasil yang diharapkan, bukan merek). Selain itu, penggunaan independent third-party technical review-mis. surveyor atau konsultan eksternal-dapat berfungsi sebagai arbitrator teknis ketika perselisihan muncul.
Ketika perselisihan tak dapat diselesaikan internal, kontrak harus menyediakan mekanisme dispute resolution teknis (panel ahli atau adjudication clause) untuk menyelesaikan sengketa teknis cepat tanpa menghentikan pekerjaan. Ini menghindarkan eskalasi ke jalur pidana atau administratif yang memakan waktu dan biaya.
5. Perselisihan administratif: dokumen, verifikasi, dan klaim pembayaran
Di samping masalah teknis, konflik antarinstansi sering bersumber dari persoalan administratif: kelengkapan dokumen, verifikasi progres, dan klaim pembayaran. Sering terdengar kasus di mana kontraktor mengajukan tagihan berdasarkan berkas yang diakui oleh tim lapangan, tetapi bagian keuangan menahan pembayaran karena dokumen pendukung administratif belum lengkap. Hal ini menciptakan situasi buntu-kontraktor kesulitan membiayai pekerjaan lanjutan, unit teknis menganggap pekerjaan sudah selesai, sementara pengadaan dan keuangan berkutat pada kepatuhan prosedur.
Masalah verifikasi progres juga kerap memicu konflik. Bila metode verifikasi bergantung pada laporan manual atau inspeksi periodik, perbedaan penilaian muncul: apa yang dinyatakan 60% progres oleh kontraktor bisa dinilai 30% oleh pengawas teknis. Ketika tied to payment milestones, perbedaan ini langsung berdampak cashflow dan memunculkan sengketa. Selain itu, bukti fisik (foto, berita acara, material receipts) yang tidak terstandardisasi mempersulit audit.
Klaim tambahan seperti cost escalation, extra work, atau klaim force majeure memerlukan prosedur evaluasi yang jelas. Tanpa jaminan evaluasi yang transparan, kontraktor bisa menuntut pembayaran lewat jalur hukum sementara instansi menunjuk pada ketidakpatuhan administratif.
Solusi administratif memerlukan standardisasi dokumen dan proses: electronic submission (e-procurement), mobile field data capture (foto geotag), dan checklists yang seragam untuk verifikasi progres. Penggunaan acceptance forms yang di-sign oleh tiga pihak (kontraktor, pengawas teknis, perwakilan keuangan) membantu menciptakan konsensus. Selain itu, sistem escrow atau retention fund dapat menjadi jembatan-mencatat pembayaran yang disimpan sampai verifikasi independen selesai.
Pelatihan SDM di sisi administrasi dan penggunaan teknologi integratif meminimalkan perbedaan penafsiran. Di banyak kasus, konflik administratif muncul karena gap kapasitas dan koordinasi-bukan semata niat buruk. Oleh karena itu, memperbaiki prosedur dokumen dan membangun mekanisme verifikasi yang objektif merupakan langkah efektif untuk meredakan gesekan antarinstansi.
6. Dampak konflik pada proyek: delay, biaya, kualitas, dan reputasi
Konflik antarinstansi dalam pengadaan bukan sekadar urusan internal-ia berdampak nyata pada outcome proyek dan publik
- Penundaan (delay). Eskalasi sengketa menghambat pengambilan keputusan penting-penandatanganan kontrak, approval change order, atau pencairan dana-mengakibatkan timeline proyek melebar. Delay meningkatkan biaya karena overhead, mobilisasi ulang alat dan tenaga, dan potensi klaim perpanjangan waktu oleh kontraktor.
- Pembengkakan biaya. Sengketa yang memaksa kerja berhenti atau menuntut remediasi sering memerlukan perubahan anggaran; biaya admin yang bertambah (legal fees, audit investigasi) juga menambah beban fiskal. Selain itu, konflik yang memicu penggantian kontraktor atau re-tender memperbesar biaya procurement.
- Penurunan kualitas. Ketika proses pengawasan terganggu atau ketika kontraktor terpaksa memangkas kualitas untuk menutup cashflow yang terhenti, hasil kerja bisa menurun. Perbaikan kualitas di kemudian hari memerlukan biaya tambahan dan bisa menimbulkan risiko keselamatan publik-mis. infrastruktur yang tidak sesuai standar.
- Kerusakan reputasi institusi. Konflik yang memunculkan tuduhan maladministrasi atau korupsi menurunkan kepercayaan publik. Reputasi buruk menyulitkan kerja sama di kemudian hari, merusak peluang perbaikan institusional, dan berdampak pada moral pegawai. Dampak reputasi juga bisa mengurangi partisipasi penyedia berkualitas dalam tender mendatang.
- Risiko hukum dan sanksi. Sengketa yang berpindah ke Inspektorat, komisi anti-korupsi, atau pengadilan membawa risiko sanksi pidana atau perdata terhadap pejabat atau instansi, memperparah krisis kepemimpinan. Sanksi ini bukan hanya finansial, tetapi juga bisa memblokir proyek lebih lanjut.
Untuk memitigasi dampak tersebut, institusi perlu mekanisme resolusi cepat (fast-track dispute resolution), contingency plans, dan komunikasi transparan kepada publik. Resolusi dini-melalui mediasi teknis atau panel ahli-sering kali menghemat biaya dan waktu dibanding litigasi panjang. Selain itu, penguatan manajemen risiko proyek (risk register, early-warning indicators) membantu mengidentifikasi potensi konflik sejak dini sehingga tindakan preventif dapat diambil.
7. Mekanisme penyelesaian konflik: internal, administratif, dan hukum
Saat konflik antarinstansi muncul, ada rangkaian mekanisme penyelesaian yang bisa ditempuh-mulai internal yang cepat hingga jalur hukum yang formal. Pilihan mekanisme bergantung pada sifat sengketa, urgensi proyek, dan kebutuhan legalitas.
1. Penyelesaian internal (informal dan formal):
- Komite Koordinasi Proyek (Project Steering Committee): forum lintas unit yang dipimpin pimpinan untuk menyelesaikan sengketa operasional. Keuntungannya cepat dan berskala lokal.
- Mediation/conciliation internal: fasilitator atau mediator dari unit HR atau compliance membantu negosiasi antara pihak yang bersengketa.
- Adjudication oleh panel teknis internal: untuk sengketa teknis, panel independen yang beranggotakan ahli internal dapat memberi keputusan sementara yang mengikat sampai penyelesaian akhir.
2. Mekanisme administratif eksternal:
- Inspektorat/Inspectorate/Unit Audit Internal: melakukan pemeriksaan, merekomendasikan tindakan korektif atau sanksi administratif. Ini efektif untuk dugaan maladministrasi.
- Ombudsman/Anti-Corruption Body: bila konflik memuat unsur penyalahgunaan kewenangan, pengaduan dapat diajukan ke lembaga pengawas eksternal.
- Alternate Dispute Resolution (ADR): mediasi profesional atau arbitrase administratif sering dipilih untuk menyelesaikan sengketa tanpa harus ke pengadilan.
3. Jalur hukum formal:
- Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atau Pengadilan Negeri: untuk sengketa administratif atau klaim ganti rugi, pihak yang dirugikan bisa mengajukan gugatan. Proses ini formal dan memerlukan bukti lengkap serta waktu.
- Proses pidana: jika ditemukan indikasi korupsi atau fraud, aparat penegak hukum dapat memulai penyelidikan yang berujung pada proses pidana. Ini merupakan jalur terakhir karena dampak besar pada reputasi dan kontinuitas proyek.
Kriteria memilih mekanisme: urgensi (apakah proyek tidak boleh berhenti), sifat sengketa (teknis, administratif, pidana), dan kebutuhan bukti. Praktik baik merekomendasikan escalation ladder yang jelas: usaha penyelesaian di level proyek → komite steering → mediasi eksternal → arbitrase → pengadilan. Skenario ini memungkinkan penyelesaian cepat tanpa mengorbankan hak hukum pihak terkait.
Penting juga mengatur binding interim measures-mis. penetapan work continuation dengan deposit atau escrow-agar pekerjaan tidak berhenti saat sengketa sedang dibahas. Dokumentasi lengkap dari awal juga memudahkan proses penyelesaian; jejak audit, notulen rapat, dan bukti lapangan menjadi krusial.
8. Pencegahan dan best practices: tata kelola, teknologi, dan kultur organisasi
Pencegahan konflik antarinstansi lebih efektif dan lebih murah daripada penyelesaian setelah sengketa berkembang. Strategi pencegahan perlu memadukan aspek tata kelola, teknologi, dan kultur organisasi.
Tata kelola & proses:
- RACI matrix dan delegasi otorisasi: jelas siapa Responsible, Accountable, Consulted, dan Informed untuk setiap keputusan pengadaan. Dokumen delegasi harus tersedia dan dipahami.
- Standard Operating Procedures (SOP) untuk change order, verifikasi progres, dan klaim pembayaran yang meminimalkan interpretasi beragam.
- Committee-based decision making untuk keputusan krusial, sehingga beban tidak hanya pada satu pejabat.
Teknologi & data:
- E-procurement terintegrasi wajib untuk merekam setiap langkah-publikasi, evaluasi, dan award-mengurangi ruang manipulasi.
- Field data capture (foto geotag, timestamp), SIG untuk monitoring lokasi proyek, dan dashboard KPI real-time membantu menyelesaikan perselisihan faktual lebih cepat.
- Single vendor registry menyederhanakan verifikasi dokumen dan mengurangi rebutan administrasi.
Kultur & kapasitas SDM:
- Pelatihan cross-functional (teknis, pengadaan, keuangan, hukum) memberi pegawai pemahaman lintas fungsi sehingga mereka mengerti perspektif mitra kerja.
- Rotation dan job-shadowing membantu mengurangi silo mentalitas.
- Whistleblower protection dan saluran pengaduan aman membantu deteksi dini collusion atau tekanan eksternal.
Desain kontrak dan mitigasi risiko:
- Clause dispute resolution yang mengatur adjudication, mediation, dan arbitrase teknis; liquidated damages dan performance bonds untuk mengurangi insentif opportunistik.
- Escrow & milestone payment mekanisme untuk memastikan pekerjaan bisa terus berjalan sementara klaim diselesaikan.
Keterlibatan pemangku kepentingan & transparansi publik:
- Stakeholder engagement sejak awal (sosialisasi TOR, market sounding) mengurangi ekspektasi yang salah.
- Publikasi rencana pengadaan dan progres memberi kontrol eksternal yang mendorong akuntabilitas.
Implementasi best practices perlu dukungan pimpinan (tone from the top), alokasi sumber daya, dan evaluasi berkala. Pilot solusi teknologi di beberapa proyek dan scale-up yang terukur membantu menanamkan kebiasaan baru. Ketika tata kelola, teknologi, dan budaya bekerja bersama, konflik antarinstansi berkurang dan keputusan pengadaan menjadi lebih cepat, adil, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Kesimpulan
Konflik antarinstansi dalam proses pengadaan adalah masalah kompleks yang berasal dari perbedaan tujuan, ketidakjelasan wewenang, perbedaan interpretasi aturan, tekanan politik, dan gap kapasitas. Bentuknya beragam-teknis, administratif, keuangan, hingga turf wars-dan dampaknya nyata: delay, pembengkakan biaya, penurunan kualitas, serta risiko hukum dan reputasi. Oleh karena itu penyelesaian tidak cukup mengandalkan satu instrumen; diperlukan kombinasi mekanisme resolusi cepat, dokumentasi lengkap, dan kesiapan hukum.
Lebih bernilai adalah upaya pencegahan: penguatan tata kelola dengan RACI dan SOP, pemanfaatan teknologi (e-procurement, SIG, foto geotag), pengembangan kapasitas lintas fungsi, serta budaya kolaborasi yang dipimpin dari puncak organisasi. Desain kontrak yang baik-dengan clause dispute resolution, payment milestones, dan mekanisme escrow-menjadi jaring pengaman saat masalah muncul. Keterbukaan publik dan keterlibatan pemangku kepentingan menambah pengawasan eksternal yang efektif.
Singkatnya, konflik antarinstansi tidak bisa dihapus sepenuhnya, tetapi bisa dikelola secara profesional. Pendekatan holistik yang menggabungkan struktur, proses, teknologi, dan budaya akan meminimalkan gesekan, mempercepat penyelesaian, dan menjamin bahwa tujuan akhir pengadaan-pelayanan publik yang tepat waktu, hemat anggaran, dan berkualitas-tercapai.