I. Pendahuluan
Di era globalisasi dan persaingan pasar bebas, pemerintah Indonesia berkomitmen untuk mendorong tumbuhnya industri dalam negeri melalui kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Bersamaan dengan itu, penting pula mengintegrasikan prinsip ekonomi sirkular—khususnya daur ulang produk—ke dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah. Artikel ini akan mengupas secara komprehensif dua konsep kunci tersebut: kebijakan TKDN yang menjadi instrumen proteksi dan penguatan manufaktur nasional, serta strategi daur ulang produk pengadaan untuk mendukung pembangunan berkelanjutan. Dengan menggabungkan kedua kebijakan, diharapkan tercipta ekosistem pengadaan yang tidak hanya memprioritaskan penggunaan komponen dalam negeri, tetapi juga meminimalkan jejak lingkungan melalui optimasi siklus hidup produk.
II. Pengertian dan Dasar Hukum TKDN
Definisi TKDN: Lebih dari Sekadar Angka
Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) merupakan indikator strategis yang menunjukkan seberapa besar kontribusi elemen lokal—baik material, tenaga kerja, maupun jasa pendukung—dalam suatu barang atau jasa. Dalam praktiknya, TKDN dihitung sebagai persentase nilai produksi yang bersumber dari dalam negeri dibandingkan dengan total nilai produksi keseluruhan. Semakin besar nilai TKDN, maka semakin tinggi nilai tambah dalam negeri yang dikandung oleh suatu produk atau layanan.
Misalnya, jika suatu mesin memiliki nilai produksi sebesar Rp1 miliar dan Rp600 juta di antaranya berasal dari komponen dalam negeri (termasuk bahan baku lokal dan tenaga kerja Indonesia), maka TKDN produk tersebut adalah 60%. Angka ini bukan sekadar ukuran administratif, tetapi mencerminkan keberpihakan terhadap industri nasional, kemandirian ekonomi, dan keberlanjutan pembangunan jangka panjang.
Dasar Hukum TKDN: Pilar Regulasi Nasional
Pemerintah Indonesia telah mengatur dan memperkuat kebijakan TKDN melalui berbagai regulasi, antara lain:
-
Peraturan Presiden (Perpres) No. 29 Tahun 2018
Mengatur tentang Preferensi Penggunaan Produk Dalam Negeri dalam pengadaan barang/jasa pemerintah. Perpres ini menjadi landasan hukum utama yang mewajibkan instansi pemerintah untuk mendahulukan produk dengan kandungan lokal tinggi, terutama jika produk tersebut memiliki nilai TKDN minimal 25%. -
Perpres No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Menetapkan pentingnya penggunaan E‑Katalog sebagai sistem utama dalam pengadaan, serta menjadikan TKDN sebagai salah satu kriteria evaluasi teknis yang wajib dipertimbangkan oleh panitia pengadaan. -
Keputusan Menteri Perindustrian No. 1188/M-IND/PER/12/2018
Menjabarkan ketentuan administratif dan teknis dalam penilaian TKDN, termasuk prosedur audit pabrik, metode penghitungan nilai komponen, dan tata cara penerbitan sertifikat TKDN. -
Permenperin No. 2 Tahun 2014 dan turunannya
Memperinci daftar produk yang wajib memenuhi TKDN minimal, termasuk sektor-sektor strategis seperti energi, alat kesehatan, telekomunikasi, dan transportasi.
Melalui kerangka hukum ini, TKDN tidak hanya menjadi kebijakan anjuran, tetapi kewajiban yang mengikat dalam sistem pengadaan nasional.
Metode Penilaian TKDN: Pendekatan Komprehensif
Penilaian TKDN tidak dilakukan secara sembarangan. Ada dua pendekatan utama:
-
Materi Komponen (Material Composition)
Menghitung proporsi bahan baku, komponen, dan suku cadang yang diproduksi di Indonesia. Termasuk juga nilai jasa lokal dari sub-kontraktor lokal. -
Beban Kerja atau Jasa Lokal (Local Labour/Service Content)
Menilai kontribusi tenaga kerja Indonesia dalam proses desain, produksi, perakitan, dan pengujian produk.
Lembaga penilai akan memeriksa dokumen produksi, melakukan audit lapangan ke pabrik, dan menghitung setiap nilai tambah lokal berdasarkan formulir baku yang ditetapkan Kementerian Perindustrian. Hasilnya adalah sertifikat TKDN resmi yang berlaku selama lima tahun dan menjadi syarat sah bagi produk tersebut untuk mengikuti tender pemerintah.
Tujuan Strategis Kebijakan TKDN
Kebijakan TKDN dirancang bukan semata-mata untuk membatasi impor, tetapi memiliki tujuan pembangunan jangka panjang:
-
Penguatan Industri Nasional
Dengan mewajibkan penggunaan produk lokal, permintaan terhadap manufaktur dalam negeri akan meningkat, mendorong pertumbuhan industri dari hulu ke hilir. -
Transfer Teknologi
Perusahaan multinasional yang ingin memenuhi TKDN harus menggandeng mitra lokal, membuka peluang transfer ilmu, teknologi, dan keterampilan kepada pelaku industri nasional. -
Penciptaan Lapangan Kerja Berkualitas
Tingginya aktivitas produksi dalam negeri menciptakan permintaan terhadap tenaga kerja, dari buruh pabrik hingga tenaga teknis dan desain produk. -
Efisiensi Ekonomi dan Ketahanan Impor
Dengan mengurangi ketergantungan terhadap komponen impor, negara lebih tahan terhadap fluktuasi kurs dan gangguan rantai pasok global.
III. Implementasi Kebijakan TKDN dalam Pengadaan Pemerintah
Syarat dan Batas Minimum TKDN: Standar Wajib di Tiap Sektor
Untuk mendorong konsistensi penerapan, pemerintah telah menetapkan ambang batas TKDN minimal bagi berbagai jenis produk strategis. Beberapa contohnya adalah:
-
Alat Kesehatan: ≥ 40%
-
Kendaraan Bermotor dan Bus Listrik: ≥ 40–60%
-
Peralatan Telekomunikasi: ≥ 30%
-
Infrastruktur Teknologi Informasi dan Komunikasi (ICT): ≥ 20%
-
Produk kelistrikan seperti transformator, kabel, dan panel listrik: ≥ 60%
Kewajiban ini tidak bersifat opsional. Produk yang tidak memenuhi ambang TKDN minimum akan didiskualifikasi dari proses pengadaan, kecuali jika memang tidak ada alternatif lain yang tersedia secara lokal.
Mekanisme Pengadaan: Integrasi dalam Proses Lelang dan E‑Katalog
Penerapan TKDN dalam pengadaan pemerintah menyasar dua jalur utama:
-
Tender Terbuka
Dalam dokumen pemilihan, peserta wajib melampirkan sertifikat TKDN resmi dari Kementerian Perindustrian. Tim evaluasi akan memberikan nilai tambah bagi produk dengan TKDN tinggi dalam perhitungan teknis (value for money). -
E‑Katalog Nasional dan Sektoral
Produk-produk yang masuk ke E‑Katalog diwajibkan melengkapi informasi TKDN-nya. Bahkan, dalam pengadaan instan via katalog, sistem akan memberi prioritas tampilan pada produk dengan TKDN tinggi. K/L/D/I juga dapat memfilter katalog berdasarkan batas minimal TKDN yang ditentukan secara internal.
Peran LKPP dan Lembaga Sertifikasi TKDN
Dua aktor utama dalam implementasi kebijakan ini:
-
LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah)
Berperan sebagai regulator teknis pengadaan. LKPP menetapkan tata cara pelaksanaan tender, menyusun pedoman integrasi TKDN dalam evaluasi pengadaan, dan mengelola sistem E‑Katalog. -
Lembaga Sertifikasi TKDN
Seperti Komite Akreditasi Nasional (KAN), Sucofindo, Surveyor Indonesia, dan BSN. Mereka bertugas memeriksa dokumen produksi, melakukan audit pabrik, dan menerbitkan sertifikat resmi TKDN sesuai standar Kemenperin.
Proses audit dilakukan secara ketat dan berkala untuk memastikan bahwa komponen dalam negeri benar-benar digunakan sesuai deklarasi.
Dampak Positif terhadap Pasar dan Industri
Penerapan TKDN dalam pengadaan pemerintah telah memberikan berbagai dampak nyata terhadap peta industri nasional:
-
Peningkatan Produksi Lokal dan Investasi
Banyak pabrikan global yang awalnya hanya mendistribusikan produknya ke Indonesia, kini mulai membangun fasilitas produksi dan perakitan di dalam negeri agar dapat mengikuti pengadaan pemerintah. -
Dinamika Harga dan Efisiensi Skala
Meskipun harga produk lokal awalnya cenderung lebih tinggi akibat skala ekonomi yang belum optimal, insentif pajak, fasilitasi riset, dan dukungan pembiayaan dari pemerintah membuat biaya produksi makin kompetitif. -
Keterlibatan UMKM dalam Rantai Pasok
Banyak UMKM yang kini masuk sebagai subkontraktor komponen lokal (misalnya casing, kabel, packaging, atau software pendukung). Hal ini tidak hanya memperkuat ekosistem manufaktur, tetapi juga membuka akses pasar bagi usaha kecil. -
Kemandirian Strategis di Sektor Vital
Sektor kesehatan, energi, dan pertahanan kini lebih mandiri karena memiliki kapasitas produksi komponen kunci dalam negeri yang memadai, mengurangi risiko ketergantungan terhadap impor.
IV. Prinsip Ekonomi Sirkular dan Daur Ulang Produk Pengadaan
Definisi Ekonomi Sirkular: Transisi dari Ambil-Pakai-Buang ke Gunakan-Kembali-Olah
Ekonomi sirkular (circular economy) adalah pendekatan pembangunan berkelanjutan yang menolak sistem ekonomi linear—yaitu model ambil, pakai, buang. Sebaliknya, ekonomi sirkular menekankan pada pemanfaatan sumber daya secara maksimal melalui penggunaan kembali (reuse), perbaikan (repair), remanufaktur, dan daur ulang (recycle). Tujuannya adalah untuk menjaga nilai ekonomi suatu produk atau bahan selama mungkin dalam siklus ekonomi, sembari meminimalkan produksi limbah dan polusi.
Dalam konteks pengadaan barang/jasa pemerintah, prinsip ini berarti pemerintah tidak hanya membeli produk yang efisien dan berkualitas, tetapi juga mempertimbangkan bagaimana produk tersebut dikelola setelah masa pakainya berakhir—apakah bisa didaur ulang, dikembalikan ke produsen, atau diolah menjadi bahan baru.
Tahap Siklus Hidup Produk dalam Ekonomi Sirkular
Pendekatan sirkular membutuhkan perubahan di semua tahap siklus hidup produk:
-
Desain (Design for Recycling)
Produk dirancang dengan prinsip kemudahan pembongkaran dan pemilahan bahan. Komponen seperti plastik, logam, dan kaca disusun agar mudah dipisahkan. Desain modular juga memudahkan penggantian bagian rusak tanpa harus membuang seluruh produk. -
Produksi
Proses produksi harus mengutamakan penggunaan bahan daur ulang dan energi terbarukan. Teknologi rendah karbon dan pengolahan limbah industri secara tertutup menjadi bagian integral. -
Distribusi dan Pemakaian
Kemasan produk harus minimalis, dapat digunakan ulang, atau terbuat dari bahan biodegradable. Produk elektronik dan furnitur, misalnya, sebaiknya dirancang tahan lama dan memiliki sistem garansi serta layanan servis. -
Pengumpulan dan Daur Ulang
Pemerintah dan penyedia barang wajib memiliki skema pengumpulan barang bekas. Misalnya, komputer bekas kantor dikembalikan ke distributor untuk didaur ulang atau dijual kembali sebagai refurbished product.
Dasar Hukum Pengelolaan Limbah dalam Perspektif Ekonomi Sirkular
Daur ulang dan pengelolaan limbah pasca-pakai bukan sekadar inisiatif sukarela. Beberapa regulasi penting mengatur tanggung jawab produsen dan pengguna:
-
Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah
UU ini memperkenalkan konsep Extended Producer Responsibility (EPR), yang mewajibkan produsen untuk mengelola produk mereka setelah digunakan konsumen, termasuk pengumpulan kembali, pemrosesan limbah, dan pelaporan tanggung jawab. -
Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan
Meletakkan dasar bagi pengadaan ramah lingkungan, dengan mewajibkan analisis dampak lingkungan terhadap kegiatan produksi, termasuk pengelolaan limbah dan emisi.
Skema Daur Ulang Produk: Berbagai Model Praktik Baik
-
Take-Back Scheme (Skema Pengambilan Kembali)
Pemerintah dapat mensyaratkan agar penyedia produk (misalnya printer, komputer, AC) menyediakan fasilitas penarikan produk bekas pakai untuk didaur ulang atau diperbaiki. -
Deposit-Refund System
Konsumen membayar deposit tambahan saat pembelian. Jika produk atau kemasan dikembalikan dalam kondisi sesuai ketentuan, mereka mendapat pengembalian dana. Sistem ini cocok untuk kemasan air minum galon, baterai, dan tinta printer. -
Closed-Loop Recycling
Skema daur ulang tertutup, di mana limbah dari produk lama digunakan sebagai bahan baku produk baru yang sejenis. Contohnya, daur ulang aspal dari proyek jalan raya lama untuk pembangunan jalan baru.
V. Integrasi Kebijakan TKDN dan Daur Ulang dalam Pengadaan Barang/Jasa
Kombinasi Kriteria Evaluasi dalam Dokumen Lelang
Pemerintah dapat mengintegrasikan TKDN dan rencana daur ulang ke dalam dokumen tender, dengan mengatur dua jenis kriteria evaluasi teknis utama:
-
Profil TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri)
Penilaian berbasis pada persentase komponen lokal yang digunakan, sesuai dengan sertifikat resmi dari Kementerian Perindustrian. -
Rencana Daur Ulang
Meliputi rencana pengelolaan produk pasca-pakai, penyediaan skema take-back, jenis dan volume bahan yang dapat didaur ulang, serta prosedur daur ulang yang akan diterapkan.
Integrasi dua kriteria ini memberikan pandangan menyeluruh terhadap nilai jangka panjang dari suatu produk—tidak hanya dari segi lokalitas, tetapi juga dari segi keberlanjutan lingkungan.
Insentif Tambahan bagi Penyedia Berkomitmen
Penyedia barang/jasa yang dapat membuktikan bahwa produknya memenuhi dua kriteria sekaligus—yakni TKDN minimum dan keberlanjutan—dapat diberikan insentif dalam bentuk:
-
Bobot nilai lebih tinggi dalam proses evaluasi dan pemeringkatan penawaran.
-
Pengurangan biaya lisensi atau sertifikasi sebagai bagian dari program pemerintah untuk produk hijau.
-
Akses prioritas dalam penempatan produk di E‑Katalog, termasuk promosi produk unggulan dalam laman utama.
Penerapan Konsep Total Cost of Ownership (TCO)
TCO adalah perhitungan menyeluruh yang mencakup:
-
Harga awal pembelian
-
Biaya pengoperasian dan pemeliharaan
-
Biaya pelatihan
-
Biaya pembuangan/daur ulang
Dengan menghitung TCO, instansi pemerintah tidak lagi hanya berfokus pada harga beli termurah, tetapi mempertimbangkan efisiensi jangka panjang. Produk dengan TKDN tinggi dan skema daur ulang biasanya memiliki TCO lebih rendah, karena:
-
Lebih tahan lama dan mudah diperbaiki
-
Tidak menimbulkan biaya tambahan untuk pembuangan
-
Mendukung efisiensi energi dan penghematan anggaran
Peran Kontrak Berkelanjutan (Green Contracting)
Kontrak pengadaan dapat dirancang agar mencakup ketentuan berkelanjutan, seperti:
-
Kewajiban take-back: Penyedia wajib menerima kembali produk setelah masa pakai selesai.
-
Ketersediaan suku cadang dan layanan servis untuk memperpanjang masa hidup produk.
-
Skema performance-based contracting, di mana penyedia tetap bertanggung jawab terhadap performa produk selama masa kontrak, termasuk dampak lingkungan dari produk tersebut.
Dengan pendekatan ini, pemerintah tidak hanya menjadi pembeli, tetapi juga agen perubahan yang mendorong tanggung jawab lingkungan dan sosial dari setiap penyedia.
VI. Manfaat Sinergi TKDN dan Daur Ulang
1. Penguatan Industri Nasional
Sinergi antara kebijakan TKDN dan pengelolaan daur ulang secara langsung menciptakan permintaan besar terhadap produk buatan lokal sekaligus mendorong penciptaan ekosistem industri pendukung daur ulang. Akibatnya:
-
UMKM masuk ke rantai pasok nasional, baik sebagai pembuat suku cadang lokal maupun sebagai pelaku daur ulang.
-
Industri besar melakukan inovasi bahan dan desain agar produknya memenuhi persyaratan TKDN dan dapat didaur ulang.
Efek pengganda (multiplier effect) terhadap sektor manufaktur dan logistik limbah sangat signifikan.
2. Pengurangan Dampak Lingkungan
Dengan mengurangi impor bahan baku dan memanfaatkan kembali limbah produk, jejak karbon dari aktivitas pengadaan dapat ditekan drastis:
-
Transportasi lintas negara berkurang, menghemat bahan bakar dan menurunkan emisi.
-
Volume limbah padat dan B3 (bahan berbahaya dan beracun) menurun melalui skema daur ulang dan remanufaktur.
Dengan pendekatan zero waste to landfill, produk yang awalnya berpotensi menjadi sampah kini berubah menjadi input baru dalam sistem produksi.
3. Efisiensi Anggaran Pemerintah
Penggunaan pendekatan TCO dan daur ulang secara langsung:
-
Menurunkan biaya pengadaan jangka panjang, terutama untuk produk elektronik, kendaraan dinas, dan peralatan IT.
-
Mengurangi biaya pengelolaan limbah, yang biasanya dibebankan ke instansi setelah produk tidak digunakan.
-
Insentif fiskal dari pemerintah pusat kepada unit kerja yang memenuhi target pengadaan hijau juga menjadi stimulan positif.
Anggaran negara pun menjadi lebih sehat dan berdaya guna maksimal.
4. Kepatuhan Regulasi dan Peningkatan Citra
Instansi yang mengintegrasikan TKDN dan daur ulang dalam pengadaan menunjukkan:
-
Kepatuhan terhadap UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU No. 3/2014 tentang Perindustrian.
-
Komitmen terhadap komitmen internasional seperti SDGs dan Perjanjian Paris.
-
Kemampuan menjadi teladan (role model) dalam reformasi birokrasi hijau dan pengadaan berintegritas.
Citra pemerintah sebagai pembeli bijak dan pemimpin keberlanjutan meningkat, baik di mata masyarakat maupun mitra internasional.
VII. Tantangan dan Langkah Mitigasi
1. Pemahaman dan Kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM)
Tantangan:
Meskipun kebijakan TKDN dan daur ulang telah masuk dalam regulasi pengadaan, implementasi di lapangan masih menghadapi keterbatasan pemahaman teknis. Banyak pejabat pengadaan, baik di tingkat pusat maupun daerah, belum memiliki pengalaman menilai nilai TKDN dari produk secara akurat maupun mengevaluasi rencana daur ulang dari penyedia. Selain itu, masih terdapat keraguan dalam menggunakan metode Total Cost of Ownership (TCO) karena lebih kompleks dibanding evaluasi harga konvensional.
Mitigasi:
-
Pelatihan Intensif dan Sertifikasi Kompetensi: Pemerintah perlu menyelenggarakan pelatihan rutin berbasis praktik nyata yang mencakup cara membaca sertifikat TKDN, mengevaluasi strategi take-back, serta menganalisis dampak lingkungan produk.
-
Panduan Teknis Terstandar: LKPP dan Kementerian Perindustrian bisa mengembangkan modul pembelajaran teknis dalam bentuk dokumen, video, dan simulasi daring yang mudah dipahami, bahkan oleh daerah terpencil.
-
Sertifikasi Pengadaan Hijau: Diperlukan sertifikasi profesi khusus bagi pejabat pengadaan hijau (green procurement officer) yang menggabungkan kompetensi teknis, regulasi, dan kemampuan evaluasi berkelanjutan.
2. Keterbatasan Infrastruktur Daur Ulang
Tantangan:
Daur ulang pascapengadaan mensyaratkan tersedianya infrastruktur pengumpulan, pemrosesan, dan daur ulang yang memadai. Namun faktanya, fasilitas ini belum merata. Banyak daerah masih belum memiliki tempat pengelolaan limbah terpadu, apalagi khusus untuk produk elektronik, medis, atau konstruksi. Tanpa fasilitas tersebut, konsep daur ulang hanya berhenti pada level perencanaan tanpa realisasi teknis.
Mitigasi:
-
Kemitraan Pemerintah dan BUMN/Swasta: Pemerintah daerah dapat bekerja sama dengan BUMN seperti PINDAD, INKA, atau Semen Indonesia, untuk membangun unit pemrosesan limbah industri. Skema seperti Build-Operate-Transfer (BOT) dapat menarik investasi jangka panjang.
-
Insentif Investasi: Pemerintah pusat harus mempermudah perizinan dan memberikan insentif fiskal (pengurangan PPh, PPN, dll.) kepada investor yang membangun pabrik daur ulang.
-
Pengadaan Lintas Wilayah: Instansi pemerintah di wilayah yang belum memiliki infrastruktur bisa bekerja sama lintas provinsi/kota dalam sistem logistik pengembalian barang pasca-pakai.
3. Biaya Awal Investasi Tinggi
Tantangan:
Produk yang mengandung bahan lokal atau bahan daur ulang sering kali memiliki harga beli awal yang lebih tinggi dibanding produk impor massal. Hal ini membuat banyak pejabat pengadaan masih memilih opsi termurah dalam penawaran, meskipun TCO dari produk impor bisa jadi lebih tinggi karena biaya perawatan, efisiensi rendah, dan tidak dapat didaur ulang.
Mitigasi:
-
Public-Private Partnership (PPP): Pemerintah perlu membangun skema pembiayaan bersama sektor swasta, di mana pemerintah menanggung sebagian biaya awal investasi atau membantu dalam pengadaan peralatan daur ulang.
-
Dana Bergulir dan Green Bond: Pemerintah pusat atau lembaga keuangan negara dapat menyediakan dana murah jangka panjang khusus untuk industri lokal yang memenuhi kriteria TKDN dan keberlanjutan.
-
Skema Pay-as-you-Save (PAYS): Instansi pemerintah bisa membayar produk berbasis penghematan yang dicapai (misalnya penghematan listrik dari lampu LED lokal), bukan hanya berdasar harga beli awal.
4. Standarisasi dan Verifikasi
Tantangan:
Saat ini, terdapat variasi metode perhitungan TKDN dan pendekatan dalam mengevaluasi rencana daur ulang. Hal ini menciptakan kebingungan antar instansi, menghambat proses penilaian tender, dan membuka peluang manipulasi data.
Mitigasi:
-
Harmonisasi Pedoman Nasional: LKPP dan Kemenperin perlu merilis satu dokumen rujukan nasional untuk standar evaluasi TKDN dan keberlanjutan pengadaan.
-
Sistem Verifikasi Digital Terintegrasi: Diperlukan pengembangan platform digital berbasis blockchain atau digital ledger untuk pelacakan sertifikat TKDN dan rencana daur ulang, sehingga data tidak dapat dimanipulasi dan mudah diverifikasi antar instansi.
VIII. Studi Kasus Implementasi Sinergi TKDN dan Daur Ulang
1. PT PLN (Persero)
Sebagai BUMN energi, PLN menjadi pelopor penerapan TKDN dan daur ulang secara simultan:
-
TKDN Pembangkit Listrik: Pada proyek pembangkit listrik tenaga surya atap di beberapa provinsi, PLN mencapai TKDN hingga 50% dengan cara membangun lini produksi panel surya di dalam negeri.
-
Pilot Take-Back Panel Surya: Panel surya yang rusak atau habis umur pakainya tidak dibuang, tetapi dikembalikan ke pabrik untuk diolah kembali. Aluminium dari rangka dan silikon dari sel surya dimanfaatkan kembali untuk produksi modul baru, mengurangi ketergantungan pada bahan impor.
2. RS Pemerintah Kota Z
Sebagai pusat pengadaan alat kesehatan, RS ini menunjukkan bahwa sektor layanan publik pun bisa mengadopsi TKDN dan daur ulang secara serius:
-
Sertifikasi TKDN Alat Medis: Di tengah pandemi COVID-19, rumah sakit ini hanya mengadakan alat kesehatan (ventilator, alat PCR) dari produsen lokal yang mampu memenuhi standar TKDN ≥ 40%.
-
Manajemen Limbah B3 Terstandar: Vendor diwajibkan menandatangani kontrak berisi klausul pengelolaan limbah alat kesehatan, seperti cartridge PCR dan tabung reagen, bekerja sama dengan pengelola limbah medis berizin.
3. Kementerian PUPR (Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat)
Dalam pembangunan infrastruktur besar, kementerian ini menerapkan prinsip green procurement secara nyata:
-
Penggunaan Material Campuran Daur Ulang: Dalam proyek jalan dan jembatan di beberapa provinsi, campuran aspal daur ulang (Reclaimed Asphalt Pavement – RAP) digunakan hingga 30% dari total kebutuhan material.
-
Produksi Baja Lokal dan Rebar Take-Back: Baja struktural diproduksi di dalam negeri dengan TKDN mencapai 60%. Potongan sisa dan scrap baja dikumpulkan kembali oleh penyedia untuk didaur ulang sebagai bahan pembuatan rangka jembatan baru.
IX. Rekomendasi Kebijakan dan Strategi Ke Depan
1. Penyempurnaan Regulasi
-
Pemerintah perlu segera merumuskan dan mengesahkan Peraturan Presiden (Perpres) khusus tentang Green Procurement, yang secara eksplisit mewajibkan penggabungan nilai TKDN dan rencana daur ulang sebagai syarat evaluasi teknis.
-
Dokumen tender harus memiliki skor evaluasi gabungan minimal (misalnya 60 dari 100) untuk parameter keberlanjutan agar penyedia terdorong memenuhi kedua kriteria.
2. Insentif dan Pembiayaan
-
Pemerintah perlu menyediakan fasilitas green financing berbunga rendah atau hibah bagi produsen lokal yang membangun fasilitas produksi ramah lingkungan atau unit daur ulang.
-
Keringanan bea masuk perlu diberikan untuk bahan baku daur ulang yang belum tersedia secara lokal, guna mendukung proses daur ulang dalam negeri dan memperkuat rantai pasok.
3. Portal Integrasi Data
-
Sistem portal nasional terintegrasi perlu dikembangkan untuk menyatukan data:
-
Sertifikat TKDN resmi
-
Rencana daur ulang dari vendor
-
Riwayat pengelolaan limbah
-
Audit lingkungan
-
-
Portal ini bisa diintegrasikan dengan e-LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara) untuk meningkatkan transparansi pengadaan hijau dan menghindari konflik kepentingan.
4. Pengembangan Rantai Pasok Hijau
-
Pemerintah bisa membentuk klaster industri hijau di kawasan ekonomi khusus (KEK) dan kawasan industri, yang mengintegrasikan manufaktur, logistik, dan fasilitas daur ulang.
-
Program link and match antara UMKM suku cadang lokal dan perusahaan besar harus diperluas agar TKDN nasional merata, tidak hanya bergantung pada perusahaan raksasa.
5. Edukasi dan Sosialisasi Massal
-
Kampanye nasional bertajuk “Belanja Dalam Negeri, Kelola Sampah, Jaga Bumi” perlu dijalankan melalui media massa, sekolah, dan perguruan tinggi untuk membentuk budaya belanja hijau.
-
Pemerintah pusat wajib menyelenggarakan seminar dan lokakarya rutin di seluruh provinsi, termasuk daerah tertinggal, agar prinsip TKDN dan ekonomi sirkular dipahami lintas wilayah.
X. Kesimpulan
Sinergi antara kebijakan TKDN dan daur ulang produk dalam pengadaan pemerintah menciptakan blueprint bagi industri nasional yang kompetitif dan ramah lingkungan. Melalui regulasi yang tegas, insentif yang tepat, serta kolaborasi lintas sektor, Indonesia dapat mengakselerasi industrial upgrading dan mencapai target pembangunan berkelanjutan. Ke depan, keberhasilan transformasi ini tergantung pada komitmen bersama: pemerintah sebagai regulator, industri sebagai pelaksana, dan masyarakat sebagai pengguna yang menuntut kualitas dan keberlanjutan. Dengan demikian, pengadaan barang/jasa bukan hanya soal memenuhi kebutuhan, tetapi juga upaya strategis membangun masa depan ekonomi hijau yang inklusif dan tangguh.