18 Penyebab Rencana Pengadaan Gagal

Masalah yang Sering Terjadi Tanpa Disadari

Setiap akhir tahun, tim anggaran dan unit kerja duduk bersama menyusun rencana pengadaan. Spreadsheet dibuka, draft RKA bergulir, dan harapan besar digantungkan pada daftar kebutuhan tahun berikutnya. Di atas kertas, semuanya tampak rapi: ada jadwal, ada nama paket, ada anggaran, bahkan ada kode rekening. Tapi ketika tahun berjalan, kenyataannya sering jauh berbeda.

Banyak paket pengadaan terlambat dimulai, beberapa gagal lelang berulang kali, sebagian besar tidak sesuai jadwal, dan sebagian lainnya bahkan tidak berjalan sama sekali. Laporan monitoring menunjukkan deviasi yang semakin melebar, sementara realisasi anggaran terus tertinggal dari target triwulanan.

Pertanyaannya selalu sama: mengapa rencana pengadaan gagal?

Padahal dokumennya sudah lengkap, anggarannya tersedia, dan regulasinya jelas. Namun kegagalan seolah terus berulang dari tahun ke tahun, tanpa solusi yang benar-benar tuntas.

Artikel ini membedah akar masalah kegagalan perencanaan pengadaan—secara sederhana, mengalir, dan didukung contoh nyata di lapangan. Kita juga akan membahas dampaknya, serta langkah-langkah yang dapat dilakukan agar rencana pengadaan tidak lagi sekadar menjadi dokumen formalitas belaka.

1. Rencana Disusun Terlalu Terburu-Buru

Ini adalah akar masalah terbesar. Banyak rencana pengadaan disusun di waktu yang sudah mepet, biasanya menjelang penutupan penyusunan anggaran.

Unit kerja yang sibuk dengan laporan, rapat, dan kegiatan teknis seringkali baru mulai menyusun daftar belanja ketika tenggat waktu sudah di depan mata. Akibatnya:

  • Analisis kebutuhan dilakukan asal-asalan.
  • Paket yang ditulis tidak mencerminkan kebutuhan sebenarnya.
  • Tidak ada waktu meninjau opsi pasar atau memetakan spesifikasi awal.

Perencanaan yang dibuat secara tergesa-gesa hanya menghasilkan daftar barang dan jasa yang tidak akurat. Tidak jarang, setelah tahun berjalan, unit kerja baru menyadari bahwa paket tersebut membutuhkan spesifikasi berbeda, jenis barang berbeda, atau bahkan volumenya tidak sesuai realitas.

Dampaknya langsung terasa: proses pemilihan penyedia tertunda.

2. Tidak Ada Komunikasi Antar Unit Kerja

Rencana pengadaan sering disusun secara silo—setiap unit kerja mengajukan kebutuhannya masing-masing tanpa koordinasi dengan unit lain. Akibatnya:

  • Paket yang sebenarnya bisa digabung malah terpencar.
  • Pengadaan yang harusnya dibagi multi-unit malah hanya ditulis satu unit.
  • Jadwal antar paket saling bertabrakan.
  • Ada ketergantungan kegiatan yang tidak disadari sejak awal.

Misalnya, pengadaan aplikasi dilakukan oleh Dinas X, tapi pelatihan penggunaan aplikasi justru direncanakan oleh Dinas Y. Jika perencanaannya tidak sinkron, aplikasi selesai dibuat, tetapi pelatihannya belum dianggarkan atau bahkan tidak tersedia tahun itu.

Perencanaan seperti ini membuat pelaksanaan menjadi tidak efisien dan sering gagal.

3. Tidak Ada Kajian Teknis dalam Penyusunan RUP

Rencana Umum Pengadaan (RUP) seharusnya bukan sekadar daftar belanja, tetapi hasil dari proses analisis kebutuhan. Namun yang terjadi di lapangan:

  • Banyak RUP disusun tanpa Kajian Kebutuhan dan Spesifikasi Awal.
  • Unit kerja cenderung hanya mengulang paket tahun sebelumnya.
  • Tidak ada pemetaan pasar atau harga terbaru.
  • Tidak ada pertimbangan apakah teknologi atau barang tersebut masih relevan.

Contoh paling umum adalah pengadaan laptop.
Seringkali spesifikasi yang dicantumkan masih mengacu tahun lalu, padahal teknologi sudah berubah. Ketika tender berjalan, vendor mengajukan penawaran dengan tipe lama atau harganya tidak masuk akal.

Karena tidak didukung kajian teknis yang kuat, proses selanjutnya menjadi rumit dan rawan gagal.

4. Volume Pekerjaan Tidak Realistis

Banyak rencana pengadaan gagal karena jumlah barang atau lingkup pekerjaan ditulis terlalu optimistis. Hal ini biasanya dipengaruhi:

  • Keinginan semua kebutuhan terpenuhi sekaligus.
  • Tidak memperhitungkan waktu pelaksanaan.
  • Tidak menghitung kapasitas pelaksana (baik internal maupun penyedia).
  • Tidak mempertimbangkan jadwal kegiatan lain yang mempengaruhi.

Misalnya, pelatihan untuk 5.000 peserta dalam waktu dua bulan. Secara teknis ini sulit dilakukan. Atau pengadaan konstruksi skala besar yang dijadwalkan selesai sebelum akhir tahun padahal prosesnya mungkin memakan waktu sembilan hingga dua belas bulan.

Rencana yang tidak realistis akan menghasilkan pelaksanaan yang tertunda atau gagal total.

5. Perencanaan Dilakukan Tanpa Data Historis

Banyak instansi menyusun rencana pengadaan hanya berdasarkan intuisi, bukan data. Padahal data historis memberi gambaran:

  • Berapa waktu rata-rata proses tender tahun sebelumnya.
  • Paket mana yang biasanya problematik.
  • Harga pasar di tahun sebelumnya.
  • Pola kesalahan berulang.
  • Rekam jejak penyedia.

Tanpa data ini, perencanaan menjadi tebakan. Paket yang seharusnya dipecah jadi satu karena tahun lalu gagal berulang kali, atau sebaliknya paket kecil malah dipecah terlalu banyak sehingga membebani PPK.

Perencanaan berbasis data adalah fondasi rencana pengadaan yang solid.

6. Ketidakpastian Anggaran

Ketika rencana pengadaan disusun namun anggaran belum benar-benar final, maka potensi perubahan sangat besar. Begitu APBD atau DIPA disahkan, tidak jarang:

  • Anggaran paket berubah.
  • Beberapa paket harus dihapus.
  • Nilai paket turun sehingga metode pemilihan berubah.
  • Paket yang seharusnya tender menjadi pengadaan langsung.

Perubahan seperti ini memaksa perencana untuk mengubah kembali seluruh struktur pengadaan. Tidak jarang, perubahan anggaran membuat rencana pengadaan menjadi kacau dan tidak bisa lagi mengikuti jadwal yang disusun awal.

7. RUP Tidak Diupdate Sepanjang Tahun

Ini adalah masalah klasik. Banyak instansi menganggap RUP hanya formalitas awal tahun. Setelah diinput ke sistem, jarang ada yang memperbaharuinya secara berkala. Padahal dinamika lapangan sangat cepat berubah:

  • Ada penyesuaian volume.
  • Ada perubahan jadwal kegiatan teknis.
  • Ada perbaikan spesifikasi.
  • Ada addendum perencanaan kegiatan.

Ketika RUP tidak diperbarui, tim pengadaan kesulitan memulai proses pemilihan penyedia. Vendor juga salah membaca informasi, sehingga mereka menganggap paket masih jauh padahal sebenarnya sudah berjalan atau sebaliknya.

RUP seharusnya menjadi dokumen hidup, bukan arsip yang hanya diperhatikan sekali setahun.

8. Tidak Ada Penanggung Jawab Per Paket

Dalam banyak kasus, masing-masing paket pengadaan tidak memiliki penanggung jawab yang jelas. Semua orang merasa itu tugas bersama, tetapi tidak ada yang benar-benar mengawal dari awal sampai akhir.

Akibatnya:

  • Penyusunan spesifikasi terlambat.
  • Rincian teknis tidak dipastikan sejak awal.
  • Dokumen tender bolak-balik direvisi.
  • Penyedia sulit mendapatkan klarifikasi.

Pengadaan adalah kegiatan yang membutuhkan orkestrasi. Tanpa penanggung jawab, prosesnya menjadi tidak terarah dan mudah gagal.

9. Ketidaksiapan Dokumen Teknis

Banyak paket pengadaan gagal karena dokumen teknis tidak siap ketika proses pemilihan dimulai. Keluhan umum panitia tender adalah:

  • KAK diserahkan di menit terakhir.
  • Gambar desain belum lengkap.
  • Spesifikasi teknis masih rancu.
  • Analisis pasar belum dilakukan.
  • Draft kontrak belum jelas.

Ketika dokumen teknis tidak matang, proses tender akan dibombardir sanggahan, revisi, dan bahkan aduan dari peserta. Keterlambatan menjadi tak terhindarkan.

10. Tim Pengadaan Tidak Dilibatkan Sejak Awal

Kesalahan lain yang sering terjadi adalah tim pengadaan baru dilibatkan ketika semua sudah ditentukan. Mereka hanya diminta untuk “jalankan prosesnya”, tanpa kesempatan memberikan masukan pada tahap perencanaan.

Padahal tim pengadaan memiliki perspektif yang penting:

  • Metode pemilihan yang paling efisien.
  • Strategi pemaketan yang menguntungkan persaingan.
  • Risiko hukum yang mungkin muncul.
  • Situasi pasar yang pernah mereka hadapi.

Ketika tim pengadaan dipanggil terlambat, potensi kegagalan meningkat drastis.

11. Mengabaikan Faktor Pasar

Banyak rencana pengadaan disusun seolah pasar akan selalu siap menyediakan barang/jasa yang kita inginkan. Padahal kenyataan tidak begitu. Ada banyak faktor eksternal:

  • Distributor yang berubah.
  • Produsen berhenti memproduksi tipe tertentu.
  • Harga bahan baku naik signifikan.
  • Ketersediaan tenaga ahli menurun.
  • Industri mengalami penurunan pasokan.

Ketika pasar berubah, spesifikasi yang sudah ditulis dalam RUP tidak lagi relevan. Paket akhirnya gagal karena tidak ada penyedia yang memenuhi syarat atau harga penawaran terlalu tinggi.

12. Jadwal Pengadaan Tidak Realistis

Banyak RUP mencantumkan jadwal yang ideal—bukan jadwal riil. Misalnya:

  • Tender dimulai Januari, padahal dokumen teknis baru siap Maret.
  • Pekerjaan konstruksi dimulai Mei, padahal musim hujan masih panjang.
  • Pengadaan alat tulis dijadwalkan Desember, padahal penggunaannya sejak awal tahun.

Jadwal yang tidak realistis hanya menghasilkan deviasi. Dan ketika deviasi semakin besar, risiko kegagalan semakin tinggi.

13. Ego Kepentingan Unit Kerja

Tidak bisa dipungkiri, ego sering mempengaruhi penyusunan rencana pengadaan. Unit kerja ingin paketnya berdiri sendiri, memiliki anggaran sendiri, dan dilakukan oleh timnya sendiri.

Akibatnya:

  • Paket yang harusnya digabung malah dipisah.
  • Paket yang seharusnya dipisah justru digabung.
  • Mekanisme pemilihan penyedia menjadi lebih rumit.
  • Penyedia bingung membaca RUP karena terlalu banyak paket kecil.

Ego seperti ini membuat rencana pengadaan tidak berdasarkan efisiensi, tetapi kepentingan internal.

14. Tidak Ada Review Tahunan

Perencanaan pengadaan seharusnya belajar dari pengalaman tahun lalu. Namun banyak instansi tidak melakukan evaluasi menyeluruh:

  • Apa penyebab keterlambatan pengadaan tahun lalu?
  • Paket mana yang gagal berulang kali?
  • Apa pelajaran dari sanggahan atau Sanggah Banding?
  • Apa tren harga pasar yang berubah?
  • Apakah metode pengadaan yang dipilih sudah tepat?

Tanpa review, kesalahan yang sama akan terus terulang.

15. Tidak Ada Sinergi dengan Perencanaan Anggaran

Perencanaan pengadaan harus sejalan dengan siklus penganggaran. Namun seringkali perencanaan anggaran dan pengadaan berjalan sendiri-sendiri.

Ini menyebabkan:

  • Paket pengadaan tidak dapat dilakukan karena kode anggarannya salah.
  • Volume yang disusun tidak sesuai pagu.
  • Obyek belanja tidak cocok dengan jenis pengadaan.

Ketika perencanaan anggaran tidak sinkron, rencana pengadaan berpotensi gagal sejak awal.

16. Perubahan Kebijakan Mendadak

Lingkungan regulasi pengadaan selalu berkembang. Ketika ada kebijakan baru yang datang mendadak:

  • Perlu penyesuaian spesifikasi.
  • Perlu perubahan metode pemilihan.
  • Perlu analisis TKDN.
  • Perlu memastikan kepatuhan pada aturan terbaru.

Jika perubahan ini tidak diantisipasi sejak awal, rencana pengadaan menjadi tidak sesuai regulasi dan prosesnya tertunda atau gagal.

17. Minimnya Kompetensi Perencana

Perencanaan pengadaan membutuhkan keterampilan teknis dan manajerial. Namun tidak semua perencana pernah mendapatkan pelatihan atau memahami:

  • Metode pemilihan yang tepat.
  • Cara analisis kebutuhan.
  • Cara menyusun spesifikasi awal.
  • Cara membaca tren pasar.
  • Cara memetakan risiko paket.

Minimnya kompetensi perencana membuat rencana pengadaan tidak solid. Akibatnya, semua masalah muncul di tahap pemilihan penyedia dan pelaksanaan.

18. Tidak Ada Mekanisme Pengendalian

Rencana pengadaan seharusnya dikendalikan sepanjang tahun. Namun kenyataannya:

  • Monitoring hanya dilakukan menjelang audit.
  • Tidak ada rapat evaluasi triwulan.
  • Tidak ada dashboard atau sistem kontrol internal.
  • Semua pihak bekerja reaktif, bukan proaktif.

Rencana yang tidak dikendalikan akan menyimpang tanpa disadari.

Dampak Nyata Ketika Rencana Pengadaan Gagal

Kegagalan rencana pengadaan bukan sekadar masalah administratif. Dampaknya sangat luas:

1. Keterlambatan Layanan Publik

Barang dan layanan yang dibutuhkan masyarakat tidak tersedia tepat waktu.

2. Serapan Anggaran Rendah

Ini menjadi sorotan auditor dan indikator kinerja daerah.

3. Tingginya Risiko Kasus Hukum

Dokumen yang tidak lengkap berpotensi menimbulkan temuan.

4. Reputasi Instansi Menurun

Vendor menjadi enggan berpartisipasi.

5. Biaya Pengadaan Membengkak

Karena dikejar waktu, pengerjaan dilakukan dengan cara tidak efisien.

Bagaimana Agar Rencana Pengadaan Tidak Gagal?

1. Mulai Perencanaan Lebih Awal

Jika bisa mulai dari pertengahan tahun, lakukan. Semakin awal, semakin akurat.

2. Libatkan Semua Pihak Secara Terstruktur

Perencanaan harus melibatkan:

  • Unit kerja teknis
  • Tim anggaran
  • Tim pengadaan
  • Pengguna akhir
  • Bagian keuangan

3. Lakukan Kajian Kebutuhan Secara Mendalam

Gunakan data, survei pasar, dan konsultasi teknis.

4. Tunjuk PIC Per Paket

Setiap paket harus ada penanggung jawabnya.

5. Review dan Update RUP Secara Berkala

Minimal setiap triwulan.

6. Gunakan Data Historis sebagai Dasar Pengambilan Keputusan

Jika tahun lalu gagal tender 2 kali, jangan ulangi hal yang sama.

7. Bangun Sistem Monitoring

Gunakan dashboard, rapat berkala, dan kontrol internal.

8. Tingkatkan Kompetensi Perencana

Pelatihan reguler sangat penting.

Perencanaan yang Baik Adalah Kunci Pengadaan yang Sukses

Pada akhirnya, rencana pengadaan yang gagal bukanlah semata-mata karena regulasi yang rumit atau pasar yang tidak stabil. Sebagian besar kegagalan bersumber dari proses perencanaan internal yang tidak matang.

Perencanaan adalah fondasi. Jika fondasinya rapuh, seluruh proses pengadaan akan runtuh.
Namun jika direncanakan dengan baik—dengan kajian yang kuat, data yang lengkap, koordinasi yang rapi, dan jadwal yang realistis—maka peluang keberhasilan meningkat drastis.

Rencana pengadaan bukan hanya dokumen formalitas, tetapi instrumen strategis untuk memastikan layanan publik berjalan optimal.

Ketika perencanaan dilakukan dengan benar, maka pengadaan tidak lagi menjadi hambatan, melainkan jembatan menuju pelayanan yang lebih baik.