Apakah Pengadaan Harus Memperhatikan Emisi Karbon?

I. Pendahuluan

Dalam era perubahan iklim yang semakin nyata, hampir semua aktivitas manusia—termasuk pengadaan barang dan jasa—menyumbang emisi karbon yang memperparah pemanasan global. Pemerintah dan organisasi di seluruh dunia kini tengah beralih ke praktik green procurement, yakni pengadaan yang mempertimbangkan dampak lingkungan sejak perencanaan hingga akhir siklus hidup produk. Artikel ini membahas tuntas alasan, manfaat, metode, tantangan, dan kebijakan terkait integrasi pengendalian emisi karbon dalam proses pengadaan, dengan tujuan meyakinkan bahwa pengadaan modern tidak hanya soal harga dan kualitas, melainkan juga keberlanjutan bumi.

II. Definisi Emisi Karbon dan Relevansinya dengan Pengadaan

1. Emisi Karbon (Carbon Emissions)

Emisi karbon adalah salah satu penyebab utama krisis iklim global. Dalam konteks lingkungan, istilah ini merujuk pada pelepasan gas-gas rumah kaca, khususnya karbon dioksida (CO₂), ke atmosfer. Emisi ini terutama berasal dari pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam, yang umum digunakan dalam kegiatan transportasi, industri, pembangkitan listrik, dan aktivitas domestik. Selain CO₂, bentuk lain gas rumah kaca termasuk metana (CH₄), dinitrogen oksida (N₂O), dan gas fluorinasi lainnya juga dikonversi ke dalam satuan yang disebut CO₂ ekuivalen (CO₂e) untuk penyederhanaan penghitungan.

Dalam konteks pengadaan, hampir seluruh barang dan jasa memiliki proses produksi, distribusi, dan konsumsi yang menimbulkan emisi karbon secara langsung maupun tidak langsung. Oleh sebab itu, emisi karbon menjadi indikator krusial untuk mengevaluasi dampak lingkungan dari keputusan pengadaan, baik dalam sektor publik maupun swasta.

2. Carbon Footprint Produk dan Layanan

Carbon footprint atau jejak karbon produk adalah total emisi gas rumah kaca yang dilepaskan sepanjang siklus hidup barang atau jasa. Jejak ini mencakup:

  • Hulu (upstream): Ekstraksi bahan baku, manufaktur komponen, dan proses produksi utama.

  • Distribusi: Transportasi antar negara atau wilayah, pengemasan, dan logistik.

  • Penggunaan: Konsumsi energi selama pemakaian oleh pengguna akhir (misalnya pemakaian AC, kendaraan, printer).

  • Hilir (downstream): Daur ulang, pembuangan, atau pengelolaan limbah setelah produk tidak digunakan.

Contohnya, satu unit komputer kantor mungkin hanya digunakan selama 4–5 tahun, namun emisi karbonnya tidak hanya berasal dari pemakaian listrik, tetapi juga dari:

  • Produksi chip dan komponen (intensif energi).

  • Transportasi global dari pabrik ke negara tujuan.

  • Pengemasan dan distribusi lokal.

  • Pembuangan atau penanganan limbah elektronik jika tidak didaur ulang.

Dengan memahami total jejak karbon ini, pemerintah dan organisasi dapat mempertimbangkan lebih dari sekadar harga dan fitur teknis dalam proses pengadaan.

3. Keterkaitan Pengadaan dan Emisi

Pengadaan merupakan salah satu aktivitas ekonomi terbesar dalam anggaran publik. Di Indonesia, total pengadaan barang/jasa pemerintah pusat dan daerah mencapai lebih dari Rp1.000 triliun per tahun. Jika proses pengadaan tidak memperhitungkan aspek lingkungan, maka skala dampaknya terhadap emisi nasional sangat besar.

Dengan memasukkan kriteria emisi karbon dalam evaluasi tender atau e‑catalog, maka:

  • Pemerintah mendorong produsen menyediakan produk rendah emisi.

  • Meningkatkan permintaan pasar untuk barang/jasa ramah lingkungan.

  • Memengaruhi rantai pasok nasional untuk bertransformasi lebih hijau.

Dengan demikian, pengadaan tidak hanya menjadi proses administratif, tetapi alat strategis untuk mendukung agenda penurunan emisi nasional dan global.

III. Mengapa Pengadaan Perlu Memperhatikan Emisi Karbon

1. Tanggung Jawab Lingkungan dan Sosial

Sebagai pengguna anggaran terbesar, pemerintah memiliki tanggung jawab moral dan strategis untuk menjadi panutan dalam praktik berkelanjutan. Tidak cukup hanya menuntut masyarakat dan industri agar mengurangi emisi, sementara sektor publik terus melakukan pengadaan tanpa memperhatikan dampak lingkungannya. Pengadaan yang memperhitungkan emisi karbon menunjukkan komitmen nyata terhadap prinsip pembangunan berkelanjutan, keadilan antargenerasi, dan perlindungan sumber daya alam.

2. Efisiensi Biaya Jangka Panjang

Banyak pengambil keputusan masih terjebak pada pertimbangan harga beli awal (upfront cost), tanpa memperhitungkan total biaya selama siklus hidup produk (total cost of ownership). Padahal, produk rendah karbon seperti:

  • Peralatan hemat energi (AC inverter, LED)

  • Kendaraan listrik

  • Bangunan berstandar green building

meski mungkin memiliki harga beli lebih tinggi, justru menawarkan efisiensi dalam:

  • Konsumsi energi yang lebih rendah.

  • Umur pakai lebih panjang.

  • Biaya pemeliharaan dan pengelolaan limbah yang lebih rendah.

Dengan pendekatan ini, organisasi dapat menghemat anggaran dalam jangka menengah dan panjang.

3. Pemenuhan Target Pengurangan Emisi

Indonesia telah meratifikasi Perjanjian Paris dan menetapkan target pengurangan emisi gas rumah kaca secara bertahap hingga 2030 dan net zero emission pada 2060. Untuk mencapai target ini, setiap sektor, termasuk pengadaan pemerintah, harus menyumbang upaya nyata.

Jika pengadaan publik tidak diintervensi, maka sektor ini justru menjadi penyumbang emisi tak terkendali. Sebaliknya, dengan integrasi penghitungan emisi dalam pengadaan, kontribusi positif terhadap target iklim menjadi terukur dan konkret.

4. Inovasi dan Daya Saing Industri

Ketika pemerintah mulai menyaratkan produk rendah karbon dalam tender pengadaan, maka produsen akan terpacu untuk:

  • Mengembangkan proses produksi rendah emisi.

  • Menerapkan teknologi efisiensi energi.

  • Menggunakan bahan baku lokal yang lebih ringan karbonnya.

Kebijakan ini bukan hanya menguntungkan lingkungan, tetapi menjadi pemacu inovasi industri nasional. Bahkan, jika konsisten diterapkan, Indonesia bisa memosisikan diri sebagai pemasok regional produk hijau yang kompetitif.

5. Peningkatan Citra dan Kepercayaan Publik

Dalam era keterbukaan informasi dan kesadaran sosial yang tinggi, masyarakat menuntut agar pemerintah dan korporasi bertanggung jawab terhadap dampak lingkungan dari keputusannya. Instansi yang menerapkan pengadaan rendah emisi:

  • Dianggap lebih progresif dan visioner.

  • Mendapat dukungan dari pemangku kepentingan.

  • Menghindari risiko reputasi akibat kritik terhadap pemborosan energi dan pencemaran lingkungan.

Dengan kata lain, pengadaan rendah karbon bukan hanya strategi teknis, tapi juga investasi reputasi institusi.

IV. Manfaat Memperhatikan Emisi Karbon dalam Pengadaan

1. Dampak Lingkungan yang Lebih Rendah

Dengan memprioritaskan produk dan jasa yang memiliki jejak karbon rendah, instansi dapat secara langsung berkontribusi pada:

  • Penurunan suhu global.

  • Penurunan polusi udara akibat pembakaran fosil.

  • Pengurangan limbah yang sulit diolah seperti limbah elektronik dan kemasan plastik.

Manfaat ini tidak bersifat teoritis—tetapi nyata dalam bentuk peningkatan kualitas udara, air, dan tanah, terutama di wilayah urban yang padat kegiatan ekonomi.

2. Penghematan Energi dan Sumber Daya

Produk rendah emisi umumnya juga dirancang untuk efisiensi energi dan sumber daya lainnya. Contoh:

  • Laptop dengan sertifikat Energy Star hanya menggunakan 50% listrik dibanding model konvensional.

  • Printer dengan sistem EcoTank mengurangi konsumsi tinta dan limbah cartridge.

  • Toilet low-flow dan keran otomatis menekan konsumsi air kantor hingga 30%.

Dengan memilih produk semacam ini, instansi tidak hanya mengurangi jejak karbon, tetapi juga tagihan listrik dan air bulanan.

3. Stimulasi Ekonomi Hijau

Pengalihan belanja pemerintah ke produk hijau mendorong tumbuhnya:

  • Industri teknologi bersih.

  • Penyedia jasa daur ulang dan pengelolaan limbah.

  • Sektor manufaktur berstandar hijau.

Efeknya bukan hanya pada emisi, tetapi juga pada penciptaan lapangan kerja baru yang lebih berkelanjutan dan memperkuat ekonomi lokal berbasis inovasi.

4. Mitigasi Risiko Regulasi

Seiring waktu, regulasi emisi akan semakin ketat:

  • Pajak karbon (carbon tax) mulai diterapkan.

  • Aturan emission trading scheme (ETS) diluncurkan.

  • Standar emisi minimum produk dipaksakan dalam tender.

Instansi yang sejak dini membiasakan pengadaan rendah karbon akan lebih siap menghadapi perubahan ini, menghindari penalti, dan menjaga keberlangsungan operasional.

5. Kesehatan dan Kualitas Hidup

Emisi karbon dan polutan berbahaya dari pengadaan massal tidak hanya merusak lingkungan makro, tetapi juga kesehatan manusia secara langsung:

  • Emisi kendaraan dinas berbahan bakar fosil mencemari udara kota.

  • Limbah elektronik tanpa pengolahan menghasilkan logam berat yang berbahaya.

  • Polusi suara dan panas dari alat berat mengganggu lingkungan kerja.

Pengadaan hijau menciptakan ruang kerja dan ruang publik yang lebih sehat, aman, dan nyaman—berkontribusi pada peningkatan produktivitas pegawai dan kualitas hidup masyarakat.

V. Metode Pengukuran Emisi Karbon pada Pengadaan

Pengukuran emisi karbon dalam kegiatan pengadaan menjadi langkah awal yang sangat penting untuk menyusun strategi mitigasi yang tepat. Tanpa pengukuran yang akurat, maka kebijakan penurunan emisi akan sulit dievaluasi. Berikut adalah metode-metode utama yang relevan dan dapat diterapkan:

1. Life Cycle Assessment (LCA)

Life Cycle Assessment atau Penilaian Siklus Hidup adalah pendekatan komprehensif yang menghitung dampak lingkungan dari sebuah produk sepanjang siklus hidupnya, mulai dari:

  • Ekstraksi bahan baku

  • Proses manufaktur

  • Distribusi dan penggunaan

  • Pembuangan akhir

Hasil dari LCA menghasilkan angka total emisi karbon ekuivalen (CO₂e) yang disebut cradle-to-grave emissions. Metode ini memberikan gambaran menyeluruh yang ideal untuk menilai dampak dari pengadaan besar seperti:

  • Infrastruktur gedung.

  • Peralatan elektronik.

  • Kendaraan dinas.

Kelebihan LCA adalah keakuratannya, namun kelemahannya adalah membutuhkan data teknis yang kompleks dan biaya pelaksanaan yang relatif tinggi.

2. Carbon Footprint Labeling

Label karbon adalah bentuk penyederhanaan dari hasil LCA yang disajikan dalam bentuk grafik atau angka pada kemasan produk. Label ini memberikan informasi praktis mengenai:

  • Emisi CO₂e per unit produk.

  • Proses produksi yang digunakan.

  • Perbandingan dengan produk sejenis.

Instansi pengadaan dapat menggunakan informasi label ini untuk:

  • Memberikan skor tambahan dalam evaluasi teknis.

  • Menyaring produk dengan ambang batas maksimal emisi tertentu.

  • Meningkatkan transparansi dan edukasi terhadap pemangku kepentingan.

3. Perhitungan Scope 1, 2, dan 3

Kerangka Scope ini merujuk pada pedoman dari GHG Protocol dan digunakan untuk mengklasifikasikan sumber emisi:

  • Scope 1: Emisi langsung dari sumber milik atau dikendalikan organisasi, seperti kendaraan dinas atau genset.

  • Scope 2: Emisi tidak langsung dari energi yang dibeli dan digunakan, seperti listrik PLN.

  • Scope 3: Emisi tidak langsung lainnya dari rantai pasok, termasuk produksi produk yang dibeli dan logistik pengadaan.

Dalam konteks pengadaan, Scope 3 sering menjadi yang paling besar dan tersembunyi. Oleh karena itu, evaluasi pengadaan seharusnya mencakup semua scope agar pengambilan keputusan benar-benar holistik dan tidak menimbulkan emisi tersembunyi.

4. Standar Internasional

Untuk menjamin akurasi, kredibilitas, dan konsistensi dalam pengukuran emisi karbon, instansi pengadaan dapat mengacu pada standar global seperti:

  • GHG Protocol (Greenhouse Gas Protocol) – kerangka kerja utama untuk penghitungan emisi.

  • ISO 14064 – standar internasional untuk pelaporan gas rumah kaca.

  • IPCC Guidelines – panduan dari badan PBB untuk penghitungan emisi nasional dan sektorial.

Adopsi standar ini penting agar data emisi dapat diperbandingkan secara internasional dan mendukung kredibilitas pelaporan pemerintah.

5. Reporting dan Verification

Semua hasil pengukuran emisi sebaiknya tidak hanya digunakan untuk internal, tetapi juga dilaporkan secara transparan dalam laporan tahunan instansi atau sistem e-procurement. Verifikasi oleh pihak ketiga independen juga diperlukan agar publik dapat mempercayai validitas data dan menghindari praktik greenwashing (mengklaim ramah lingkungan secara palsu).

VI. Strategi Green Procurement Berbasis Emisi Karbon

Menerapkan pengadaan berbasis pengurangan emisi karbon membutuhkan pendekatan sistematis, bukan hanya menambahkan satu kolom skor dalam evaluasi tender. Berikut strategi yang bisa diambil oleh instansi pemerintah atau organisasi besar:

1. Kebijakan Internal dan Target Emisi

Langkah pertama adalah menyusun kebijakan resmi pengadaan hijau berbasis karbon. Isi kebijakan tersebut bisa meliputi:

  • Target pengurangan emisi tahunan, misalnya: “Setiap tahun pengadaan harus mengurangi emisi CO₂e minimal 10% dibanding tahun sebelumnya.”

  • Ambang batas emisi maksimum untuk produk-produk tertentu, seperti: kendaraan < 120 g CO₂e/km atau komputer < 250 kg CO₂e/unit.

Langkah ini menciptakan tolok ukur yang bisa dievaluasi secara berkala.

2. Penyusunan Dokumen Pengadaan

Perubahan harus dimulai dari dokumen pengadaan itu sendiri. Penyusunan dokumen seperti Kerangka Acuan Kerja (KAK), Spesifikasi Teknis, dan Kriteria Evaluasi harus mengakomodasi:

  • Syarat sertifikasi karbon atau dokumen LCA sebagai bagian dari kelengkapan penawaran.

  • Penilaian Total Cost of Ownership (TCO) yang mencakup harga beli + biaya operasional + emisi karbon (internal carbon pricing).

  • Poin tambahan bagi penyedia yang menyediakan data emisi transparan.

Dokumen pengadaan tidak lagi hanya berorientasi harga terendah, tapi pada nilai berkelanjutan.

3. Pelatihan dan Kapasitas SDM

Implementasi strategi ini hanya akan berhasil jika SDM pengadaan memahami konsep teknisnya. Oleh karena itu, instansi harus mengadakan:

  • Pelatihan dasar LCA dan jejak karbon.

  • Workshop penggunaan alat bantu seperti SIMCarbon, kalkulator karbon daring, atau software berbasis Excel yang dikembangkan LKPP.

  • Pembentukan tim pengadaan hijau di setiap unit kerja.

4. Piloting dan Skala Bertahap

Implementasi sebaiknya dimulai dari komoditas pengadaan besar dan berdampak tinggi, seperti:

  • Kendaraan dinas

  • Bangunan dan infrastruktur

  • Peralatan listrik dan AC

Setelah evaluasi keberhasilan tahap awal, skala diperluas ke pengadaan kategori lain. Pendekatan ini meminimalkan risiko dan memastikan kesiapan infrastruktur pengukuran.

5. Kemitraan dengan Pemasok

Tanpa partisipasi penyedia barang dan jasa, pengadaan rendah karbon tidak mungkin berhasil. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk:

  • Mengadakan dialog terbuka dengan vendor.

  • Menyediakan insentif bagi penyedia yang menyampaikan data emisi secara sukarela.

  • Mewajibkan penyedia menyertakan skema take-back (pengambilan kembali produk bekas pakai) untuk mendukung pengelolaan limbah dan emisi akhir siklus.

6. Penggunaan Teknologi Informasi

Pemanfaatan teknologi sangat penting dalam pelacakan dan pengawasan. Sistem e-procurement harus:

  • Memiliki fitur carbon tracking, baik untuk produk maupun vendor.

  • Tersedia dashboard emisi real-time yang bisa diakses oleh pengambil keputusan.

  • Terintegrasi dengan sistem penganggaran agar pertimbangan karbon bisa sejajar dengan aspek harga dan anggaran.

VII. Studi Kasus Implementasi Green Procurement di Pemerintah Daerah

1. Pemprov A: Kendaraan Dinas Rendah Emisi

Pemerintah Provinsi A menginisiasi penggantian kendaraan dinas konvensional dengan kendaraan hybrid dan listrik secara bertahap sejak tahun 2022. Hingga 2024, 30% armada sudah beralih ke kendaraan rendah emisi.

Hasil nyata:

  • Pengurangan emisi 200 ton CO₂e/tahun.

  • Penghematan BBM sebesar 15% atau setara dengan Rp 3 miliar/tahun.

  • Meningkatkan kesadaran ASN terhadap kendaraan ramah lingkungan.

Program ini menjadi role model nasional dan direplikasi oleh provinsi lain.

2. Kabupaten B: Gedung Kantor Hijau

Kabupaten B mewajibkan semua pembangunan kantor pemerintah sejak 2021 mengikuti standar Green Building Council Indonesia (GBCI). Fitur bangunan hijau termasuk:

  • Panel surya sebagai sumber energi terbarukan.

  • HVAC hemat energi.

  • Material bangunan lokal dengan LCA positif.

Dampaknya:

  • Emisi Scope 2 (listrik) turun 40% dari baseline.

  • Tagihan listrik turun rata-rata 25%.

  • Meningkatkan kenyamanan kerja ASN karena kualitas udara dan cahaya yang lebih baik.

3. Kota C: E‑Katalog Hijau

Dinas Pengadaan Kota C menyusun sub-katalog khusus untuk produk bersertifikat karbon rendah, bekerja sama dengan penyedia nasional dan lembaga sertifikasi.

Dalam satu tahun pelaksanaan:

  • 25% belanja pemerintah kota dialihkan ke produk rendah emisi.

  • Penghematan emisi sebesar 1.000 ton CO₂e.

  • Terciptanya 12 pemasok lokal baru yang mendapatkan pelatihan penyusunan dokumen LCA.

Inisiatif ini memperkuat kapasitas vendor lokal dan menunjukkan bahwa transformasi digital bisa berjalan beriringan dengan transformasi lingkungan.

VIII. Tantangan dan Solusi

Meski manfaat pengadaan berbasis emisi karbon sangat besar, implementasinya tidak lepas dari tantangan serius, baik secara teknis, administratif, maupun kelembagaan. Berikut ini adalah tantangan utama yang sering dihadapi, serta solusi strategis yang dapat diterapkan secara sistematis:

1. Kurangnya Data dan Transparansi

Tantangan:
Banyak penyedia barang dan jasa belum memiliki data Life Cycle Assessment (LCA) atau estimasi jejak karbon produk mereka. Hal ini disebabkan kurangnya kapasitas teknis, biaya penghitungan yang tinggi, dan belum adanya kewajiban formal.

Solusi:

  • Regulasi Pelaporan: Pemerintah perlu menetapkan kewajiban pelaporan LCA atau sertifikasi jejak karbon sebagai syarat dalam dokumen pengadaan untuk kategori barang tertentu (misalnya: kendaraan, AC, material bangunan).

  • Verifikasi Independen: Mengharuskan data tersebut diverifikasi oleh lembaga pihak ketiga seperti auditor lingkungan atau lembaga sertifikasi berakreditasi. Ini akan menghindari praktik greenwashing.

  • Digitalisasi Data: Sistem e-procurement harus menyediakan fitur unggahan dan penelusuran dokumen LCA, serta menampilkan label karbon secara transparan bagi seluruh produk yang tersedia di E-Katalog.

2. Biaya Awal Lebih Tinggi

Tantangan:
Produk rendah karbon sering kali memiliki harga beli lebih tinggi dibanding produk konvensional. Misalnya, kendaraan listrik atau LED berkualitas tinggi memiliki investasi awal lebih mahal, meskipun biaya operasional lebih hemat dalam jangka panjang.

Solusi:

  • Internal Carbon Pricing: Pemerintah atau organisasi menetapkan nilai internal untuk setiap ton CO₂e yang dihasilkan. Nilai ini digunakan untuk menilai biaya tersembunyi dari produk tinggi emisi dan membantu memperlihatkan keunggulan ekonomi produk hijau.

  • Pendekatan TCO (Total Cost of Ownership): Dalam evaluasi, instansi tidak hanya menilai harga pembelian, tetapi juga biaya pemeliharaan, energi, dan pembuangan. Dengan pendekatan ini, produk rendah karbon sering kali unggul secara ekonomis.

  • Insentif Anggaran dan Subsidi: Pemerintah pusat dapat menyediakan dana khusus (carbon fund) untuk mensubsidi selisih harga pembelian awal produk rendah emisi, terutama bagi instansi daerah atau sektor layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan.

3. Kapasitas SDM Terbatas

Tantangan:
Banyak pejabat pengadaan atau staf teknis di instansi belum memahami prinsip LCA, jejak karbon, atau bahkan terminologi green procurement. Hal ini menyebabkan kurangnya inisiatif dan kesalahan dalam menyusun dokumen tender.

Solusi:

  • Pelatihan Intensif dan Sertifikasi: LKPP dan Kementerian LHK dapat mengadakan pelatihan rutin, baik daring maupun tatap muka, untuk membekali SDM dengan kemampuan teknis dasar dalam penghitungan karbon dan penyusunan evaluasi.

  • Kolaborasi Akademik: Menjalin kemitraan dengan universitas dan lembaga riset untuk memberikan pendampingan teknis dan menyusun panduan LCA berbasis konteks lokal.

  • Carbon Procurement Officer: Instansi pengadaan menyiapkan posisi fungsional baru atau tim khusus yang bertugas menghitung karbon, mengevaluasi dampak lingkungan, dan menjadi pusat keahlian di dalam organisasi.

4. Regulasi yang Belum Spesifik

Tantangan:
Peraturan yang mengatur pengadaan hijau masih bersifat umum. Belum ada turunan teknis yang secara eksplisit mengatur ambang batas emisi, sanksi administratif, atau insentif karbon dalam proses pengadaan.

Solusi:

  • Penyusunan Peraturan Menteri atau Perpres: Pemerintah pusat, khususnya LKPP dan Kementerian LHK, perlu menyusun regulasi turunan dari UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang memuat kriteria teknis pengadaan rendah karbon.

  • Integrasi dalam Perpres PBJ Pemerintah: Revisi Perpres Pengadaan Barang/Jasa perlu memuat pasal eksplisit tentang penghitungan emisi, kriteria penilaian karbon, dan tanggung jawab lingkungan dari penyedia.

IX. Kebijakan dan Regulasi Pendukung

Mendorong pengadaan berbasis emisi karbon membutuhkan kerangka regulasi yang kuat dan sistem insentif yang terintegrasi dari pusat hingga daerah. Berikut kebijakan dan regulasi yang dibutuhkan untuk memperkuat ekosistemnya:

1. Perpres Green Procurement

Pemerintah perlu menerbitkan Peraturan Presiden khusus tentang Green Procurement, yang:

  • Mengatur standar minimum efisiensi energi dan batas emisi karbon untuk tiap jenis barang/jasa.

  • Menyediakan mekanisme pemantauan, pelaporan, dan evaluasi emisi dari pengadaan pemerintah.

  • Menetapkan indikator kinerja pengadaan hijau untuk pejabat pengadaan.

2. Peraturan Menteri Keuangan tentang Anggaran Rendah Karbon

Kementerian Keuangan berperan penting melalui:

  • Penyediaan alokasi anggaran khusus untuk belanja produk rendah karbon.

  • Penerapan internal carbon fund, yaitu anggaran yang ditujukan untuk mengompensasi emisi pengadaan dan mendanai inovasi karbon rendah.

  • Pemotongan anggaran bagi unit kerja yang gagal memenuhi target pengurangan emisi tahunan.

3. Standarisasi Label Karbon oleh BSN

Badan Standardisasi Nasional (BSN) perlu:

  • Mengembangkan dan menerbitkan SNI Label Jejak Karbon Produk yang mudah dimengerti dan digunakan dalam dokumen tender.

  • Membangun sistem registrasi dan akreditasi lembaga verifikasi karbon.

  • Mendorong produsen dalam negeri untuk mengikuti sertifikasi karbon berbasis SNI.

4. Kerja Sama Internasional

Pemerintah juga perlu menjalin kemitraan dengan lembaga global seperti:

  • OECD dan UNEP melalui program Green Public Procurement (GPP).

  • Green Climate Fund (GCF) dan program-program pendanaan iklim multilateral.

  • ASEAN Low Carbon Procurement Network, untuk berbagi praktik terbaik dan memperkuat posisi Indonesia di forum regional.

X. Kesimpulan

Pengadaan yang memperhatikan emisi karbon bukan lagi sekadar alternatif, melainkan kebutuhan mendesak dalam era krisis iklim dan tuntutan efisiensi fiskal. Dengan memasukkan variabel jejak karbon dalam proses pengadaan, organisasi—baik pemerintah maupun swasta—dapat:

  • Menurunkan emisi gas rumah kaca secara sistematis.

  • Mendorong inovasi dan pertumbuhan industri hijau lokal.

  • Menghemat anggaran jangka panjang melalui pendekatan Total Cost of Ownership.

  • Membangun reputasi sebagai pelaku pengadaan yang bertanggung jawab sosial dan lingkungan.

Namun, implementasi ini memerlukan infrastruktur kebijakan yang jelas, sumber daya manusia yang kompeten, sistem evaluasi yang transparan, serta dukungan teknis bagi penyedia barang dan jasa. Transformasi ini harus dilihat bukan sebagai beban administratif, tetapi sebagai strategi masa depan menuju ekonomi rendah karbon dan pembangunan berkelanjutan.

Kini saatnya pengadaan bertransformasi: dari sekadar transaksi harga dan spesifikasi, menjadi alat strategis negara dalam mewujudkan masa depan yang lebih bersih, sehat, dan adil secara ekologis.